Rabu, 19 Maret 2014

Pesta Politik Oplosan

Pesta Politik Oplosan

Wahid Abdulrahman  ;   Dosen FISIP, Center For Election and Political Party Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  19 Maret 2014
                     
                                                                                         
                                                                                                             
RISIKO kemunculan fenomena politik oplosan dalam Pileg 2014 tampak bakal kembali menguat. Pemilih mencoblos caleg dari partai X untuk DPRD kabupaten/kota dan DPRD provinsi, tapi ia memilih caleg dari partai Y untuk DPR atau caleg dari partai X untuk DPRD kabupaten/kota serta caleg dari partai Y untuk DPRD provinsi dan DPR.

Pada saat sama, caleg DPRD kapupaten/kota tersebut juga menjadi bagian dari vote getter bagi caleg DPRD provinsi atau caleg DPR dari partai berbeda. Politik oplosan merupakan fenomena ketidaklinieran pilihan politik pemilih dan ketidaksebangunan perilaku politik caleg di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Praktik ini terjadi lintas ideologi, sesama partai nasionalis, partai nasionalis dengan partai berbasis agama (Islam), atau sesama partai berbasis agama (Islam).

Kemunculan fenomena itu disebabkan oleh makin melemahnya identifikasi kepartaian dan politik aliran pada kalangan pemilih, sementara faktor figur caleg sebagai daya tarik makin menguat. Kondisi itu diperparah oleh makin rendahnya tingkat kepercayaan pemilih terhadap partai. Keberkurangan pemilih ideologis dan kemeningkatan tren pemilih kritis memberi ruang bagi kemerebakan politik oplosan. Perilaku pemilih kritis cenderung melihat semua partai dalam posisi sama sehingga menjadikan caleg sebagai referensi utama.

Faktor relasi caleg dengan pemilih memberikan andil terhadap politik oplosan. Caleg kabupaten/kota relatif memiliki hubungan emosional lebih kuat dengan pemilih dibanding caleg DPRD provinsi, terlebih caleg DPR. Caleg kabupaten/kota jauh mengenal medan dan memiliki basis massa lebih kuat karena intensitas tinggi berhubungan dengan pemilih. Atas dasar itulah caleg DPRD provinsi/DPR acap menggantungkan suaranya kepada caleg DPRD kabupaten/kota.

Perilaku caleg juga menjadi faktor penyebab kemerebakan politik oplosan, pragmatisme caleg yang menilai mendukung caleg DPRD provinsi atau DPR dari partai lain, lebih menguntungkan dalam perspektif finansial. Caleg DPR yang memiliki modal besar finansial berpeluang memainkan politik oplosan. Peran caleg DPRD provinsi atau DPR sebagai sponsorship mengeliminasi idealisme ideologi kepartaian yang seharusnya dimiliki caleg. Pada tataran itulah fungsi kaderisasi sekaligus perekrutan kader partai tampak kurang berjalan baik. Konsep politik menurut Laswel ’’siapa memperoleh apa dengan cara bagaimana’’ lebih tampak mengemuka.

Dinasti Politik

Hubungan personal antarcaleg juga menyumbang kemerebakan fenomena tersebut. Dalam satu partai, caleg DPRD kabupaten/kota dari partai X misalnya, merupakan figur lokal kadang harus dihadapkan pada figur caleg DPR yang merupakan figur drop-dropan dari pusat sehingga hubungan keduanya kurang terjalin secara harmonis.

Sementara di partai lain, Y misalnya,  figur caleg DPR dalam satu daerah pemilihan tersebut merupakan figur yang telah lama memiliki kedekatan personal dengan caleg DPRD kabupaten/kota dari partai X. Faktor kekerabatan juga seringkali menjadi penyebab politik oplosan. Banyak ditemukan caleg berbeda partai politik berasal dari satu keluarga besar sehingga masing-masing dari mereka memainkan politik oplosan. Kondisi ini didukung budaya ketimuran yang sangat kuat menjaga unsur kekerabatan sebagai nilai tradisi yang dipegang erat. Bahkan politik oplosan menjadi bagian membangun atau melanggengkan dinasti politik di lembaga legislatif.

Dalam sejumlah kasus juga ditemukan politik oplosan terjadi akibat sejarah politik masa lalu di mana antarcaleg yang berbeda partai politik dan berbeda tingkatan memiliki hubungan dalam satu partai. Migrasi ke partai lain tidak lantas memutuskan hubungan politik di antara caleg tersebut.

Elektabilitas partai dimasing-masing tingkatan yang berbeda menjadi dampak elektoral fenomena politik oplosan. Makin banyak politik oplosan dimainkan oleh caleg, peluang meningkatkan elektabilitas makin besar. Sebaliknya, partai dengan banyak caleg korban oplosan maka risiko berkurangnya suara menjadi makin besar.

Akuntabilitas anggota legislatif kepada pemilih yang selama ini masih menjadi persoalan akan makin terbuka lebar. Anggota legislatif terpilih yang berasal dari partai X di DPR misalnya, hanya menganggap caleg yang tidak terpilih dari partai Y di tingkat kabupaten/kota sebagai pengepul suara. Imbal jasa politik hanya berlangsung pada saat pileg, sementara tanggung jawab terhadap pemilih selama 5 tahun menjadi terabaikan.

Fenomena ini meneguhkan bahwa dalam sistem pemilu proporsional terbuka caleg lebih dituntut untuk tidak saja meyakinkan pemilih tapi juga memiliki kecakapan politik lebih baik. Caleg dari tingkatan yang lebih rendah dan dari partai yang sama belum tentu efektif menjadi penopang suara. Politik oplosan menjadi salah satu metode bagi peningkatan suara ketika kecakapan politik dimiliki oleh caleg.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar