Selasa, 18 Maret 2014

Menghitung “Jokowi Effect’

Menghitung “Jokowi Effect’

Sunarsip  ;   Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
REPUBLIKA,  17 Maret 2014

                                                                                         
                                                                                                             
Pada akhir pekan lalu, pasar keuangan kita diberitakan bergairah. IHSG ditutup menguat 152,47 poin atau 3,23 persen ke level 4.878,64 pada perdagangan Jumat (14/3). Sedangkan, nilai tukar rupiah ditutup menguat 0,26 persen ke level Rp 11.356 per dolar Amerika Serikat (AS) setelah sepanjang hari itu bergerak pada kisaran Rp 11.355- Rp 11.438 per dolar AS. Posisi nilai tukar rupiah ini sekaligus menjadi level penutupan terkuat sejak November 2013. Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) obligasi negara (SBN) 10 tahun ditutup pada level 7,89 persen atau turun satu basis poin (bps) dari posisi pada hari sebelumnya, delapan persen.

Sejumlah analis mengaitkan kinerja positif di pasar keuangan ini sebagai respons positif atas pendeklarasian Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden dari PDIP atau `Jokowi Effect. Ana lisis keterkaitan `Jokowi Effect' ini memiliki penguatnya setelah pada saat yang sama, pasar keuangan di Asia mengalami penurunan, mengikuti penurunan pasar keuangan di AS. Padahal, dalam `tradisi' pasar keuangan kita, biasanya kalau situasi pasar keuangan global melemah, Indonesia juga ikut melemah. Bagaimana penjelasan yang sesungguhnya? Sejauh apa `Jokowi Effect' ini memengaruhi kinerja pasar keuangan kita?

Kinerja pasar keuangan kita dalam dua bulan terakhir ini memang dalam kondisi yang baik. Tidak hanya karena ditopang oleh fundamental ekonomi yang relatif baik, juga ditopang oleh faktor positif dari sektor eksternal. Pada Februari, BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 5,78 persen. Meskipun menurun dibanding 2012, pertumbuhan ini relatif lebih baik dibanding negara-negara lain. Tekanan inflasi juga semakin menurun. Hingga Maret, inflasi kita secara tahunan (year on year/yoy) sebesar 7,75 persen, menurun dibanding inflasi pada akhir 2013 sebesar 8,38 persen.

Sektor perdagangan luar negeri memang masih defisit, namun tren defisitnya menurun. Di sisi lain, aliran masuk modal asing juga terus membaik. Hingga Februari, aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan kita mencapai Rp 34,6 triliun. Dengan perkembangan positif ini, cadangan devisa kita pada Februari 2014 meningkat menjadi 102,7 miliar dolar AS. Seiring dengan positifnya fundamental ekonomi serta perbaikan kinerja sektor eksternal tersebut, nilai tukar rupiah juga mengalami penguatan.

Pada Februari 2014, rupiah ditutup di level Rp 11.609 per dolar AS, menguat 5,18 persen di banding dengan level akhir Januari 2014.

Sementara itu, kinerja pasar modal pada Februari 2014 semakin membaik. IHSG menguat dan yield SBN menurun, terutama didorong oleh meningkatnya optimisme investor terhadap ekonomi domestik. Kinerja IHSG mencapai level 4.620,22 (28 Februari 2014) atau naik 4,6 persen dibandingkan dengan level akhir Januari 2014 sebesar 4,418,76 (30 Januari 2013). Pada Februari 2014, yield SBN secara keseluruhan turun 37,06 bps menjadi 8,23 persen dibandingkan yield Januari 2014 yang sebesar 8,60 persen.

Berdasarkan perkembangan di atas, memang ada alasan bagi pasar keuangan kita untuk menguat. Namun, pasar ke uangan kita juga sering mengalami anomali. Misalnya, pasar keuangan kita sering lebih merespons sentimen negatif dibanding kinerja fundamental ekonomi kita yang kuat. Dalam konteks `Jokowi Effect' terlihat bahwa pengaruh yang ditimbulkannya sejatinya tidak lebih besar dibanding faktor fundamental, seperti terlihat dari perkembangan di atas.

Sebagai contoh, penguatan rupiah yang terjadi akibat fundamental ekonomi dalam satu bulan terakhir (sebelum pencapresan Jokowi) menguat sebesar 5,18 persen sedangkan karena `Jokowi Effect' hanya 0,26 persen. Kinerja IHSG dalam satu bulan terakhir menguat 4,6 persen sedangkan karena `Jokowi Effect' hanya 3,23 persen. Begitu juga, yield SBN dalam satu bulan terakhir menurun 37,06 bps sedangkan karena `Jokowi Effect' hanya satu bps. Pertanyaannya, apa arti dari fenomena terkait dengan kinerja pasar keuangan kita ini?

Saya melihat bahwa pencapresan Jokowi memang telah memunculkan sentimen positif terhadap pasar. Na mun, dengan melihat penga ruh yang tipis tersebut, sejatinya pelaku pasar juga masih bersikap realistis, terlihat wait and see, sambil mencermati perkembangan ekonomi selanjutnya.

Perlu diketahui bahwa pasar keuangan kita memang sangat dipengaruhi oleh faktor sentimen (positif maupun negatif). Perkembangan yang terjadi di luar negeri seringkali banyak memengaruhi keputusan perdagangan di pasar keuangan kita. Kondisi ini bisa terjadi karena pasar keuangan kita mayoritas dikuasai oleh pemain asing, baik di saham maupun obligasi.

Tentu, menjadi menarik ketika pasar keuangan di negara lain jatuh (worst), seperti yang terjadi di AS dan Asia, justru pasar keuangan kita menguat. Namun, menjadi tidak relevan bila disimpulkan bahwa penguatan pasar keuangan kita itu semata karena `Jokowi Effect'. Penurunan kinerja pasar keuangan negara-negara Asia, selain dipengaruhi oleh sentimen negatif dari AS, juga disebabkan oleh minimnya sentimen positif yang berasal dari faktor internal mereka.

Kalau kita melihat perkembangan ekonomi yang disajikan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) melalui situsnya, asian bonds online. - adb.org, terlihat bahwa kinerja internal ekonomi sejumlah negara Asia memang menurun. Cina, misalnya, minggu lalu diberitakan untuk pertama kalinya salah satu korporasinya mengalami gagal bayar surat utangnya, di samping pertumbuhan ekonomi yang melemah. Thai land juga diberitakan sedang mempersiapkan APBN-nya untuk 2015 yang akan defisit hingga 500 miliar baht atau empat persen terhadap PDB-nya, naik dua kali lipat diban ding tahun ini. Perlu dicatat, dalam beberapa bulan terakhir ini, kinerja pasar keuangan kita memang relatif lebih baik dibanding dengan sejumlah negara Asia lainnya.

Tulisan ini ingin menegaskan bahwa pencapresan Jokowi memang memberikan sentimen positif bagi pasar keuangan kita sekalipun tipis. Setidaknya, kemunculan Jokowi sebagai capres telah menjadi alternatif di luar calon yang telah terlebih dahulu mendeklarasikan diri, seperti Aburizal Bakrie, Wiranto, dan Prabowo.
Akan menarik lagi dicermati bila muncul figur lain di luar Jokowi yang kini namanya telah beredar, seperti Dahlan Iskan, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Ahmad Heryawan, dan sejumlah nama lainnya.

Dengan kata lain, masih terlalu prematur untuk menjadikan ukuran kinerja pasar saat ini sebagai bentuk dukungan atau penolakan terhadap salah satu capres. Terlebih lagi, kita juga belum mengetahui bagaimana komposisi para pendamping capres (cawapres), termasuk hasil pemilu legislatif nanti. Pelaku pasar juga akan tetap bersikap realistis dalam menyikapi perkembangan ekonomi. Meskipun nanti muncul kandidat capres-cawapres yang dinilai ideal, belum tentu juga akan direspons kuat oleh pasar bila sentimen positif dari faktor fundamental tidak ada. Terlebih lagi, situasi eksternal saat ini masih diliputi ketidakpastian, terutama terkait dengan tapering off di AS serta konflik Rusia-Ukraina.

Kesimpulannya, lebih baik kita menunggu konstelasi politik pascapemilu pada 9 April serta dinamika ekonomi domestik dan global, dibanding membuat kesimpulan dini yang sesungguhnya bersifat sesaat. Wait and see, saya kira itu lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar