Senin, 17 Maret 2014

Melawan Lupa pada Tahun Politik

Melawan Lupa pada Tahun Politik

Trihoni Nalesti Dewi  ;   Dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi
Unika Soegijapranata Semarang
SUARA MERDEKA,  15 Maret 2014
                                             
                                                                                         
                                                                                                             
PADA tahun Pemilu 2014, Indonesia masih berkutat pada peringkat ke-30 dari urutan negara dengan kondisi terburuk HAM. Ironisnya, politikus dan parpol yang berkontestasi masih bermain pada wacana dan jargon program yang sama sekali tidak menyentuh perbaikan HAM, dan tidak menyediakan jawaban persoalan keadilan bagi pada korban.

Mengapa tak ada caleg dan parpol yang berani merangkum program dan agenda perbaikan HAM dalam platform politik mereka? Mengapa kontestasi kekuasaan justru serasa konyol dan menjenuhkan, masih jauh dari ideologi HAM?

Di satu sisi publik melihat kondisi HAM Indonesia saat ini masih berada pada angka kekerasan cukup tinggi. Cara pandang segregatif, yang melihat daerah tertentu seperti Papua dan Maluku sebagai basis separatisme menjadikan daerah tersebut rawan kekerasan.

Di sisi lain, politik kekerasan dan eksploitasi pengelolaan sumber daya alam oleh korporasi yang berkolaborasi dengan oligarki kekuasan dan aktor keamanan sering menyebabkan pendudukan, pemaksaan, dan pencurian kekayaan rakyat yang kemudian dimanifestasikan dengan pelanggaran HAM terhadap rakyat di sekitar daerah konsesi.

Yang memprihatinkan, dari semua peristiwa yang menyebabkan penderitaan dan kerugian, kurang terlihat upaya reparasi yang menjadi hak korban. Korban pelanggaran kemanusiaan tentu sangat mendambakan perhatian serius terutama dalam memperoleh reparasi (perbaikan) dan pemulihan situasi melalui kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi.

Reparasi dapat bersifat simbolik yaitu pengakuan publik atau permintaan maaf atas pelanggaran pada masa lalu, ataupun bersifat material seperti ganti rugi dan pemulihan keadaan seperti semula, yang menunjukkan komitmen negara dan entitas sosial untuk menanggapi pelanggaran kemanusiaan.

Bila masyarakat merindukan pemimpin yang mampu mencegah kekerasan dan menghadirkan keadilan pada masa lalu maka tahun politik ini menjadi kesempatan emas bagi kontestan untuk mengagendakan penegakan hukum bagi pelanggaran berat HAM. Upaya itu sekaligus menunjukkan komitmen yang layak sebagai pelayan publik.

SKB Tiga Menteri

Namun jangan hanya menjadi gairah sesaat, bahkan tiba-tiba hilang ketika telah berkuasa. Pengabaian pelanggaran berat HAM masa lalu yang makin melanggengkan praktik impunitas bagi pelaku, pembiaran dan ketidakterungkapan pembunuhan terhadap pembela HAM seperti dalam kasus Munir dan para pekerja HAM lain, harus dilihat sebagai pemberangusan hak-hak masyarakat atas rasa aman.

Indonesia sudah meratifikasi beberapa konvensi internasional mengenai HAM. Tapi apalah artinya ratifikasi Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) jika kelompok minoritas masih sangat rentan jadi korban kekerasan. Apalah gunanya ratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) jika lahir Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang melarang aktivitas organisasi Jamaah Ahmadiyah.

Hal itulah yang jadi pemicu kelahiran kekerasan oleh kelompok garis keras sekalipun sesungguhnya perbedaan agama, bahkan tidak dimilikinya agama, adalah hak asasi yang tak bisa diganggu gugat. Apa makna ratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) jika masyarakat sangat mudah kalah oleh kepentingan perusahaan dan kelompok mayoritas.

Apa pula arti ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan  atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT) jika masih banyak penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, intimidasi, dan teror terutama pada pembela HAM. Sekadar meratifikasi tidak dengan sendirinya membuat penghargaan HAM di Indonesia menjadi lebih baik karena banyak tantangan yang harus dihadapi yang merupakan kewajiban dari ratifikasi.

Partisipasi masyarakat dalam perbaikan kondisi HAM memperoleh momentum pada saat ini dengan mencermati ideologi dan politik para kontestan. Waktu memang sangat sempit, namun masih ada hal signifikan yang bisa dikerjakan, seperti menggugah kesadaran masyarakat terhadap caleg dan eksekutif yang memiliki sejarah kelam dalam pelanggaran HAM.

Kampanye perlu digalakkan untuk menolak mereka yang bertanggung jawab secara langsung dan yang tidak menunjukkan kemauan kuat menyelesaikan pelanggaran HAM. Perlu pula mewaspadai mereka yang menggunakan kekuasaan untuk menghambat upaya penegakan HAM, atau bahkan menciptakan pelanggaran baru. Di samping itu, melalui aliansi sipil dan ruang publik, rumusan prioritas perbaikan HAM dapat dicetuskan. Ruang demokrasi melalui Pemilu 2014 menjadi upaya nyata perbaikan hak asasi manusia.

Mewakili impian korban dan mereka yang berisiko menjadi korban, kita berharap pemimpin harapan hasil kontestasi tahun politik adalah mereka yang memegang moralitas dan menyandarkan diri pada kemanusiaan. Pemimpin idaman adalah yang tidak amnesia akan sejarah kelam pelanggaran HAM dan masih meyakini jaminan konstitusinya bahwa rakyat berhak merasa aman sebagai manusia dan warga negara dalam rumah mereka: Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar