Selasa, 18 Maret 2014

Era Baru Pencatatan Sipil

Era Baru Pencatatan Sipil

Elfindri  ;   Profesor Ekonomi SDM, Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Unand, Ketua Koalisi Kependudukan Sumatera Barat
KOMPAS,  18 Maret 2014
                     
                                                                                         
                                                                                                             
PERJUANGAN revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pencatatan Sipil di Indonesia membuahkan angin segar. Intinya, semua anak lahir akan mendapatkan sertifikat kelahiran dan yang meninggal akan menerima surat keterangan kematian. Semua biaya ditanggung negara. Proses pencatatan sipil menjangkau seluruh rakyat Indonesia secara aktif efektif mulai tahun 2014.

Dengan sistem pencatatan sipil sekarang, penduduk yang berusia di atas 17 tahun akan memiliki KTP-el (bukan e-KTP, tetapi KTP-elektronik) tunggal. KTP-el dapat berlaku untuk di mana saja seseorang berada untuk digunakan.

Data kependudukan menjadi satu satunya data untuk kepentingan perencanaan, penyusunan program serta basis pembiayaan yang ditimbulkannya.
KTP-el berlaku seumur hidup. Berbeda dengan sebelumnya yang mesti diperbaharui setiap lima tahun.

Hal ini dimaknai sekiranya untuk satu KTP-el untuk menghasilkannya memakan biaya sekitar Rp 20.000 (tidak termasuk biaya pengurusan), maka kalau saja penduduk Indonesia yang mesti mendapatkan KTP-el ada 250 juta orang, dapat dibayangkan biaya yang disediakan untuk menggandakannya bisa mencapai Rp 5 triliun.

Sekarang dengan berlakunya masa KTP-el seumur hidup, dana yang sama dapat digunakan untuk memberikan pelayanan pencatatan sipil ke daerah-daerah melalui dana pusat.

Sistem pro aktif

Pemerintah akan aktif melayani masyarakat dalam pendataan kependudukan dengan menjangkau rumah ke rumah agar cakupan data registrasi kependudukan ini bisa mencapai 100 persen.

Ini memungkinkan secara teoritis mengingat seluruh penduduk akan menerima nomor induk registrasi penduduk. Namun, perlu persiapan untuk membangun sistem yang komprehensif di seluruh kepulauan Indonesia. Untuk itu dua hal perlu diantisipasi.

Pertama, yang sangat perlu diperhatikan adalah bagaimana membangun kesadaran masyarakat untuk melaporkan kejadian kelahiran dan kematian.

Bilamana petugas di daerah tidak cekatan dan berdedikasi kurang, perekaman penduduk terancam gagal.

Bisa juga masyarakat yang pasif menjadi malas mengurus keperluan pendataannya lantaran semua proses diserahkan kepada pemerintah. Apalagi, mungkin ada petani yang tidak merasa perlu benar dengan KTP-el, atau nelayan di pesisir, atau pedagang asongan.

Kedua, implikasi pendanaan untuk registrasi kependudukan yang disediakan melalui APBN membuat segala bentuk retribusi yang selama ini membebani masyarakat hilang.

Ini menjadi penanda pelayanan publik yang perfect. Namun, penerimaan dari retribusi kependudukan di daerah yang kecil-kecil menjadi hilang.

Ketika APBN disediakan, diperlukan pula penguatan sistem agar seluruh penduduk benar-benar terekam datanya. Namun, APBN sebaiknya tidak hanya menyediakan gaji, tetapi juga komponen biaya transportasi ke lapangan agar sistem bisa berjalan. Jika hal ini tidak diantisipasi, suatu saat registrasi kependudukan bisa menuai banyak masalah.

Antisipasi masalah

Ketika data yang sama tidak di-up date secara jelas, data registrasi bisa saja bermasalah ketika digunakan untuk kepentingan pemilihan umum.

Sekarang saja terjadi hiruk-pikuk data pemilih tetap (DPT) untuk kepentingan Pemilu 2014 karena dinamika kependudukan menyebabkan jumlah bisa berubah.
Katakan setelah perekaman data selesai, jumlah penduduk akan selalu berubah dalam hitungan menit.

Ini terutama karena dinamika perubahan usia penduduk yang memasuki 17 tahun, perkawinan pada usia sebelum 17 tahun, perubahan status sipil menjadi militer, atau militer pensiun menjadi sipil, penduduk yang meninggal dan tidak dilaporkan oleh ahli waris, serta mereka yang pergi ke luar negeri atau masuk lagi ke Indonesia.

Persoalan dinamika tersebut semakin rumit lagi dengan adanya perpindahan penduduk secara sirkular, di bawah 3 bulan, atau secara permanen lebih dari 3 bulan.

Pencatatan demikian tidaklah mudah karena penduduk yang demikian tidak selalu mengetahui bahwa mereka wajib melapor ke kelurahan, kemudian kelurahan melanjutkan ke dinas pencatatan sipil di daerah.

Persoalan lainnya adalah bagaimana kalau setelah sampai ke kelurahan data tersebut tidak dilanjutkan ke dinas pencatatan sipil?

Atau sampai di dinas pencatatan sipil terus tenaga operatornya tidak rajin memasukkan data secara benar, atau sistemnya terkena virus, komputernya rusak, dan sebagainya.

Semua ini mesti dipersiapkan dengan sebuah sistem baku komputerisasi secara nasional.

Setiap pertengahan sepuluh tahun, BPS melaksanakan pengumpulan data kependudukan dalam bentuk Supas.

Jika memang data kependudukan melalui registrasi, ini bisa menjadi data kependudukan yang dapat dipercaya. Tentunya pelaksanaan Supas ke depan tidak perlu lagi dikelola oleh BPS.

Namun, hati-hati, ini tentu kalau data registrasi yang dimaksud memang dapat diyakini akan terlaksana.

Jika daerah-daerah terpencil, pulau-pulau kecil dan terluar, masyarakat hunian liar, suku terasing, masyarakat pegunungan; yang masuk kelompok inklusif yang secara geografis tidak mudah dijangkau, maka taruhannya adalah data kependudukan mesti tersedia dan benar. Sebuah pekerjaan yang berat dan penuh dedikasi yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar