Rabu, 19 Maret 2014

Plus-Minus Demokrasi Kita

Plus-Minus Demokrasi Kita

J Danang Widoyoko  ;   Anggota Perkumpulan ICW
KORAN SINDO,  19 Maret 2014
                                  
                                                                                         
                                                                                                             
Tidak lama lagi kita akan melaksanakan pemilihan umum (pemilu) yang keempat pascareformasi dan pemilihan presiden langsung yang ketiga.

Dari sisi prosedur, pemilihan umum reguler dan damai menunjukkan stabilitas demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, demokrasi juga dikritik karena hanya sukses secara prosedural tetapi gagal secara substansial. Berbagai praktik pengekangan kebebasan dan pelanggaran HAM masih terus terjadi. Baik oleh negara maupun aktor di luar negara. Ekonomi Indonesia terus tumbuh di tengah krisis ekonomi global, tetapi seiring dengan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan justru semakin meningkat. Tulisan singkat ini hendak melihat demokrasi dalam kerangka yang lebih utuh, baik persoalan maupun keberhasilan yang dicapai.

Persoalan dan Capaian

Demokrasi di Indonesia mengakhiri kekuasaan besar yang dimiliki oleh Presiden. Kekuasaan politik kini tersebar di cabang kekuasaan lainnya, termasuk lembaga- lembaga negara independen. Kekuasaan pemerintah juga terdesentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah. Tetapi di dalam demokrasi, korupsi justru meluas. Korupsi tidak lagi dimonopoli oleh Istana dan keluarga beserta kroninya. Korupsi juga dilakukan oleh kepala daerah sehingga lebih dari 300 kepala daerah menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana kasus korupsi.

Persoalan lain yang juga tidak kalah penting adalah kebebasan beragama dan berekspresi yang terasa semakin mundur. Kelompok minoritas menghadapi semakin banyak tekanan bahkan serangan fisik dari kelompokkelompok intoleran. Kebebasan berekspresi juga menjadi persoalan, terutama dengan maraknya pelarangan diskusi. Beberapa waktu yang lalu, diskusi buku Tan Malaka yang ditulis oleh sejarawan Belanda Harry Poeze, didemo oleh berbagai kelompok dengan tudingan komunis.

Tudingan yang sungguh aneh dan terlihat bodoh karena sejarah menunjukkan bagaimana Tan Malaka justru berseberangan dengan partai komunis. Namun, demokrasi tidak sepenuhnya memunculkan keburukan. Ada sejumlah capaian dalam demokrasi. Adanya kebijakan populis adalah hasil dari demokrasi. Pendidikan gratis dan kesehatan yang terjangkau adalah salah satu hasil demokrasi. Memang kualitasnya masih dipertanyakan, tetapi skema kebijakan perlindungan sosial sudah ada.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai contoh, adalah buah dari demonstrasi tanpa henti oleh serikat-serikat buruh yang hanya mungkin dilakukan di dalam demokrasi. Contoh lain adalah pemberantasan korupsi. Apa yang dilakukan oleh KPK yang menangkap banyak politisi dan pejabat tinggi negara dalam korupsi adalah capaian luar biasa. Belum pernah dalam sejarah Indonesia penegakan hukum dalam kasus korupsi dilakukan dengan sangat agresif dan membuat takut banyak pejabat dan politisi.

Tidak mengherankan bila kemudian KPK terus-menerus menjadi target dari politisi untuk dipangkas kewenangannya. Keberhasilan lain dalam demokrasi adalah kebebasan pers. Pers di Indonesia merupakan salah satu pendukung gerakan antikorupsi paling depan Tiap hari tiada hari tanpa berita korupsi di headline media massa. Memang pers juga memiliki banyak persoalan, seperti kepemilikan di tangan beberapa konglomerat dan kualitas jurnalis. Tetapi dengan pers yang bebas, publik menjadi tahu tentang berbagai persoalan dengan cepat.

Pertanyaan Kritis

Dengan sejumlah keberhasilan itu, kita perlu mempertanyakan persoalan secara lebih kritis. Soal korupsi, benarkah korupsinya yang semakin meluas ataukah karena pemberitaan tanpa henti berbagai kasus korupsi dan skandal oleh media massa? Benarkah korupsi gagal dihentikan ataukah karena justru KPK yang bekerja dengan baik sehingga tidak berhenti menangkap koruptor? Demikian juga keberadaan kelompok intoleran yang menggunakan cara-cara kekerasan dan melanggar hukum.

Apakah masalahnya pada demokrasi dan keberadaan kelompok-kelompok itu ataukah karena lemahnya penegakan hukum dan ketidakjelasan kebijakan? Dalam hal politik, banyak pihak pesimistis karena politik dan ekonomi di Indonesia pasca reformasi didominasi oleh oligarki. Oligarki merujuk pada aliansi cair berbagai kekuatan dan kepentingan pendukung Orde Baru di masa lalu, baik di birokrasi, partai politik, maupun sektor bisnis.

Pertanyaannya, benarkah oligarki yang dominan ataukah karena kekuatan lain tidak mampu melakukan konsolidasi untuk mengimbangi oligarki? Benarkah oligarki begitu dominan sehingga perubahan menjadi mustahil, ataukah selalu ada peluang dan kemungkinan seperti munculnya Jokowi yang kini menjadi calon presiden, juga Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan pemimpin reformis lainnya? Demokrasi bukan akhir dari perjalanan negara ini menuju kesejahteraan tetapi justru awal dari perjalanan yang berat itu.

Demokrasi adalah situasi di mana semua warga negara memiliki kedudukan setara, baik mereka yang berpendidikan, terpelajar atau mereka yang bodoh dan juga mereka yang terbiasa menggunakan cara-cara kekerasan. Demokrasi juga memberi tempat yang sama dan setara bahkan kepada kelompok intoleran yang mengharamkan demokrasi dan eksistensi negara Indonesia. Dalam demokrasi, semua persoalan dan perbedaan diakui keberadaannya. Perbedaan dan persoalan adalah realitas yang tidak bisa ditolak dan dihilangkan.

Justru karena kita tahu ada banyak persoalan dan perbedaan yang tajam, maka ledakan konflik dalam skala besar di kemudian hari bisa diantisipasi. Demikian juga pertanyaan kritis harus terus-menerus diajukan agar kita tidak salah mendiagnosis persoalan dan keliru mengambil kebijakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar