Rabu, 19 Maret 2014

Kejelasan Jaminan Produk Halal

Kejelasan Jaminan Produk Halal

Ahmad Rofiq  ;   Guru Besar Hukum Islam IAIN Walisongo,
Sekretaris Umum MUI Jateng, Penasihat LPPOM MUI Jateng
SUARA MERDEKA,  19 Maret 2014
                              
                                                                                         
                                                                                                             
"Titik krusialnya adalah pemerintah ingin mengambil alih yang selama ini sudah dilakukan LPPOM MUI"

BELAKANGAN ini, media massa meramaikan soal sertifikat halal yang dikeluarkan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM), organ yang dibentuk 25 tahun lalu oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seorang anggota DPR dari partai yang dipimpin Menag Suryadharma Ali bersemangat mengkritik sertifikasi halal ini. Pimpinan Fraksi Partai Golkar pun berpendapat sertifikasi itu meresahkan masyarakat.

Pada Kamis, 6 Maret 2014, pukul 17.00 saya diwawancarai Radio Elshinta berkait kecurigaan pihak luar negeri, yang katanya meragukan sertifikat halal LPPOM MUI mengingat belum disertifikasi oleh Lembaga Sertifikat Halal Internasional. Dikhawatirkan, produk ekspor Indonesia ditolak pihak luar negeri.

Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya memperkuatnya, dengan  mengatakan baru 20% produk Indonesia yang mencantumkan label halal, sisanya atau 80%, belum. Jumlah itu kalah jauh dibanding Malaysia yang 90% lebih produknya sudah dilabeli halal (SM, 7/3/14).

Bagi masyarakat, beberapa pernyataan itu adalah fakta. Namun bagi orang, terlebih anggota DPR, yang sadar akan entitas Indonesia sebagai negara hukum, pernyataan tersebut ibarat menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. MUI memprakarsai pembentukan LPPOM dilandasi niat, komitmen, dan tanggung jawab agama dan moral, agar produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika, yang  dikonsumsi masyarakat, yang mayoritas Islam, dipastikan kehalalannya.

Pada awalnya MUI menandatangani naskah kerja sama dengan Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Perindustrian agar ada advokasi melalui jalur masing-masing. Tujuannya supaya masyarakat sebagai konsumen, mendapat perlindungan secara agama, berkait kehalalan produk di pasaran.

Masa-masa awal itu terasa sangat melelahkan. Waktu itu, ada seorang profesor dan ahli gizi ìmeledekî, apa kewenangan MUI dengan LPPOM untuk menetapkan kehalalan suatu produk? Posisi lembaga tersebut adalah bagian dari komitmen dan kesungguhan MUI untuk ikut memberikan jaminan dan ikhtiar untuk memperjelas kehalalan makanan, obat-obatan, dan kosmetika yang dikonsumsi.

Namun dengan kegigihan dan sosialisasi oleh LPPOM, para pengusaha mulai menyadari bahwa sesungguhnya dengan sertifikasi halal, diikuti pencantuman label halal (bertuliskan Arab dan nomor kode) pada kemasan produk, justru mendatangkan keberkahan luar biasa. Namun hingga saat ini, belum ada payung hukum, dalam arti kepercayaan yang diterima LPPOM MUI dari masyarakat semata-mata didasari oleh keyakinan, kesadaran, dan orientasi bisnis bahwa yang halal akan mendatangkan berkah. Dasarnya pun masih sukarela, belum imperatif.

LPPOM memang tak berwenang mewajibkan pengusaha mengajukan sertifikasi dan memiliki sertifikat halal. Namun MUI sadar bahwa pekerjaan sosial yang bersinggungan dengan uang, dan kebutuhan publik, selalu menjadi sorotan, bahkan kecurigaan. Karena itu, MUI dan LPPOM mengajak dan merekomendasikan agar Kemenag menjadi leading sector.

Wacana awal soal jaminan produk halal ini, sebenarnya sudah muncul pada Februari 2005, dalam raker Kemenag dengan Komisi VIII DPR. Setahun kemudian, dibuat draf awal diikuti konsultasi publik di beberapa provinsi. Untuk lingkup Jateng, penulis mengikuti dua kali. Pertama; dengan Kemenag dan kedua; tatap muka dengan anggota Komisi VIII yang menyerap aspirasi. Tahun 2007 dilakukan harmonisasi, terutama tugas dan wewenang pemerintah dan MUI.

Pada Mei 2007 dilakukan pembahasan penyempurnaan naskah akademik RUU Jaminan Produk Halal (JPH), kemudian tanggal 14 September 2007 disampaikan ke Presiden. Pada Oktober 2007, RUU JPH dikembalikan ke Menag untuk disempurnakan. Pada Februari 2008, Menag mengirim lagi ke Mensekneg. Tanggal 29 September 2009, Panja DPR dan Panja Pemerintah sepakat merekomendasikan RUU JPH menjadi prioritas Prolegnas DPR 2009-2014.

Awal-awal DPR periode 2009-2014, karena masih baru, mereka bersemangat membahasnya. Bahkan meminta RUU JPH sebagai usul inisiatif waki rakyat. Ironisnya, pembahasan baru dilakukan pada Februari 2012. Menurut catatan Kemenag pembahasan terakhir dilakukan pada 27 Nopember 2013. Persoalan yang krusial adalah pemerintah ingin mengambil alih apa yang selama ini sudah dilakukan oleh LPPOM.

Bila belakangan ini sertifikasi halal jadi sorotan, seharusnya itu menjadi kritik tajam bagi pemerintah dan DPR yang membiarkan nasib RUU JPH hampir 14 tahun, atau 8 tahun ’’parkir’’ di meja DPR. Ironisnya, ketika masa bakti akan berakhir, dan sebagian besar aktif mencari konstituen berkait Pileg 2014, wakil rakyat itu seperti kembali bersemangat untuk segera mengesahkan.

Demi terlindunginya secara hukum LPPOM MUI dan masyarakat (pengusaha-konsumen), sebaiknya DPR segera mengesahkan RUU JPH. Hanya penulis khawatir bila pengesahan itu dilakukan pada masa-masa sibuk DPR yang hendak mengikuti pileg, hasilnya tidak maksimal dan cenderung dipaksakan. Kemenag diharapkan lebih bijak memosisikan lembaganya,  apakah akan mengambil kewenangan yang dirintis dan dilakukan MUI ataukah menjadikan MUI sebagai subordinasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar