Rabu, 19 Maret 2014

Mengapa Harus Membunuh?

Mengapa Harus Membunuh?

Tom Saptaatmaja  ;   Alumnus STFT Widya Sasana Malang
 dan Seminari St Vincent de Paul
MEDIA INDONESIA,  19 Maret 2014
                                         
                                                                                         
                                                                                                             
“There is a persistent of violence and cruelty in human nature.“
(Sejarawan Arnold J Toynbee, 1889-1975)

MEMPRIHATINKAN sekali, belakangan ini, orang dengan mudah membunuh sesamanya. Simak saja mantan kekasih atau te man semasa di SMA pun tega mela kukan hal yang amat keji ini, seperti dilakukan Ahmad Imam Hafitd, 19, dan pacar barunya, Assyifa Rama dhani, 19, dua pembunuh Ade Sara Angelina Suroto, 19. Jenazah korban ditemukan di ruas tol lingkar luar Ja karta (JORR) di sekitar Km 41 Bintara, Bekasi Barat, Rabu (5/3) sekitar pukul 06.30 WIB. Yang tak habis dinalar, para pelaku bahkan sempat melayat dan mengungkapkan dukacita me reka di akun Twitter mereka.

Apa yang terjadi pada Ade Sara hanyalah satu contoh. Hampir tiap hari terjadi kasus pembunuhan. Han Junen alias Acan, 40, pemilik toko di Ciledug, misalnya, dibunuh secara sadis oleh Ir, 35, hanya gara gara tak dipinjami utang (Selasa, 11/3)). 

Beragam kasus pembunuhan itu memperlihatkan martabat luhur kemanusiaan direndahkan kesadisan dan kekejaman. Pembunuhan biadab atas Ade Sara atau Acan hanya men jadi repetisi. Pembunuhan itu seolah hanya membenarkan pendapat Arnold J Toiynbee di awal tulisan ini bahwa `tidak henti-hentinya ada getaran kekerasan dan kekejaman yang menjadi karakter manusia'.

Mungkin saja ada yang mengang gap berbagai berita pembunuhan sadis itu sebagai sesuatu yang biasa. Karena dianggap biasa, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang normal. Padahal, untuk sebuah negara yang ingin tetap menjaga peradaban, pembunuhan itu jelas bukan hal yang wajar. Itu jelas tak bisa dibiarkan, apalagi dibiarkan terulang. Oleh sebab itu, teriakan para korban pembunuhan yang berlangsung dalam diam semoga mengusik nurani kita.

Kultur nekrofilia

Harus diakui, betapa budaya kematian (nekrofilia) kini mengancam kemanusiaan di kota-kota besar kita. Ahli psikoanalis terkenal Sigmund Freud (1856-1939) pernah ditanya seseorang, apakah watak manusia itu baik atau jahat. Dengan tegas Freud menjawab: jahat. Dalam bukunya Civilization and Its Discontents, ia menulis: `manusia bukanlah makhluk yang lemah lembut dan bersahabat, yang ingin menyayangi, dan hanya mempertahankan diri bila diserang...tetapi sejumlah keinginan yang kuat untuk bertindak agresif harus diakui sebagai watak manusia yang asli'.

Malah kalangan zoologis, khususnya Robert Ardrey dalam bukunya African Genesis menyatakan `manusia adalah binatang buas yang naluri alamiahnya ialah membunuh dengan senjata'. Pendapat Toynbee, Freud, atau Ardrey seolah memang membenarkan bahwa manusia itu tidak lebih baik daripada binatang. Memang ada manusia dengan watak culas yang tega menghabisi sesamanya dengan sangat biadab, tapi agamaagama samawi seperti Kristen atau Islam sudah mengajarkan betapa martabat manusia itu sesungguhnya luhur dan mulia karena diciptakan Sang Pencipta sendiri. Agama-agama apa pun juga mengajarkan perlunya kita semua menjaga dan melindungi kehidupan karena kehidupan itu sakral (suci) lalu ada larangan tegas agar jangan membunuh. Karena itu, di tengah-tengah kebisuan publik atas beragam kasus pembunuhan akhir-akhir ini, kita harus kembali menyadari kembali pentingnya kem bali ke nilai-nilai kemanusiaan dan mendengarkan ulang ajaran-ajaran mulia agama untuk melindungi dan menjaga nyawa sesama kita.

Memprihatinkan, berdasar kajian sosiologi, kini motif pembunuhan di kota-kota besar seperti Surabaya justru cenderung sangat remeh. Hal hal sepele, seperti saling pandang pada pandangan pertama saja, bisa mendorong orang untuk saling mem bunuh. Ada dua orang yang semula hanya saling melempar kulit rambu tan kemudian berlanjut saling me lempar parang. Ada orang yang tega membunuh ketika diberi tahu untuk memelankan volume televisi.

Motif-motif sepele dalam membunuh itu kian membenarkan pemeo bahwa kultur nekrofilia (kecintaan kepada kematian) kian menjadi pandemi di kota-kota besar. Nekrofilia jelas menjadi kecenderungan yang tidak normal karena manusia yang masih diberi hidup seharusnya punya kecintaan pada kehidupan (biofilia). Konon men talitas konsumtif, mentalitas yang hanya mau menikmati lewat gaya hidup perkotaan, menjadi pemicu kian suburnya kultur atau budaya kematian (nekrofilia).

Untuk itu, kita perlu mendengar kan kembali hati nurani kita yang sebenarnya penuh dengan pesan untuk menghargai sesama. Mari menengok serta mendengarkan ajaran-ajaran mulia agama (yang kita anut) untuk kembali menghargai kehidupan. 

Tentu saja implikasi dari ajaran tersebut amat luas. Ajaran itu bukan sebatas melarang melakukan pembunuhan. Namun, lebih dari itu, di setiap tindakan kita, keselamatan diri kita maupun sesama harus menjadi perhatian dan prioritas kita. Ini bisa secara luas kita terjemahkan dalam banyak konteks kehidupan. Menghargai hidup kita dan sesama, juga bisa dilakukan di jalan. Perilaku berkendara yang tidak bertanggung jawab bisa memicu terjadinya kecelakaan yang merenggut nyawa sesama.

Jelang pileg dan pilpres

Menjelang pileg dan pilpres, jelas kekerasan dengan motif politik akan marak. Dari berbagai kasus pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai tempat di negeri ini, cukup sering terjadi kasus kekerasan, anarkisme dan pembunuhan lawan politik.

Pramoedya Ananta Toer sudah pernah mengingatkan sejak zaman Singasari hingga Orde Baru, darah kerap ditumpahkan setiap kali terjadi pergantian kekuasaan di Nusantara. Negeri ini secara skeptis juga pernah disinggung Freek Colombijn dan J Thomas Lindblad (2002) sebagai `negara kekerasan' (violent country).

Mari kita buktikan bahwa dalam Pileg dan Pilpres 2014, perbedaan pilihan politik tidak perlu diselesaikan dengan cara kekerasan. Mari kita buktikan pula bahwa kita bukan serigala bagi sesama kita. Pembunuhan bukanlah cara bermartabat untuk menyelesaikan masalah.

Masih banyak opsi yang bisa kita pilih untuk menunjukkan bahwa kita bukanlah penganut hukum rimba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar