Rabu, 19 Maret 2014

Korupsi Dana Bantuan Sosial

Korupsi Dana Bantuan Sosial

M Muzakka M dan Agus S  ;   M Muzakka M : Dosen Fakultas Ilmu Budaya Undip;
Agus Surono : Dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia
SUARA MERDEKA,  19 Maret 2014
                              
                                                                                         
                                                                                                             
"Kalau kita mencermati kasus korupsi bansos, paling banyak terjadi saat ini adalah korupsi yang didesain"

Sebelum era otda, tak banyak yang mempersoalkan dana bansos. Namun, pada era otda dana bansos ramai diperbincangkan karena banyak penyelewengan. Ali Masykur Musa, Wakil Ketua BPK, mengatakan bahwa bansos pascareformasi berdampak pada peningkatan angka korupsi di Indonesia karena dana itu bisa menjadi ladang korupsi yang dilegalkan.

Menurut dia, ada dua jenis korupsi berkait bansos, yaitu korupsi yang didesain dan korupsi dengan alokasi. Pernyataannya itu bukannya tak berdasar melainkan bertolak dari hasil audit BPK. Kalau kita cermati kasus korupsi bansos yang paling banyak terjadi saat ini adalah korupsi yang didesain. Hal yang menarik diperhatikan dalam korupsi bansos adalah sedikitnya aktor utama (kepala daerah) yang tersentuh oleh hukum.

Ada sebuah kasus menarik terkait dengan dugaan korupsi dana bansos yang berdampak pada pemberlakuan hukum yang kurang adil, mengarah pada tebang pilih. Kasus itu terjadi di salah satu kabupaten di Jateng. Hal itu bisa menjadi menjadi ìstereotip kasusî korupsi bansos di Indonesia.

Kasus itu terjadi tahun 2010. Dugaan korupsi itu ditengarai dengan tidak sesuainya prosedur pendistribusian sehingga dapat dipastikan ditemukannya data berbeda antara proposal, waktu pencairan anggaran, waktu penyerahan ke publik, dan SPJ-nya.  Dari situlah muncul istilah proposal fiktif dan SPJ fiktif.

Di samping itu, berdasarkan fakta, karena dana bansos tahun 2010 didistribusikan seluruhnya sebelum pilbup 2010 maka aparat penegak hukum menduga telah terjadi penyelewengan dana di daerah tersebut. Terlebih ditemukan pula data penyerahan dana ke masyarakat terjadi pada awal tahun anggaran.

Dua hal itu sudah cukup bagi aparat penegak hukum untuk mengambil keputusan berkait penindakan hukum. Anggaran bansos itu sudah seluruhnya didistribusikan ke masyarakat sasaran, tapi mengingat prosedurnya tidak benar, meskipun berdasarkan audit investigatif BPK belum ada unsur kerugian negara, hal itu dikategorikan dalam tindakan korupsi.

Terkait dengan kasus itu, awalnya penuntut umum hanya menetapkan dua nama tersangka, yaitu kabag kesra dan bendahara penampung. Kemudian dikembangkan lagi dengan menetapkan mantan bupati sebagai tersangka. Selanjutnya, dikembangkan lagi dengan menetapkan seorang kasubbag menjadi tersangka.

Dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor, justru dakwaan pada kabag kesra selaku pengguna anggaran dan dua stafnya, dimajukan terlebih dahulu. Sementara, dakwaan untuk mantan bupati belum disidangkan. Kalau dugaan korupsi bansos itu berkait pilbup 2010, dapat dipastikan bahwa kasus itu tergolong korupsi yang didesain.

Artinya, anggaran dana bansos 2010 itu memang didesain oleh pemegang otoritas untuk pencitraan kepala daerah atau tujuan lain. Bila demikian, mestinya yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah pengguna anggaran (kabag kesra) beserta kepala daerah dan SKPD terkait, bukan staf di bawahnya yang tidak punya kewenangan. Pasalnya, sesuai asas impurity, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum karena melaksanakan perintah atasan.

Sangat Menyedihkan

Bila penuntut umum tidak mau dan tidak mampu menjerat mantan kepala daerah dengan SKPD terkait yang telah mendesain bentuk korupsi dana bansos itu, sementara justru menjerat staf yang tak punya kewenangan dalam pengelolaan anggaran, sungguh sangat menyedihkan. Seharusnya, penegak hukum dapat memilah-milah secara cermat kasus itu sebelum memutuskan siapa yang akan didakwa di pengadilan. Bila sikap penegak hukum masih berkesan tebang pilih, hal itu akan memunculkan pertanyaan besar dalam benak masyarakat. Di manakah letak keadilan itu? Apakah aparat hukum telah berpihak pada elite politik dan elite birokrasi? Ataukah hanya orang-orang kecil dan lemah yang pantas dikorbankan sebagai tumbal kesalahan para elite?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar