Kamis, 20 Maret 2014

Hak Pilih Kelompok Rentan

Hak Pilih Kelompok Rentan

Mimin Dwi Hartono  ;   Penyelidik Komnas HAM
KOMPAS,  21 Maret 2014
                              
                                                                                         
                                                      
SEKITAR 1,7 juta penyandang tunanetra dikhawatirkan tak akan bisa menggunakan hak pilihnya secara memadai (Kompas, 7/3). Hal itu karena tidak disediakannya kartu suara khusus (braille) untuk penyandang tunanetra.

Alasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah adanya kendala teknis untuk memfasilitasi kartu suara khusus untuk penyandang tunanetra. Kartu suara khusus hanya tersedia untuk pemilihan anggota DPD dan presiden/wakil presiden.

Pemilu legislatif tinggal menghitung minggu. Sebenarnya masih ada cukup waktu untuk memfasilitasi pemenuhan hak pilih penyandang tunanetra khususnya ataupun penyandang difabel pada umumnya. Tidak ada alasan pembenar untuk tidak memenuhi hak pilih mereka, apalagi dengan alasan kendala teknis.

Penyandang tunanetra yang jumlahnya cukup besar tersebut belum termasuk kelompok rentan lain yang terancam kehilangan dan atau tidak dipenuhinya hak pilih mereka. Masih ada banyak kelompok lain, antara lain masyarakat adat di pedalaman yang tidak melek huruf atau jauh dari akses untuk memilih, buruh migran di tempat transit dan tujuan, dan tahanan/narapidana.

Harus difasilitasi

Karena itu, Komnas HAM akan melakukan pemantauan atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak pilih kelompok rentan. Komnas HAM akan melakukannya di 21 provinsi untuk pemilu legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden.

UU No 39/1999 tentang HAM Pasal 43 menegaskan, setiap orang berhak untuk dipilih dan memilih. Begitupun Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (UU No 12/2005) yang menegaskan hak pilih sebagai hak asasi manusia.

Kelompok rentan, berbeda dengan warga negara lainnya, mempunyai kerentanan, baik karena faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, maupun fisik, sehingga harus difasilitasi secara khusus dalam mempergunakan hak pilihnya. Negara harus memastikan setiap individu kelompok rentan tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) sehingga dapat mempergunakan dan menikmati hak pilihnya secara bebas dan merdeka.

Pentingnya pemenuhan hak pilih karena ia melekat pada setiap orang yang sudah memenuhi syarat untuk turut serta menentukan jalannya pemerintahan. Kelompok rentan punya hak yang sama dengan warga negara lain untuk berpartisipasi dalam pemilu. Hak pilih adalah instrumen dari pemberdayaan rakyat untuk mewujudkan pemerintahan yang kredibel dan demokratis, termasuk untuk memperjuangkan hak-hak kelompok rentan.

Oleh karena itu, sarana dan prasarana bagi terwujudnya pemilihan umum yang adil, transparan, dan jujur harus terpenuhi. Penyelenggara pemilu—dalam hal ini KPU, Bawaslu, dan lainnya—berkewajiban mewujudkannya dengan partisipasi masyarakat dan aktor nonnegara, misalnya lembaga swadaya masyarakat. Jika perlu dengan bantuan internasional. Kewajiban negara dalam penyelenggaraan pemilu secara umum adalah menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil) hak pilih.

Bagi kelompok rentan, dimensi penghormatan atas hak pilih direfleksikan dalam bentuk kebebasan pemegang hak pilih untuk mempergunakan ataupun tidak mempergunakan hak pilihnya. Tak seorang pun atau institusi mana pun yang diperbolehkan menekan atau memaksa pemegang hak pilih untuk memilih calon tertentu.

Apabila ada pemaksaan, terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berupa tercerabutnya atau terkuranginya penikmatan hak pilih dan kemerdekaan seseorang. Potensi adanya pemaksaan atau rekayasa hak pilih kelompok rentan sangat besar, misalnya masyarakat di daerah perbatasan dengan negara lain atau mereka yang tercatat sebagai pemilih tetapi tidak pernah mempergunakan haknya.

Kemudian dimensi perlindungan hak pilih adalah kewajiban negara untuk melindungi hak pilih seseorang dari tindakan pihak ketiga. Misalnya tindakan calon legislator atau tim sukses calon atau partai politik yang memaksa atau mengancam seseorang atau kelompok untuk memilih calon tertentu.

Negara harus menjamin setiap pemegang hak pilih punya kemerdekaan dalam mempergunakan atau tidak mempergunakan hak pilihnya. Suasana yang aman dan nyaman menjadi prasyarat penting dalam perlindungan hak politik. Di aspek ini, tahanan/narapidana bisa menjadi kelompok yang rentan untuk dimobilisasi mendukung calon tertentu.

Kewajiban negara

Dimensi pemenuhan HAM dalam pemilu adalah kewajiban negara untuk merealisasikan penyelenggaraan pemilu yang bebas dan demokratis. Pemilu membutuhkan biaya yang sangat besar, puluhan triliun rupiah, yang di antaranya untuk membiayai operasional dan tahapan kegiatan pemilu yang dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, serta untuk menyediakan logistik dan sarana yang memadai. Di samping itu adalah pentingnya jaminan keamanan dalam penyelenggaraan pemilu sehingga perlu dana yang memadai bagi polisi dan TNI.

Pemenuhan HAM juga terkait dengan kewajiban negara untuk memberikan pendidikan politik bagi pemegang hak pilih. Hal ini sangat mendasar untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas. Pemegang hak pilih yang kritis tidak hanya akan mampu memilih calon secara kritis, tetapi juga akan ”memaksa” partai politik untuk menetapkan calon yang kapabel dan kredibel.

Aspek pemenuhan ini sangat terkait dengan hak pilih kelompok rentan. Jangan karena alasan keterbatasan dana, fasilitas, dan waktu jadi pembenar terabaikannya hak pilih seperti dalam kasus penyandang tunanetra. Jika negara dinilai belum mampu menyelenggarakan pemilu yang demokratis terkait, di antaranya, dengan keterbatasan dana dan sumber daya manusia, bisa dilakukan kerja sama secara internasional. Misalnya dalam melakukan pendidikan pemilih dan pendampingan dalam penerapan teknologi informasi atau teknologi yang memudahkan kelompok rentan mempergunakan hak pilihnya.

Pemilu yang berbasiskan HAM akan menjamin proses dan hasil pemilu yang berkualitas sehingga terbentuk pemerintahan yang kredibel. Pemilu jadi ruang publik bagi negara, partai politik, dan warga negara untuk berinteraksi secara konstruktif dan aktif dalam membangun sistem dan mekanisme pemerintahan yang diinginkan rakyat. Dengan demikian, pemerintahan yang terbentuk memiliki legitimasi sosial dan politik yang memadai untuk menyejahterakan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar