Rabu, 19 Maret 2014

Implikasi Putusan MK atas PK Berulang

Implikasi Putusan MK atas PK Berulang

Binsar M Gultom  ;   Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatra Utara,
Hakim HAM pada Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta
MEDIA INDONESIA,  19 Maret 2014
                                 
                                                                                         
                                                                                                             
SETELAH Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan kontroversial membatalkan Pasal 268 (3) KUHAP, MK kembali melukai tonggak penegakan hukum untuk sebuah kepastian hukum di bidang peninjauan kembali (PK) dengan memberi ruang dan waktu yang luas kepada terpidana secara umum untuk melakukan PK berulangkali di Mahkamah Agung (MA). Menurut hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam pertimbangannya mengatakan: “Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan ... proses peradilan harus sampai pada kebenaran materiil....“ Menurut penulis, pertimbangan MK tersebut telah benar, tetapi `tidak menyentuh' sama sekali pokok masalah seperti diatur Pasal 268 (3) KUHAP.

Ketentuan yang mengatur sekali saja PK sudah benar, tidak bertentangan dengan konstitusi, bahkan tidak bertentangan dengan HAM. Dengan ketentuan hanya sekali PK, justru di situlah tercipta kepastian hukumnya. Itulah sebabnya upaya hukum PK itu merupakan upaya hukum `luar biasa', dengan syarat yang ketat pula sebagaimana diatur dalam Pasal 263 (2) KUHAP, yakni terdapat novum (bukti baru), terdapat pertentangan antara pertimbangan hukum yang satu dan yang lain, dan ada kekhilafan hakim yang fatal memutus perkara. Jika PK itu diizinkan berulang kali, di mana lagi upaya hukum luar biasanya? Ibarat sebuah jalan bebas keluar masuk, tidak perlu lagi ada keamanan ketat.

Menurut penulis, kebenaran materiil yang mengandung semangat keadilan atau kepastian keadilan hanya dapat diperoleh melalui kepastian hukum yang merupakan hukum formal yang tidak boleh dilanggar siapa pun, termasuk MK, kepastian hukum PK dimaksud terdapat pada Pasal 268 (3) KUHAP. Jika kepastian hukumnya tak jelas (tidak pasti), artinya PK dapat di lakukan berulang kali, kapan pencari keadilan mendapatkan justice certainty (kepastian keadilan)?

Penulis melihat pertimbangan putusan MK ini telah mencampuri independensi hakim agung PK dalam memutus suatu perkara di MA seolah ketiga syarat pengajuan PK yang diatur menurut Pasal 263 ayat 2 KUHAP tersebut telah diabaikan dan dilanggar majelis hakim agung PK. Membuktikan bahwa MK tidak menghargai putusan sesama lembaga yudikatif tertinggi. Soal putusan itu belum adil? Keadilan itu bersifat relatif. 

Namun, kepastian hukum menjadi `mutlak' dilaksanakan. Di dalam suatu putusan hakim pidana pasti ada yang dihukum bersalah atau dibebaskan. Yang dihukum bersalah pasti mengatakan putusan itu tidak memenuhi rasa keadilan, tetapi yang dibebaskan pasti mengatakan putusan itu luar biasa adilnya. Nah, rupanya budaya itu kurang mendapat perhatian serius dari MK hingga akhirnya memberi sinyal kepada para terpidana, baik narkoba, teroris, maupun pembunuh sadis, untuk melakukan upaya hukum PK berulang kali.

Jika demikian halnya, kapan lagi publik menghargai dan melaksanakan putusan pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga PK tingkat pertama, PK kedua, dan seterusnya? MA yang selama ini telah bersusah payah mencegah dan membatasi PK ke MA menjadi sia-sia. Untuk apa diadakan pengawasan internal dan eksternal hakim, termasuk kepada hakim agung secara ketat di seluruh Indonesia, jika seluruh hakim di semua tingkatan tidak dipercaya pencari keadilan?

Kalau pencari keadilan tidak percaya lagi ke lembaga peradilan, mengapa selalu membanjir perkara itu ke pengadilan, bukan diselesaikan sendiri oleh pihak yang beperkara? Mari tumbuhkan saling percaya, bukan saling amputasi regulasi yang sudah dianggap masih layak dipertahankan.

Sekalipun ketentuan Pasal 268 (3) KUHAP itu diamputasi MK, jika hakimnya tetap konsisten mengikuti ketiga syarat PK tersebut, pembatalan Pasal 268 (3) tersebut tidak akan membawa arti yang signifikan untuk mendapatkan kebenaran materiil bagi terpidana. Menurut penulis, tidak ada satu pun UU yang sempurna di dunia ini. 

Mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang belum puas dengan putusan PK pertama telah mengusulkan agar bisa dilakukan PK kedua ke MA melalui judicial review (uji materiil) ke MK menunjukkan itu merupakan hak asasinya selaku terpidana. Namun, jika semua hak asasi seperti permohonan PK kedua dilayani, kapan selesai dan berakhir suatu perkara di pengadilan? Hak asasi manusia saja ada pembatasannya menurut undang-undang.

Jika benar Antasari mengajukan PK kedua kalinya ke MA setelah MK mengabulkan permohonannya, persidangan PK kedua kalinya akan menjadi menarik dan unik karena publik akan melihat nanti apakah majelis hakim agung PK berikutnya akan tetap konsisten, yakni `menguatkan' putusan PK terdahulu yang menghukum dirinya 18 tahun penjara atau `membatalkan' putusan PK terdahulu dengan berbagai pertimbangan hukum menarik. Berdasarkan pandangan kritis penulis tersebut, dampak negatif adanya PK berulangkali seperti yang ditegaskan Ketua MA M Hatta Ali, selain menunda-nunda keadilan dan tidak adanya lagi kepastian hukum, dengan ungkapan sederhana keadilan yang ditunda sama dengan ketidakadilan.

Implikasinya, menurut penulis, perkara pasti akan semakin membanjir ke MA. Hal itu tentu akan menjadi beban berat bagi pengdilan tingkat pertama dan MA. Sebab pengadilan negeri (PN) harus menyeleksi bukti-bukti PK lewat persidangan sebelum berkas perkara dikirimkan ke MA, dan yang berwenang menolak ada-tidaknya PK tersebut ialah MA bukan PN. Tugas pengadilan yang seharusnya mengadili perkara-perkara baru harus kembali mengurusi dan menyidangkan perkara-perkara lama yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Keprihatinan penulis dalam putusan itu MK terkesan tidak menghargai putusan majelis hakim agung PK. MK telah memunculkan sistem upaya hukum baru di internal MA, yakni terdapat upaya hukum PK tingkat pertama, PK tingkat kedua, dan PK ketiga, dan seterusnya. Bahkan yang lebih parah lagi, jaksa penuntut umum tidak akan berani lagi melaksanakan eksekusi putusan pengadilan, khususnya terhadap terpidana mati, karena khawatir dalam putusan PK kedua dan seterusnya akan dibatalkan putusan PK berikutnya. Dengan demikian, akan terjadi penundaan waktu penyelesaian perkara yang sangat panjang. Itu menghambat asas peradilan cepat sederhana dan biaya ringan.

Untuk menghindari terjadinya abuse of power di MK yang tidak mendidik bagi penegakan hukum di Indonesia, sebaiknya di MK juga diterapkan upaya hukum PK di MK terhadap putusan MK yang `melukai keadilan konstitusi' seperti yang kerap terjadi sehingga kebiasaan mengamputasi berbagai regulasi yang dipandang masih memiliki nilai-nilai kebenaran hukum tetap harus dipertahankan. PK terhadap putusan MK sangat perlu dilakukan agar `budaya' putusan MK yang kerap bertentangan dengan hukum tidak berlarut dan segera berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar