Senin, 17 Maret 2014

Bencana dan Antropologi Tanah

Bencana dan Antropologi Tanah

Teuku Kemal Fasya  ;   Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
SINAR HARAPAN,  16 Maret 2014
                            
                                                                                         
                                                                                                             
Ketika isu relokasi dimunculkan bagi masyakarakat lereng Gunung Kelud untuk tinggal di luar lokasi bencana, gagasan ini tentu wacana impor yang tidak genuine antropologis. Mereka tidak memerhatikan keterkaitan masyarakat dengan tanah yang telah menyuburkan Bumi kehidupan itu.

Memang gagasan ini muncul agar masyarakat terhindar dari risiko yang bisa berlipat menjadi malapetaka. Namun, mereka keliru. Meskipun bencana kini hadir, tanah Kelud adalah berkah yang diturunkan dari generasi ke generasi dan nenek moyang mereka tidak pernah pergi.

Wacana menyalahkan masyarakat Karo di Sinabung juga muncul ketika mereka kembali ke kampung dan terlindas abu erupsi.

Bagi masyarakat, itu adalah takdir sunyi di tengah deru-debu alam yang tak mungkin ditolak. Kalau mau cari kesalahan, salahkan saja Bupati Tanah Karo yang lamban menyentuh hati korban atau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru hadir empat bulan pascabencana.

Komunitas Sinabung adalah petani ladang yang telah hidup bergenerasi dan tinggal di dataran tinggi dan berhawa sejuk itu. Mereka sebagian besar beretnis “asli” Karo dan “migran” seperti Toba, Simalungun, dan Jawa.

Dalam pendakian waktu, mereka membangun integrasi dan hibridasi kultural sebagai masyarakat pekebun yang ulet dan pekerja keras.

Hasil pertanian mereka cukup melimpah. Alam Tanah Karo eksotis karena dikelilingi bukit barisan dengan puncak-puncak, seperti Dolok Singalang, Dolok Sipiso-piso, Dolok Barus, Sibayak, dan Gunung Sinabung itu telah membentuk kultur etnis yang ramah, sinkretis, dan toleran.

Jika mereka akhirnya tetap bertahan di tanah kelahirannya dan tak ingin direlokasi, pahamilah secara bijak. Pertimbangkan tanah itu bukan sekadar lokasi tinggal, melainkan ada endapan esoterisme sosio-historis, intimitas memorial, dan kekayaan kekerabatan yang tak bisa diganti dengan materi atau lokasi baru.

Begitu juga korban banjir Kampung Pulo, Jakarta, yang menolak tegas rencana Jokowi merelokasi mereka. Meskipun di musim hujan ini mereka terendam dan kedinginan, di situlah akar kehidupan mereka tumbuh. Mereka tak sudi program “ganti rugi” ala pemerintah.
Dalam tafsir korban, bencana hanya salah satu fase kehidupan yang tak harus mengganggu dan mengurangi kecintaan atas tanah kelahiran.

Kita akhirnya memahami mengapa Mbah Marijan menolak tunduk pada perintah Sultan Hamangkubuwono X dan memilih terkubur wedhus gembel di lereng Merapi. Seperti puisi Pablo Neruda, “Di sanalah perasaan-perasaan melewati sebuah terowongan, meskipun gelap, seperti kapal ambruk oleh badai, kita memilih mati di dalamnya.”

Antropologi Tanah

Realitas kebencanaan bukan hanya memperlihatkan duka dan kehilangan, melainkan sejumput kerinduan atas tanah bencana. Jika dalam perspektif Lacanian kedukaan meninggalkan parut (scar) dan perasaan kekurangan-kekosongan (lack of being, manque á être), sebaliknya kebencanaan juga bermakna “kelebihan”.

Rasa sakit korban erupsi Sinabung, lumpur Lapindo, banjir Kampung Pulo, atau tsunami Aceh bukanlah kutukan sehingga harus berbondong-bondong meninggalkan tanah kelahiran.

Tanah bukan perkara geografis atau ekonomis an sich, tetapi lebih kompleks. Ia berelasi dengan romantisme historis dan dinamika sosial masyarakat. Dalam catatan William T Sanders, antropolog Pennsylvania State University, saat penelitian arkeologis di lembah Meksiko, ia menemukan fakta.

Fakti itu ialah peradaban awal suku Aztec dan Teotihuacán pun telah memiliki kesadaran atas tanah secara sekular yang dianggap kontradiktif dengan peradaban berburu dan berpindah. Kesadaran itu telah tumbuh jauh sebelum kolonial Spanyol mengajarkan pengetahuan tanah dan permukiman.

Sejak ribuan tahun lalu banyak ditemukan hikayat yang berisi kerinduan atas tanah leluhur. Kebudayaan tanah bersifat permanen, bukan transisional. Untuk konteks Indonesia, pemikiran Van Vollenhoven yang kemudian diabsorsi ke dalam hukum adat memang memberikan proteksi bagi masyarakat adat dan tanah ulayat.

Namun, hal ini masih gagal memberikan keadilan spasial bagi masyarakat tempatan lainnya (John McCarthy, The Fourth Circle: A Political Ecology of Sumatera’s Rainforest Frontier, 2006).

“Homo Economicus”

Kini cerita tentang proyek relokasi memunculkan kekeliruan. Meskipun dalih yang digunakan adalah atas nama pembangunan, kemanusiaan, dan kesejahteraan, tetap tidak tepat karena mengabaikan aspek antropologi tanah. Merelokasi sebuah masyarakat hanya pertimbangan ekonomis atau geologis, akan menimbulkan problem psikososial.

Masalah ini mengingatkan kembali bagaimana proyek pembangunan Aceh pascatsunami digerakkan dengan logika seperti itu.

Saat itu, banyak LSM internasional dan nasional merekomendasikan menggeser batas tinggal masyarakat pesisir hingga empat kilometer dari tepi pantai dengan alasan keamanan, kepentingan komunitas pesisir, dan integrasi pembangunan. Rencana itu bahkan telah masuk dalam cetak biru Bappenas.

Rencana ini tentu melahirkan keheranan di kalangan masyarakat lokal, yang merasa kehidupannya mau dirampas dari peradaban pesisir, dipaksakan masuk ke peradaban pertanian, pedalaman, atau urban. Serentak mereka menolak rencana itu. Tanah dikapitalisasi dengan logika modern dan korban dilihat melulu dari perspektif homo economicus.

Menghadapi korban bencana perlu sikap empatik dan kehati-hatian. Banalitas perencanaan akan menghasilkan kebijakan borjuistis dan berpotensi menjadi kejahatan serius sosial-budaya. Ingat, uang tak bisa mengganti memori dan cahaya leluhur yang menyinari tanah (bencana)!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar