Senin, 17 Maret 2014

Jual Beli “Suara Tuhan”

Jual Beli “Suara Tuhan”

Serpulus Simamora  ;   Lulusan Pontifical Biblical Institute, Roma, Italia
KORAN JAKARTA,  16 Maret 2014
                                          
                                                                                         
                                                                                                             
Perhelatan memilih para wakil rakyat tinggal menunggu hari. Semua yang berkepentingan mencoba merayu untuk memikat, menggoda, suara rakyat yang sering disebut "suara Tuhan" itu (vox populi, vox Dei).

Pikatan mulai dari menggadang figur-figur cantik, terkenal, pemodal, dan nama besar hingga cara-cara manipulatif teknik kampanye terselubung.

Segala itu demi mengejar dan merebut kursi yang setelah didapat akan jarang diduduki. Pemilihan umum adalah salah satu unsur demokrasi sebagai sarana mulia memilih wakil rakyat agar dapat menyalurkan aspirasi dan mewujudkan kedaulatan di tangan rakyat.

Suara rakyat diklaim sebagai suara Tuhan yang mesti diemban dengan amanah dan dedikasi. Namun faktanya, para wakil rakyat tidak menjalankannya dengan penuh dedikasi. Wajar bila lima tahun ini banyak cercaan dan caci maki kepada mereka.

Malahan lembaga wakil rakyat itu ditengarai paling korup. Masyarakat makin miris melihat perilaku yang dipertontonkan para wakil rakyat. Wakil rakyat seharusnya nomor dua karena nomor satu atau yang lebih utama adalah orang yang diwakili (rakyat).

Tetapi, wakil rakyat telah menjadi nomor satu, yang paling utama dan paling berkuasa. Rakyat perlu berteriak-teriak agar wakilnya sungguh-sungguh matang mempertimbangkan pembelian kursi-kursi mewah, renovasi toilet yang serba wah seharga miliaran rupiah yang tidak akan digunakan secara maksimal.

Rakyat mesti marah dan meriang untuk melawan rancangan dana pensiun yang akan diterima dan dinikmati, bahkan oleh wakil rakyat yang telah terbukti terpidana korupsi.

Wakil rakyat telah menyangkal hakikat sebagai nomor dua dan memosisikan diri sebagai nomor satu dengan segala fasilitas kenyamanannya (komfortabilitasnya). Mereka juga disebut anggota parlemen.

Kata parlemen (parliament) berasal dari bahasa-bahasa neo-Latin (Prancis, Italia, dan seterusnya): parler, parlare, yang berarti berkata, berbicara, mengatakan, membicarakan. Anggota parlemen diharapkan berkata dan berbicara atas nama rakyat.

Mereka mengatakan dan membicarakan kepentingan rakyat. Sekitar 3.700 tahun silam, di Timur Tengah Kuno, sudah ada fungsi yang mirip parlemen terdiri dari para nabi, orang-orang terpilih yang mendapat tugas untuk menyampaikan pesan dan kehendak Tuhan. Mereka adalah penyambung lidah Tuhan atau "mulut" Tuhan.

Tugas mereka adalah mengatakan kehendak Tuhan. Namun, dalam perkembangannya, banyak muncul nabi palsu. Yang diungkapkan bukan firman Tuhan, melainkan kata-kata manusia (penguasa).

Secara ironis dan sarkastis diungkapkan bahwa nabi palsu berbicara ketika di mulutnya ada sesuatu (makanan): suap! Suap berarti makanan atau memasukkan makanan ke mulut.

Ironis dan sarkastis karena sesungguhnya seseorang hanya dapat berbicara dan berkata-kata dengan jelas dan terang bila di mulutnya tidak ada sesuatu! Pertanyaannya, bagaimana dengan anggota parlemen di sini?

Salah satu tugas utama wakil rakyat adalah membuat undang-undang. Kinerja terkait ini sangat payah. DPR tidak pernah mampu memenuhi target legislasi yang ditetapkan sendiri. Kualitas produk juga memprihatinkan karena banyak digugat di Mahkamah Konstitusi

Dari Pemilih

Semua membenci dan mengutuk politik uang. Para kontestan pemilu (pilkada, legislatif, atau presiden) sering berikrar antipolitik uang, no money politics! Tetapi praktiknya, masyarakat sering tergoda menjualbelikan suara. Hukum ekonomi pasar juga berlaku dalam politik.

Tidak ada pembeli kalau tidak ada penjual. Sebaliknya juga, tidak ada penjual kalau tidak ada pembeli. Tidak cukup mengharapkan partai dan para kontestan bebas dari politik uang, sementara pemilih merasa tak bersalah telah menjual suara. Pemilih juga harus teguh menolak politik uang.

Masyarakat harus cerdas mencermati hiruk-pikuk menjelang pemilu karena selalu muncul "sandiwara" para tokoh yang dikemas tiba-tiba menjadi dermawan di tengah rakyat miskin. Mereka tiba-tiba sering berada di antara rakyat jembel. Mereka juga mendadak religius. Rakyat tidak sadar bahwa semua itu dibayar dengan uang sehingga harga atau ongkos politik di negeri ini memang sungguh-sungguh mahal.

Secara rasional dan jujur, tidak mungkin biaya politik yang amat mahal tersebut tidak mesti dikembalikan. Jual beli "suara Tuhan" terjadi ketika nalar pemilih tidak lagi kritis. Mungkin ada yang mengklaim rakyata sudah melek politik sehingga jual beli suara tidak mudah lagi. Namun, hal itu tidak menjamin praktik politik uang karena manusia tidak lagi mendengarkan peringatan suara hati sebagai vox Dei sesungguhnya.

Umat lebih mendengarkan suara uang (vox denarii) yang lebih gemerincing. Tentu masyarakat pernah mendengar, "Keledai pun tidak jatuh dua kali pada lubang yang sama!" Semua tidak puas dengan kinerja keseluruhan wakil rakyat karena hanya tidur waktu rapat.

Bahkan terlalu banyak kursi kosong saat sidang. Mereka lebih memikirkan dan berjuang demi kenyamanan sendiri. Apa andil rakyat? Jangan-jangan sangat besar karena rakyat yang memilih mereka. Mungkinkah masyarakat tertipu?

Boleh jadi, tetapi janganjangan pemilih lebih membiarkan dan merelakan diri ditipu ketimbang sungguh- sungguh tertipu! Mungkin sudah perlu dipikirkan suatu mekanisme ketika pemilih yang wakilnya melanggar hukum juga diberi sanksi. Demikian juga dengan partainya.

Jadi yang dihukum pemilih, yang dipilih, dan partai. Dengan demikian, rakyat diharuskan sungguh-sungguh berusaha memilih calon yang kredibel dan berintegritas. Partai otomatis akan menyeleksi kandidatnya dengan sungguh-sungguh, bukan asal banyak uang. Perwujudan kedaulatan dan superioritas rakyat tinggal menghitung hari.

Rakyat harus memilih wakil yang rela menjadi nomor dua, bukan menjadi utama. Pilihlah anggota parlemen yang mau berbicara tentang nasib rakyat, bukan banyak berbicara tanpa perwujudan. Cari wakil yang menghormati hukum (minimal yang paling sederhana seperti tata tertib DPR).

Mereka harus memperjuangkan perundang-undangan demi kemajuan kesejahteraan warga. Anggota legislatif yang yang tidak sadar hukum hanya akan uring-uringan karena kursinya kosong terus waktu rapat. Selain itu, anggota legislatif yang mudah ditunggangi parasit dari luar hanya akan menghasilkan legislasi yang menyengsarakan.

Semua itu hanya bisa terjadi bila pemilih memberikan surat suara sungguh- sungguh dari hati. Kalau tidak, warga hanya mengorbankan suara (vox populi) atau menjualbelikan "suara Tuhan". Jangan sampai kelak anak cucu mencemooh dan mencela orang sekarang karena vox Dei telah menjadi vox denarii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar