Kamis, 20 Maret 2014

Bukan China, tapi Tionghoa

Bukan China, tapi Tionghoa

Alhimni Fahma  ;   Periset di KRA Group Malaysia
JAWA POS,  21 Maret 2014
                            
                                                                                         
                                                      
MENJELANG akhir masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Keppres yang terbubuhi tanda tangan SBY pada 14 Maret 2014 itu secara resmi menandakan bahwa kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan istilah orang dari atau komunitas ''Tjina/China/Cina'' diubah menjadi dan/atau komunitas ''Tionghoa''. Penyebutan ''Republik Rakyat China'' diubah menjadi ''Republik Rakyat Tiongkok''.

Keputusan presiden tersebut merupakan keputusan manis di tengah kasak-kusuk kegelisahan para sastrawan atau pemerhati bahasa Indonesia. Dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EYD), istilah ''China'' sebelumnya tertulis ''Cina''. Kemudian, Kedutaan Besar RRC di Jakarta mengeluarkan surat edaran kepada media massa yang mengimbau penggunaan istilah ''Cina'' menjadi ''China''.

Senyampang dengan adanya ketidakadilan perlakuan sosial terhadap masyarakat keturunan China pada zaman Orde Baru, perubahan istilah tersebut dimaknai sebagai permintaan maaf masyarakat Indonesia kepada masyarakat China yang telah terluka oleh perlakuan rezim yang tak bertanggung jawab. Makna tersiratnya sudah kita tangkap dan sudah diyakini Kedubes RRC sebagai pelipur lara. Masyarakat berempati dan menyepakati. Media massa pun mengiyakan.

Namun, dua kata tersebut sejatinya tidak mengalami perubahan lafal. Sebab, dalam alfabet bahasa Indonesia, huruf ''i'' terbaca ''i'', bukan ''ai''. Karena itu, pelafalan ''China'' maupun ''Cina'' jelas tidak berbeda. Secara prinsip tata bunyi, istilah keduanya tidak bisa dijadikan contoh homofon. Sebab, meski sama lafal dan berbeda ejaan, maknanya tetap sama. Alangkah gatal kemudian telinga kita mendengar pewarta di stasiun televisi nasional melafalkan China dengan pelafalan bahasa Inggris ''Chaina''.

Sapardi Djoko Damono, misalnya, pernah menyangsikan adanya dampak signifikan terhadap perubahan istilah keduanya. Apakah benar-benar penggunaan ''Cina'' mengandung konotasi negatif. Apakah perubahan ''China'' terdengar lebih netral? Dia juga mempertanyakan alasan masih adanya intervensi negara lain dalam ketatabahasaan negara ini tanpa persetujuan sah bersama dan bukan kolektif saja.

Apakah itu sebuah kebetulan? Tentu tidak. Secara kasatmata, SBY memberikan privilege kepada Tionghoa demi alasan menjaga stabilitas sosial. Hal itu dipandang penting mengingat cita-cita dalam UUD 45 adalah menyatukan seluruh warga negara Indonesia yang mengakui Indonesia sebagai tanah air, bersikap setia kepada Republik Indonesia tanpa adanya perlakuan diskriminatif.

Keppres No 12/2014 tersebut menjadi langkah strategis nan elegan untuk mempererat hubungan bilateral kedua negara, Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok, serta pengesahan bahwa pada era SBY warga Tionghoa telah berasimilasi dengan baik sebagai warga negara Indonesia (WNI).

Namun, karena 2014 adalah tahun politik dan keputusan itu dikeluarkan menjelang akhir masa jabatannya, tentu keputusan tersebut dianggap kental aroma politik. SBY bagaikan hendak menebus perlakuan ''pembiaran'' terhadap ras masyarakat minoritas ketika tengah memangku jabatan.

Sebenarnya tidak. Jika dibandingkan dengan warga Tionghoa Malaysia yang berjumlah 29,8 persen, warga Tionghoa di Indonesia sangat sedikit, yakni 1,3 persen. Di negeri jiran, warga Tionghoa telah diberi peran efektif di sistem politik Malaysia dan kepentingan mereka diperhatikan secara serius. Sulit menyebut mereka adalah konglomerat seperti yang banyak ditemui di Indonesia. Sebab, jumlah yang banyak tersebut tersebar di pedesaan dan perkotaan dengan sumber daya manusia yang rata (Justian Suhandinata 2009: 157-158). Pada era PM Mahathir Mohamad, Tionghoa Malaysia diperbolehkan mengunjungi China.

Di Indonesia, meski jumlah warga Tionghoa semakin menyusut, peran mereka di sektor bisnis menjanjikan dan berkesinambungan. Tidak luput juga, perpolitikan Indonesia yang matang menarik warga Tionghoa untuk ikut serta mengambil peran.

Tentu, langkah SBY itu pernah dilakukan Presiden Ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur yang lebih dikenal dengan bapak pluralisme bangsa kala itu membuka keran lebar-lebar bagi kebebasan masyarakat Indonesia Tionghoa dengan mencabut Inpres 1967. Pertimbangan Gus Dur, selain sebagian darahnya adalah Tionghoa, kita tahu keharmonisan masyarakat Tionghoa dan ras lainnya sejatinya dimulai sejak Geger Pecinan pada 1740.

Saat pemerintahan di bawah kendalinya, Gus Dur berdiri di garda depan untuk menjadi ''teman'' sepersaudaraan masyarakat Tionghoa. Murni tanpa vested interest. Hal serupa dilakukan John F. Kennedy ketika Right Civil Act 1964. Kennedy yang berkulit putih itu merasa gelisah karena cita-cita Amerika bersatu padu masih terbedakan antara ''colored'' dan ''white''.

Presiden Pertama RI Soekarno secara terbuka menganggap etnis Tionghoa sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari bangsa Indonesia. Hal itu tecermin dari pidatonya dalam Kongres Baperki VIII pada Maret 1963. Dia menyatakan bahwa peranakan China adalah suku Indonesia. Suku berarti kaki. Bangsa Indonesia memiliki banyak kaki, sama seperti lipan, yang memiliki kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatera, kaki Irian, kaki Dayak, dan kaki Sumba. Kaki peranakan China. Kaki peranakan adalah salah satu kaki kebangsaan Indonesia (Giok Tjhan 1963:14).

Terlambatnya SBY mereaksi perubahan istilah masih kita maklumi. Namun, seiring berjalannya kehidupan damai antara masyarakat Tionghoa dan ras-ras lain di Indonesia, setidaknya kecurigaan akan ''aroma kepentingan'' sedikit terlebur.

Sebagai negara dengan demokrasi terbesar ketiga di dunia, semoga Indonesia bisa menjaga keharmonisan semua ras dan etnis, meski suhu panas tahun politik ini bisa tersulut api kapan pun. Selamat kepada masyarakat Tionghoa atas penamaan barunya. Sedikit berseloroh, artinya sedikit lagi kita susah menemukan ''Kampung Pecinan'' karena yang ada adalah ''Kampung Tionghoaan''? Begitu pula ''petai cina'' akan langka karena yang ada adalah ''petai tionghoa''?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar