Kamis, 20 Maret 2014

Kebijakan Publik Kebal Hukum, Benarkah?

Kebijakan Publik Kebal Hukum, Benarkah?

Saharuddin Daming ;   Dosen FH Universitas Ibnu Khaldun Bogor
MEDIA INDONESIA,  20 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
SEBAGAI pemerhati hukum dan keadilan, penulis terkejut oleh sikap pembelaan membabi buta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap Wapres Boediono dengan statement bahwa bailout Bank Century adalah kebijakan publik, dan bahwa kebijakan publik itu tidak dapat dituntut. Apakah benar anggapan yang menempatkan kebijakan publik kebal hukum?

Dalam perspektif politik, isu tersebut memang merupakan polemik yang berujung pada pro dan kontra sesuai dengan karakteristik politik yang berpijak pada kepentingan. Namun, dalam frame akademik dan praktik peradilan, imunitasi kebijakan publik dari tuntutan hukum adalah hal yang sangat naif, karena undang-undang saja yang berkedudukan lebih tinggi dapat digugat, apalagi kebijakan. 

Demikian pula rangkaian pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK ataupun kejaksaan dan Polri selama ini, sebagian besar kalau bukan seluruhnya justru bertumpu pada kebijakan publik.

Dalam kajian akademis, kebijakan publik lazim disebut freis ermessen (bahasa Jerman), dicreation power (bahasa Inggris), dan pouvoir discretionnaire (bahasa Prancis), yaitu kebebasan pejabat dalam membuat kebijakan menurut pertimbangannya sendiri. Kebijakan bailout Bank Century adalah salah satu bentuk diskresi.

Esensi keberadaan diskresi, dalam rangka memaknai prinsip bahwa pejabat publik tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan hukumnya tidak ada berdasarkan asas ubi societa ibi ius (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Selain itu, sudah merupakan konsekuensi logis dianutnya tipe negara kesejahteraan (welfare state), maka pemerintah pada semua tingkatan diberi kewenangan (bestuurszorg) untuk menata layanan publik dengan diskresi.

Meski melekat kewenangan bebas, diskresi tidak boleh melampaui batas. Sebab, dalam negara hukum, tidak ada kewenangan sebebas-bebasnya tanpa batas. Karena itu, dalam hukum administrasi negara, diskresi (discretionary decision atau vrije beschikking) dibolehkan dengan syarat yang cukup ketat, yaitu a) demi kepentingan umum, b) masih dalam batas wilayah kewenangan pejabat, dan c) tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Pembuat kebijakan

Berdasarkan kewenangan diskresi tersebut, maka pemerintah melalui otoritas ke uangan yaitu Ketua Komite Stabilitasi Sistem Keuangan (KSSK) dan Gubernur Bank Indonesia membuat kebijakan pada 2008 berupa bailout kepada Bank Century sebesar Rp6,7 triliun lebih demi menjaga kestabilan keuangan negara. Namun, dalam perkembangan kebijakan tersebut, ternyata banyak salah sasaran sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara dan rakyat. Lalu, siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban dan dapatkah tuntutan pertanggungjawaban itu diajukan ke pengadilan?

Untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab dalam kebijakan bailout Bank Century, terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa sebagai bagian dari penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, kewenangan pembuatan kebijakan melekat pada jabatan pemerintahan (inherent aan het bestuur) yang dijalankan oleh otoritas keuangan pada masa itu. Jabatan otoritas keuangan yang dilekati fungsi dan kewenangan pemerintahan dijalankan oleh pejabat publik sebagai pribadi-pribadi (natuurlijke persoon), yang bertindak selaku wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan.

Setiap penggunaan wewenang oleh pejabat selalu disertai dengan tanggung jawab, sesuai dengan prinsip deen bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban). Karena wewenang itu melekat pada jabatan, dalam implementasinya dijalankan oleh pejabat selaku fungsionaris jabatan. Jadi pihak yang harus memikul tanggung jawab ketika terjadi penyimpangan harus dilihat secara kasuistik karena tanggung jawab itu dapat berupa tanggung jawab jabatan, dan dapat pula berupa tanggung jawab serta tang gung gugat pribadi.

Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan malad ministrasi dalam penggunaan wewenang ataupun public service. Seorang pejabat yang melaksana kan tugas dan kewenangan jabatan atau membuat kebijakan akan dibebani tanggung jawab pribadi jika ia melakukan tinda kan maladministrasi.

Dalam dunia hukum, setiap kebijakan publik sebenarnya memiliki nilai kebenaran dan keabsahan sampai terbukti sebaliknya sebagaimana dijamin oleh asas praesumptio justae causa. Untuk mengetahui suatu kebijakan publik mengandung unsur penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang, perlu diuji (toetsing gronden) dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu.

Penyalahgunaan

Jika menyimpang dari tujuan atas wewenang tersebut, dianggap terjadi penyalahgunaan wewenang. Unsur sewenang-wenang diuji dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk). Suatu kebijakan dikategorikan mengandung unsur willekeur jika kebijakan itu nyata-nyata tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk onredelijk).

Harus dipahami bahwa setiap kebijakan publik terikat kepada dua asas hukum, yaitu asas yuridisitas (rechts matigheid), artinya kebijakan itu tidak boleh melanggar hukum, dan asas legalitas (wetmatigheid), artinya kebijakan harus diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan. Namun, pejabat publik tidak boleh terkungkung dalam alam pemikiran legisme atau normatif yang hanya menjadi corong undang-undang (judge as a mouthpiece of law).

Namun, jika kita merujuk pada asas-asas suatu pemerintahan yang baik dan bersih (good governance), pejabat publik yang terlibat dalam pembuatan kebijakan bailout Bank Century patut dinyatakan melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang atau paling kurang tidak berupaya bagi pencapaian dan pemeliharaan suatu pemerintahan yang baik dan bersih, yaitu dengan ditegakkannya asas-asas; pejabat yang ikut menentukan atau dapat memengaruhi dibuatnya kebijakan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) dalam kebijakan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan prinsip itu, maka kebijakan bailout Bank Century harus batal demi hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya, karena bukan hanya vested interest yang telah terjadi, melainkan juga adanya kejahatan KKN. Sehingga, para pejabat yang terlibat di dalamnya dapat dikenai tindak pidana korupsi dan pencucian uang berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 jo UU No 8 Tahun 2010.
Unsur tindakan sewenang-wenangan dalam kasus bailout Bank Century terindikasi pada otoritas keuangan pada masa itu, yang membuat kebijakan tanpa mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan wajar.

Tindakan sewenang-wenang tersebut telah menimbulkan kerugian negara dan rakyat secara keseluruhan. Jadi kebijakan tersebut dapat digugat secara perdata sebagai perbuatan penguasa melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad) Pasal 1365 BW. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Belanda Osterman Arrest 1919 yang dikenal dengan istilah OOD (Onrechtmatig Overheids Daad).

Adapun unsur penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) tertuju pada substansi kebijakan diskresi tersebut dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan apa yang dimaksudkan oleh undang-undang, yakni stabilitas keuangan negara tanpa manipulasi. Faktanya, kisruh keuangan Bank Century tidak termasuk bank yang berdampak sistemik.

Itu berarti kebijakan tersebut dapat digugat melalui PTUN sesuai UU No 5 Tahun 1986 jo UU No 9 Tahun 2004 jo UU No 51 Tahun 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar