Selasa, 18 Maret 2014

Nasib Dana Abadi Pendidikan

Nasib Dana Abadi Pendidikan

Tulus Santoso  ;   Tenaga Ahli Anggota DPR di Komisi X
KOMPAS,  19 Maret 2014
             
                                                                                         
                                                                                                             
TAHUN 2014, dana pengembangan pendidikan nasional atau yang biasa disebut dana abadi pendidikan tidak dianggarkan dalam APBN 2014.
Langkah ini sudah tepat mengingat dana abadi pendidikan (DAP) memang tak terkonsep dengan baik dan penuh kejanggalan sehingga menuai kritik dari berbagai lapisan masyarakat. Namun, pasca tidak dianggarkannya DAP dalam APBN muncul pertanyaan terkait dengan nasib dana tersebut yang jumlahnya mencapai Rp 15,6 triliun. Angka ini belum termasuk bunganya yang selama ini dimanfaatkan oleh Kemenkeu melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Pemerintah sendiri baru mencairkan bunga dari DAP pada 2013 dan dipakai untuk membiayai program pendidikan. Bunga ini berasal dari hasil investasi DAP sejak 2010 hingga 2012 yang pokoknya sebesar Rp 10,6 triliun. Mengacu pada rata- rata bunga deposito perbankan pada tahun itu sekitar 6 persen per tahun, total pendapatan dari bunga DAP sekitar Rp 637 miliar. Uang inilah yang selanjutnya digunakan untuk membiayai program-program pendidikan milik LPDP.

Dengan dana itu, hingga November 2013, LPDP telah mampu menyalurkan bantuan pendidikan kepada 1.132 orang dari total pendaftar sebanyak 17.730 orang. Dari jumlah tersebut, bantuan pendidikan didominasi oleh beasiswa magister dan doktor sebanyak 763 penerima (66,94 persen). Sisanya, yakni 369 penerima (33,06 persen), diberikan bantuan riset, baik untuk tesis maupun disertasi. Angka ini pun belum termasuk calon penerima beasiswa yang berkasnya masih diseleksi oleh pihak LPDP.

Artinya, saat ini ada ribuan orang yang nasibnya bergantung pada bantuan pendidikan yang dikelola oleh LPDP. Apabila tiba-tiba DAP dicabut, tentu akan berdampak terhadap ribuan orang yang sudah telanjur menjalani program tersebut. Meski penulis menolak konsep DAP sejak kelahirannya dan sepakat dengan upaya untuk menghentikan penganggarannya kembali dalam APBN, ibarat bayi yang telanjur lahir, maka orangtua harus merawatnya. Begitu pula dengan LPDP dan pengelolaan DAP perlu dijaga.

Pada prinsipnya, dengan dihentikannya penganggaran DAP dalam APBN, program ini tidak merongrong dan mengebiri kebijakan pendidikan yang masih butuh biaya cukup besar. Kini LPDP sudah bisa membiayai programnya sendiri dengan strategi investasi atau pengelolaan uang yang tepat. Ke depan, dengan berbagai program yang ada, lembaga ini benar-benar mampu jadi supporting kebijakan pendidikan yang selama ini digawangi Kemdikbud.

Sebagai ilustrasi, total DAP hingga 2013 sebesar Rp 15,6 triliun. Jika sejak awal 2013 dana tersebut sudah didepositokan dengan rata-rata bunga deposito 6,5 persen per tahun, total pendapatan dari bunga mencapai Rp 1 triliun. Uang itu tentu bisa dipakai untuk membiayai program-program pendidikan dan menambah pokok dari investasi DAP. Selain deposito, LPDP juga bisa menginvestasikan dana tersebut dalam surat utang negara. Jadi, seberapa besar pendapatan DAP bergantung pada sejauh mana LPDP piawai dalam mengelola dana tersebut.

Tak perlu dicabut

Oleh karena itu, pemerintah dan DPR tidak perlu mencabut pokok DAP yang saat ini dikelola LPDP. DPR dan Kemenkeu cukup memberi arahan dan mengawasi jalannya pengelolaan dana tersebut agar tak terjadi penyimpangan dan bisa tepat sasaran. Selanjutnya, transparansi dari pihak LPDP dan Kemenkeu harus terus dijaga agar publik juga bisa mengawasi dan memiliki trust kepada pemerintah.

Meski begitu, pengelola DAP perlu memperhatikan beberapa hal menyangkut upaya mencerdaskan anak bangsa. Pertama, terkait posisi Kemenkeu selaku rumah bagi LPDP bukanlah penanggung jawab kebijakan di bidang pendidikan. Karena itu, LPDP perlu terus membangun komunikasi dengan Kemdikbud agar kebijakan pendidikan bisa sinergis.

Ke depan, LPDP dan Kemdikbud dapat berbagi tugas. Misalnya, LPDP hanya memberikan bantuan riset sehingga bisa mendorong inovasi dan membangkitkan gairah meneliti di kalangan dosen dan mahasiswa. Atau LPDP fokus membantu Kemdikbud dalam membantu pemberian beasiswa mahasiswa berprestasi. Berbagai pembagian kerja bisa dilaksanakan demi tujuan akhir yang sama. Sebab, jika semua program pendidikan antara lembaga yang satu dan yang lainnya sama, lebih baik Kemdikbud saja yang mengelola semuanya agar lebih fokus.
Kedua, menyangkut investasi yang dilakukan LPDP yang notabene cukup rawan dari sisi risiko. Jangan sampai kemudian hari pemerintah dengan mudah menjadikan risiko atau kemungkinan kerugian dalam investasi untuk menjustifikasi kegagalan dalam pengelolaan DAP, demi menutupi penyimpangan dalam pengelolaan uang tersebut. Karena itu, aspek kehati-hatian dan transparan wajib dilakukan.

Selanjutnya, pemerintah perlu memberikan batasan yang jelas kapan program pengelolaan DAP melalui investasi berakhir. Selain untuk mengurangi risiko, juga sebagai acuan dalam menentukan target kebijakan. Kuncinya, pencarian sumber pendapatan selain investasi perlu dilakukan demi menjaga keberlanjutan program dan mengurangi faktor risiko. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat unit usaha lainnya atau bekerja sama dengan pihak lain untuk menghimpun sumber pendapatan guna membiayai program.

Semoga keputusan menghentikan alokasi DAP dalam APBN bukan semata-mata untuk meredam kritik dan mencari momentum politik yang tepat untuk kembali menganggarkannya di tahun-tahun mendatang. Sebab, masih banyak persoalan pendidikan yang butuh penanganan yang fokus, termasuk soal pembiayaan. Penulis berharap, ke depan, 20 persen anggaran pendidikan bisa tepat sasaran dan tidak sekadar jadi bancakan kementerian/lembaga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar