Selasa, 18 Maret 2014

Jangan Menggantang Asap

Jangan Menggantang Asap

Advin Aldrian  ;   Kepala Pusat Litbang BMKG
KOMPAS,  19 Maret 2014
                        
                                                                                         
                                                                                                             
BENCANA asap kebakaran hutan yang terus terjadi setiap tahun seakan sudah jadi rutinitas festival tahunan. Instrumen politik dan hukum seakan tidak berdaya untuk mengurangi pola tahunan yang terus terjadi ini. Sementara itu, dampak kerugian yang ditimbulkan sudah sangat dirasakan oleh masyarakat lokal.

Beberapa argumen sering disampaikan mengapa pembersihan lahan dengan pembakaran terus terjadi. Pertama, teknik serupa dilakukan turun-temurun. Kedua, merupakan teknik pembersihan lahan paling murah. Ketiga, menyuburkan lahan setelah dibakar. Mari kita uji kebenaran berbagai argumen tersebut.

Dengan tingkat kepadatan dan kebutuhan lahan yang kian tinggi dalam tingkat populasi saat ini, argumen pembersihan lahan sudah dilakukan sejak turun-temurun tak dapat lagi diterima. Pada generasi terdahulu mungkin jumlah kebakaran tidak banyak karena aktivitas pembersihan lahan tidak sebanyak saat ini. Pencemaran asap yang terjadi pada generasi sebelum kini tidak berdampak seperti saat ini sehingga pola pembenaran demikian sudah tidak dapat diterima.

Proses pembersihan lahan dengan pembakaran adalah teknik sangat mahal. Secara individu pelaku bisa saja ini hal paling murah, tetapi secara kolektif-kommunal—dengan menyertakan berbagai dampak yang mengikutinya, seperti kerugian ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang terjadi—maka dapat dikatakan tidak ada proses pembersihan lahan dengan pembakaran dapat dikatakan murah.

Anak-anak sekolah akan diliburkan, sementara pekerja tidak dapat bepergian keluar rumah, airport dan penerbangan terganggu, dan penderita ISPA meningkat merupakan beberapa contoh kerugian yang nyata. Belum lagi bila menghitung biaya tambahan dalam penanggulangan asap, seperti pengerahan pasukan bomba, bom air melalui udara dan hujan buatan.

Hanya ada satu solusi murah atas bencana asap, yaitu hujan alami. Namun, hal ini tidak dapat dipastikan kapan terjadi karena biasanya festival pembakaran lahan dilakukan saat terjadi kondisi tanpa hujan yang sudah melewati satu minggu. Biaya mahal lainnya, yang juga ditimbulkan, adalah ketegangan politik dengan negara tetangga yang menerima dampak pencemaran tersebut.

Argumen ketiga bahwa pembakaran lahan akan menyuburkan juga perlu dipertanyakan. Pembakaran hanya akan meninggalkan zat inorganik yang berguna secara terbatas. Kemanfaatan penyuburan tanah tak hanya bergantung pada zat inorganik, tetapi juga kepada jasad organik dan rantai makanan yang mengikutinya. 

Pada proses pembakaran lahan, seluruh zat organik yang ada dibumihanguskan. Pembakaran akan menghilangkan biodiversitas lahan dan juga akan menghilangkan rumah bagi satwa lain yang berada di wilayah kebakaran dan penyebaran lahan. Pada beberapa kasus kebakaran hutan di Kalimantan, satwa yang besar juga terancam dan beberapa ditemukan tewas setelah menghirup asap yang sangat pekat.

Tak sulit dilacak

Deteksi dan penentuan pelaku pembakaran bukan hal yang sulit. Pemantauan satelit inderaja dapat menunjukkan lokasi kebakaran dengan tingkat keakuratan sangat tinggi. Keberadaan asap dapat dilacak sumbernya melalui back track trajectory. Dari hasil tersebut dapat dengan mudah ditentukan kepemilikan dengan memakai peta konsesi lahan. Meski demikian, penegakan hukum dalam pemberantasan pelaku pembakaran lahan masih dirasakan tumpul sehingga festival pembakaran terus terjadi.

Secara politik pemerintah bertanggung jawab terhadap kesejahteraan warga negaranya. Gangguan ekonomi, kesehatan, dan transportasi sering kali dianggap hanya isu lokal. Permasalahan asap lintas batas merupakan isu regional. Selain itu, pemerintah juga sudah mencanangkan rencana pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen hingga 2020, di mana komponen terbesar emisi Indonesia berasal dari proses pembakaran lahan. Efektivitas kontrol politik dan hukum atas permasalahan ini akan menjadi ujian kesuksesan pemerintah dalam upaya penurunan emisi.

Ujian berat sesungguhnya akan terjadi pada tahun kemarau kering ekstrem, khususnya pada tahun El Nino kuat, di mana biasanya terjadi peningkatan jumlah titik api secara drastis. Pada beberapa kasus, terutama bila ada tekanan politik seperti saat kunjungan kenegaraan ke negara tetangga, jumlah titik api dapat berkurang drastis. Di lain pihak, saat terjadi kekosongan politik di provinsi rawan kebakaran, jumlah titik api dapat meningkat tajam. Jelas memang ada pengaruh politik dalam upaya penurunan jumlah titik api.

Pada akhirnya diharapkan agar festival pembakaran tahunan dan upaya penanggulangannya tidak jadi upaya ”menggantangkan asap”, yakni suatu upaya yang sia-sia. Sudah jelas, pembersihan lahan dengan membakar sangat merugikan. Terlebih bila mengingat emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya akan membawa dampak hingga beberapa generasi mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar