Kamis, 20 Maret 2014

Setelah Jampersal Ibu Hamil di Tangan BPJS

Setelah Jampersal Ibu Hamil di Tangan BPJS

Robert Dwitama Adiwinoto  ;   Dokter Umum, Alumnus Fak Kedokteran Unair
JAWA POS,  21 Maret 2014
                              
                                                                                         
                                                      
SEJAK diterapkan per 1 Januari 2014, pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan memunculkan banyak permasalahan. Dampaknya dirasakan tidak saja oleh pasien sebagai penerima layanan kesehatan, namun juga oleh penyedia jasa layanan kesehatan.

Di luar polemik JKN yang beredar, kita berpacu dengan waktu menuju 2015 untuk menuntaskan millennium development goals (MDGs). Menilik ke belakang, Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut mendeklarasikan MDGs di hadapan PBB pada 2000.

MDGs merupakan tujuan pembangunan yang disepakati bersama secara internasional. Targetnya adalah tercapainya kesejahteraan rakyat pada 2015. MDGs dibagi menjadi delapan butir, satu di antaranya yang paling rumit, yaitu menekan angka kematian ibu (AKI).

Secara demografis, AKI adalah indikator yang menunjukkan banyaknya kematian perempuan ketika sedang hamil dan selama 42 hari sejak terminasi kehamilan yang disebabkan kehamilan atau pengelolaannya dan bukan karena faktor penyebab lain per 100.000 kelahiran hidup.

AKI merupakan salah satu ukuran demografis yang penting karena menjadi indikator pembangunan kesehatan dasar. Selain itu, AKI menggambarkan keadilan sosial ekonomi terhadap perempuan di suatu negara. MDGs nomor 5, peningkatan kesehatan ibu, menargetkan pengurangan AKI hingga 75 persen, untuk Indonesia berkisar 102 per 100.000 kelahiran hidup.

Terobosan yang Gagal

Demi mencapai target tersebut, pemerintah membuat terobosan pada 2011 berupa pembiayaan persalinan lewat program jaminan persalinan (jampersal).

Jampersal merupakan kebijakan yang ideal karena melingkupi semua aspek kehamilan dan persalinan secara paripurna. Ditambah kemudahan peserta untuk memperoleh pelayanan program jampersal, yaitu cukup menunjukkan kartu identitas diri beserta buku KIA, program tersebut dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Tidak hanya keluarga kurang mampu, kalangan menengah ke atas pun dapat memanfaatkan pelayanan jampersal bila menghendaki.

Tidak main-main, dana triliunan rupiah dialokasikan pemerintah untuk menggerakkan jampersal. Ironisnya, alih-alih mampu menekan AKI, hasil survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 mencatat, AKI mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup atau meningkat sekitar 57 persen jika dibandingkan dengan kondisi pada 2007 yang hanya 228 per 100.000 kelahiran hidup.

Berbagai spekulasi penyebab kegagalan program jampersal muncul, termasuk di antaranya ketidakakuratan pencatatan data. Apa pun itu, program jampersal dinilai gagal.

Memasuki era JKN, jampersal sudah tidak berlaku lagi. Tidak sepenuhnya dihapus, melainkan dilebur ke dalam program JKN. Meski demikian, perlu dicermati perbedaan jampersal dan pembiayaan persalinan dalam program JKN. Mereka yang terdaftar sebagai warga kurang mampu lewat program jamkesmas sebelumnya otomatis masuk dalam program JKN dan dapat menikmati pelayanan serupa jampersal. Sebaliknya, warga yang tidak terdaftar sebagai peserta jamkesmas harus mengurus terlebih dahulu keanggotaan JKN melalui BPJS.

Kerumitan bertambah mengingat dalam program JKN, semua pelayanan satu pintu. Pelayanan primer di tingkat puskesmas atau klinik harus dilalui pasien sebelum dapat mencapai rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan tingkat lanjut.

Terdapat beberapa puskesmas yang memberikan pelayanan spesialistik terhadap masalah kedaruratan ibu hamil dan bayi baru lahir 24 jam. Puskesmas yang demikian disebut sebagai puskesmas PONED (pelayanan obstetri dan neonatal emergency dasar).

Masalahnya, dari total 9.005 unit puskesmas yang tersebar di negeri ini, hanya sekitar 18,6 persen atau 1.600-an puskesmas yang masuk kategori PONED. Bayangkan besarnya risiko yang harus dihadapi ibu hamil dengan penyulit jika harus melewati pelayanan primer di puskesmas yang belum siap untuk menangani kedaruratan ibu hamil.

Waktu terus bergulir. Dengan waktu yang tersisa, mampukah infrastruktur fasilitas layanan kesehatan kita mewujudkan target AKI lewat program JKN ini? Yang jelas, sudah menjadi tanggung jawab kita bersama menyikapi realitas kondisi kesehatan bangsa ini dan menjaga martabat Indonesia di mata dunia sebagai bangsa yang mampu menjaga warga negaranya sendiri, khususnya ibu hamil, dari ancaman kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar