Kamis, 13 Maret 2014

Hak Pilih Kelompok Rentan

Hak Pilih Kelompok Rentan

 Mimin Dwi Hartono  ;   Penyelidik Komnas HAM
MEDIA INDONESIA,  13 Maret 2014
                                                                                                                   
                                                                                         
                                                                                                             
SEKITAR 1,7 juta penyandang tunanetra dikhawatirkan tidak akan bisa mempergunakan hak pilih secara memadai dalam Pemilu 9 April 2014 (Kompas, 7/3). Hal itu karena tidak disediakannya kartu suara khusus (braille) untuk penyandang tunanetra.

Alasan Komisi Pemilihan Umum ialah adanya kendala teknis untuk memfasilitasi kartu suara khusus untuk penyandang tunanetra (Kompas, 7/3). Kartu suara khusus hanya tersedia untuk pemilihan anggota DPD dan presiden/wakil presiden.

Meski demikian, sebenarnya masih ada cukup waktu untuk memfasilitasi pemenuhan hak pilih penyandang tunanetra khususnya, atau penyandang disabilitas pada umumnya. Tidak ada alasan pembenar untuk tidak memenuhi hak pilih mereka, apalagi dengan alasan kendala teknis seperti diutarakan salah seorang komisioner KPU.

Penyandang tunanetra yang jumlahnya sekitar 1% dari jumlah pemilih secara nasional tersebut belum termasuk dengan kelompok rentan lain yang terancam kehilangan dan atau tidak dipenuhinya hak pilih mereka. Kelompok rentan tersebut di antaranya masyarakat adat di pedalaman yang tidak melek huruf atau jauh dari akses untuk memilih, buruh migran di tempat transit dan tujuan, dan tahanan/ narapidana.

Untuk itulah maka Komnas HAM akan melakukan pemantauan atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak pilih kelompok rentan. Komnas HAM akan melakukannya di 21 provinsi untuk pemilu legislatif ataupun pemilihan presiden/wakil presiden.

Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM di pasal 43 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk dipilih dan memilih. Pun dengan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Undang-Undang No 12/2005) yang menegaskan hak pilih sebagai hak asasi manusia.

Kelompok rentan, berbeda dengan warga negara lainnya, mempunyai kerentanan baik karena faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, maupun fisik, sehingga harus difasilitasi secara khusus dalam mempergunakan hak pilih. Negara harus memastikan setiap individu di dalam kelompok rentan tercatat di dalam daftar pemilih tetap (DPT) sehingga dapat mempergunakan dan menikmati hak pilihnya secara bebas dan merdeka.

Pentingnya pemenuhan hak pilih karena merupakan hak yang melekat pada setiap orang yang sudah memenuhi syarat untuk turut serta menentukan jalannya pemerintahan. Kelompok rentan mempunyai hak yang sama dengan warga negara lain untuk berpartisipasi dalam pemilu. Hak pilih adalah instrumen dari pemberdayaan rakyat untuk mewujudkan pemerintahan yang kredibel dan demokratis, termasuk untuk memperjuangkan hak-hak kelompok rentan.

Untuk mewujudkannya, maka sarana dan prasarana bagi terwujudnya pemilihan umum yang fair, transparan, dan jujur harus terpenuhi. Penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, Bawaslu, dan lainnya mempunyai kewajiban untuk mewujudkannya dengan partisipasi masyarakat dan aktor nonnegara, misalnya lembaga swadaya masyarakat, serta bantuan internasional jika perlu.

Kewajiban negara dalam penyelenggaraan pemilu secara umum ialah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak pilih.

Bagi kelompok rentan, dimensi penghormatan atas hak pilih direfl eksikan dalam bentuk kebebasan dari pemegang hak pilih untuk mempergunakan ataupun tidak mempergunakan hak pilih. Tidak seorang pun atau institusi negara mana pun yang diperbolehkan menekan atau memaksa pemegang hak pilih untuk memilih calon tertentu.

Apabila ada pemaksaan, terjadi pelanggaran hak asasi manusia berupa tercerabutnya atau terkuranginya penikmatan hak pilih dan kemerdekaan seseorang. Potensi adanya pemaksaan atau rekayasa hak pilih kelompok rentan sangat besar. Misalnya pada masyarakat di daerah perbatasan dengan negara lain, yang tercatat sebagai pemilih, tetapi tidak pernah bisa mempergunakan hak mereka.

Kemudian dimensi perlindungan hak pilih ialah kewajiban dari negara untuk melindungi hak pilih seseorang dari tindakan pihak ketiga, misalnya tindakan dari calon legislator atau tim sukses calon atau partai politik yang memaksa atau mengancam seseorang atau kelompok untuk memilih calon tertentu. Negara harus menjamin bahwa setiap pemegang hak pilih mempunyai kemerdekaan dalam mempergunakan atau tidak mempergunakan hak pilihnya. Suasana yang aman dan nyaman menjadi prasyarat penting dalam perlindungan hak politik. Di aspek ini, tahanan/ narapidana bisa menjadi kelompok yang rentan untuk dimobilisasi mendukung calon tertentu.

Dimensi pemenuhan HAM dalam pemilu ialah kewajiban dari negara untuk merealisasikan penyelenggaran pemilu yang bebas dan demokratis. Pemilu membutuhkan biaya yang sangat besar, puluhan triliun rupiah, yang di antaranya untuk membiayai operasional dan tahapan kegiatan pemilu yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, juga untuk menyediakan logistik dan sarana yang memadai. Di samping itu, pentingnya jaminan keamanan dalam penyelenggaran pemilu sehingga perlu dana yang memadai bagi Polri dan TNI.

Pemenuhan HAM juga terkait dengan kewajiban negara untuk memberikan pendidikan politik bagi pemegang hak pilih (voter’s education). Hal itu sangat mendasar untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas. Pemegang hak pilih yang kritis tidak hanya akan mampu memilih calon secara kritis, tapi juga akan ‘memaksa’ partai politik untuk menetapkan calon yang kapabel dan kredibel.

Aspek pemenuhan itu sangat terkait dengan hak pilih kelompok rentan. Jangan karena alasan keterbatasan dana, fasilitas, dan waktu, menjadi pembenar terabaikannya hak pilih, seperti dalam kasus penyandang tunanetra. Jika negara dinilai belum mampu untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis terkait antara lain keterbatasan dana dan sumber daya manusia, bisa dilakukan kerja sama secara internasional, misalnya dalam melakukan pendidikan pemilih ataupun pendampingan dalam penerapan teknologi informasi atau teknologi yang memudahkan kelompok rentan mempergunakan hak pilih.

Pemilu yang berbasiskan HAM akan menjamin proses dan hasil pemilu yang berkualitas sehingga terbentuk pemerintahan yang kredibel. Pemilu menjadi ruang publik bagi negara, partai politik, dan warga negara untuk berinteraksi secara konstruktif dan aktif dalam membangun sistem dan mekanisme pemerintahan yang diinginkan oleh rakyat. Dengan demikian, pemerintahan yang terbentuk mempunyai legitimasi sosial dan politik yang memadai untuk menyejahterakan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar