Selasa, 18 Maret 2014

Jangan Bangga Jadi Golput

Jangan Bangga Jadi Golput

Mohammad Nasih  ;   Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Jakarta
REPUBLIKA,  17 Maret 2014

                                                                                         
                                                                                                             
Konotasi yang melekat pada golput (golongan putih) pada masa awal kemunculannya adalah positif. Sebab, frase ini menunjuk kepada kalangan tertentu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, aktivitas sosial politik intensif, memiliki pandangan kritis, dan karena itu kemudian memberikan wacana yang berlawanan dalam konteks memberikan suara dalam pemilu. Sebab, latar belakang kemunculan golput ini adalah ketidakpercayaan mereka kepada partai-partai politik, pada masa awal pemerintahan rezim Orde Baru, tepatnya menjelang Pemilu 1971. Mereka menganggap bahwa semua partai politik berada di bawah hegemoni rezim, partai apa pun yang menjadi pilihan, saat itu, menjadi sama saja.

Dalam suasana pemerintahan yang birokratik otoritarian tersebut, pilihan untuk menjadi golput juga membutuhkan keberanian tersendiri. Sebab, sikap golput, oleh aparat negara, dianggap sebagai tindakan perlawanan terhadap negara, walaupun sesungguhnya memilih merupakan hak warga Negara. Menjadi golput saat itu meniscayakan keberanian yang lebih besar menghadapi risiko.

Inilah yang juga menyebabkan menjadi golput menjadi kebanggaan tersendiri.
Namun, dalam situasi dan kondisi pascareformasi yang telah mengalami perubahan sangat drastis, pilihan sikap untuk menjadi golput mestinya tidak bisa lagi dibenarkan, apalagi dibanggakan. Sebab, menjadi golput berarti tidak berkontribusi kepada perbaikan negara. Memberikan suara kepada orang atau partai yang dipercaya merupakan salah satu jalan strategis bagi warga negara yang memiliki hak pilih untuk memperbaiki negara. Melalui pejabat-pejabat yang dipilih oleh rakyat itulah, perbaikan negara bisa diharapkan.

Dalam konteks sekarang, semua warga negara justru dituntut untuk memberikan kontribusi yang nyata dalam politik. Orang-orang yang memiliki wawasan dan kemampuan lebih dalam politik seharusnya mengambil peran-peran yang signifikan untuk memperbaiki negara. Dengan kelebihan itu, seharusnya merekalah yang menjadi pemimpin-pemimpin negara dengan menjadi penyelenggara yang mengisi seluruh rumpun kekuasaan yang ada, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif; baik yang dipilih secara langsung oleh rakyat, maupun melalui penunjukan oleh DPR atau Pemerintah. Mereka tidak bisa hanya "berteriak-teriak" dari luar gelanggang politik tanpa memiliki otoritas, karena otoritas itulah kekuatan kekuatan yang sesungguhnya dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik.

Jangan netral!

Mereka yang masih memilih untuk menjadi golput sesungguhnya tidak memahami secara baik tentang perubahan situasi dan tidak memahami tanggung jawab sebagai warga negara untuk membangun peradaban politik yang baik.

Menjadi golput, karena itu, justru menunjukkan kelatahan sikap dan/atau ketidakmampuan dalam berkontribusi secara nyata dalam politik. Memang, sekarang bisa dikatakan sebagai era politik yang sangat memprihatinkan, dan karena itu diperlukan upaya-upaya yang lebih kuat untuk memperbaiki negara dengan cara-cara yang luar biasa.

Saat ini, diperlukan pejuang-pejuang politik yang mau memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas dan lebih utama dengan memasuki secara langsung medan politik, agar memiliki posisi yang jelas. Jika tidak masuk dalam struktur politik, maka mesti memiliki kemampuan dan keberanian untuk mengorganisasi masyarakat untuk mendukung calon-calon tertentu yang dinilai memiliki kapasitas, kapabilitas, kompetensi, dan komitmen untuk menjadi penyelenggara negara. Politisi yang idealis tetap ada, walaupun jumlahnya memang sangat sedikit. Dan mereka inilah yang seharusnya mendapatkan dukungan dan advokasi politik agar dapat masuk dalam medan kekuasaan dan bisa melakukan perjuangan politik dari dalam.

Sikap netral yang seringkali ditunjukkan oleh orang-orang yang merasa diri atau dianggap baik dan bermoral, bisa menjadi sikap yang tidak jelas, karena tidak bisa menjadi rujukan masyarakat yang membutuhkan panduan dalam memilih siapa calon yang memang memiliki kualitas yang memadai. Keberanian untuk menempatkan diri secara tegas dengan mendukung pribadi-pribadi calon tertentu yang dianggap memiliki kualifikasi sebagai politisi yang berkualitas sangat diperlukan. Yang terpenting adalah tidak menjadikan keberpihakan itu sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan materi, baik untuk kelompok apalagi diri sendiri. Keberpihakan itu harus semata-mata diorientasikan untuk mengawali pembangunan negara menjadi lebih baik.

Akhirnya, jika benar-benar tidak ada lagi partai politik yang bisa diharapkan, karena di dalamnya penuh dengan calon-calon yang tidak berkualitas, maka seharusnya itu justru menjadi tantangan atas kaum cerdik pandai dan sekaligus moralis untuk melakukan upaya-upaya ekstra guna merebut atau menguasai partai yang ada. Atau jika itu pun sudah tidak bisa dilakukan, maka tidak ada pilihan lain kecuali mendirikan partai baru yang dengannya mereka harus berkompetisi memperebutkan kekuasaan dalam pemilu-pemilu berikutnya.

Orang-orang yang merasa diri baik harus membuktikan diri bahwa mereka juga memiliki kemampuan jika diserahi amanat kekuasaan dan tidak akan menyelewengkannya. Wallahu a'lam bi al- shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar