Rabu, 19 Maret 2014

Kepala Daerah yang Capres

Kepala Daerah yang Capres

Saldi Isra  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
KORAN SINDO,  19 Maret 2014
                                 
                                                                                         
                                                                                                             
Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) bukanlah nama pertama yang dideklarasikan sebagai (bakal) calon presiden. Artinya, PDI Perjuangan bukanlah yang mengumumkan calon presiden guna ikut bertarung dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014. Paling tidak, jauh hari sebelumnya, Partai Hanura dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah terlebih dahulu mengumumkan bakal calon. Bahkan, jika dilihat dari keterpenuhan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, Partai Hanura tidak hanya mengumumkan calon presiden, tetapi juga sekaligus calon wakil presiden.

Namun demikian, sebagai kepala daerah—seperti halnya salah satu calon dari PKS—pengumuman nama Jokowi memunculkan pertanyaan lain: apakah seorang kepala daerah bisa begitu saja mengajukan atau diajukan tanpa memerlukan izin dari presiden? Lalu, apakah kepala daerah yang menjadi calon presiden atau calon wakil presiden harus berhenti dari jabatannya? Dalam posisi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, kedua pertanyaan tersebut penting dikemukakan.

Tidak Harus Mundur

Dalam pandangan umum yang berkembang selama ini, kepala daerah merupakan pejabat negara. Dalam hal ini, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU No 42/ 2008) menyatakan bahwa pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.

Jikalau pandangan umum itu dikaitkan dengan Pasal 6 ayat (1), mereka yang dicalonkan tidak mungkin mengelak untuk tidak mengundurkan diri dari jabatannya. Namun begitu, frasa ”pejabat negara” dalam Pasal 6 ayat (1) UU No 42/2008 tidak termasuk kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam hal ini, Penjelasan Pasal 6 ayat (1) secara eksplisit menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan pejabat negara adalah menteri, ketua Mahkamah Agung, ketua Mahkamah Konstitusi, pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, panglima Tentara Nasional Indonesia, kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pimpinan KPK.

Melihat batasan dan maksud pejabat negara yang diatur dalam Pasal 6 UU No 42/2008 tersebut, dapat dipastikan bahwa pengaturan dan pembatasan memberi ruang yang lebih longgar bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam batas penalaran yang wajar, pengaturan yang membedakan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan pejabat negara yang lain dalam proses pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat dikatakan sebagai bentuk diskriminasi terhadap jabatan publik.

Padahal, kalau dilihat dari risiko yang mungkin muncul, kepala daerah yang menjadi calon presiden atau wakil presiden tidak kalah besarnya untuk menyalahgunakan jabatan yang mereka emban. Sekalipun tidak harus mengundurkan diri, dalam hal kepala daerah menjadi calon presiden atau wakil presiden, hanya diamanatkan untuk nonaktif jika mengikuti kampanye.

Dalam hal ini, Pasal 19 ayat (3) Peraturan Pemerintah No 14/2009 tentang Tata Cara bagi Pejabat Negara dalam Melaksanakan Kampanye Pemilu, dinyatakan bahwa bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah yang dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden dinonaktifkan dengan keputusan presiden.

Meminta Izin Presiden

Melacak konstruksi hukum yang ada, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang menjadi calon presiden atau calon wakil presiden hanya dipersyaratkan untuk memintaizinkepada presiden. Dalam hal ini, Pasal 7 ayat (1) UU No 42/2008 menyatakan bahwa kepala daerah atau wakil kepala daerah yang akan dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus meminta izin kepada presiden. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) dikemukakan bahwa permintaan izin pada presiden hanya dimaksudkan dalam rangka menegakkan etika penyelenggaraan pemerintahan.

Meski dinyatakan harus meminta izin, ada tidaknya izin presiden bukan menjadi syarat yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No 42/2008 hanya menyatakan bahwa surat permintaan izin bagi kepala daerah yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik bukan merupakan dokumen persyaratan calon presiden atau calon wakil presiden. Artinya, ketika kepala daerah atau wakil kepala daerah mendaftar ke KPU yang diperlukan hanya surat permintaan izin kepada presiden bukan surat izin dari presiden.

Melihat penjelasan tersebut, izin dari presiden tidak bersifat imperatif. Sebab bila izin presiden bersifat wajib, bagi kepala daerah yang tidak diizinkan tentunya akan memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Padahal, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak termasuk pejabat negara yang harus mengundurkan diri ketika diajukan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Jika izin dari presiden dijadikan sebagai syarat yang mesti dipenuhi, bagi mereka yang tidak mendapatkan izin terpaksa harus memilih langkah mengundurkan diri.

Selain itu, membatasi syarat pengajuan calon yang berasal dari kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya sebatas keterpenuhan syarat administratif telah meminta izin dapat dikatakan sebagai pilihan yang bijak. Dengan kondisi seperti saat ini, di mana banyak kepala daerah yang berbeda partai politik dengan presiden, mempersyaratkan calon memiliki izin dari presiden sangat mungkin mempersulit kepala daerah untuk bisa dicalonkan. Bagaimanapun, karena perbedaan partai politik, bukan tidak mungkin keharusan adanya izin dari presiden akan menjadi cara lain untuk mengganjal calon dari partai politik yang berbeda.

Namun demikian, sekalipun persyaratan yang harus dipenuhi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden terbilang amat longgar, mereka yang dicalonkan harus mampu membangun etika penyelenggaraan pemerintahan tanpa harus bertahan dengan kelonggaran aturan dalam UU No 42/2008. Misalnya, begitu resmi menjadi calon, memilih jalan mengundurkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah dapat menjadi pilihan yang mesti dipertimbangkan.

Paling tidak dengan pilihan tersebut, masyarakat akan menilai bahwa menjadi calon presiden atau calon wakil presiden menjadi pilihan utama sehingga posisi sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah tidak perlu dijadikan sebagai sekoci penyelamat jikalau gagal menjadi presiden atau wakil presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar