Selasa, 18 Maret 2014

Ketukangan dalam Kriya dan Desain Kita

Ketukangan dalam Kriya dan Desain Kita

David Hutama  ;   Kurator dari Pavilion Indonesia untuk Venice Architecture Biennale 2014; Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Pelita Harapan, Lippo Village, Tangerang
KOMPAS,  15 Maret 2014
                             
                                                                                         
                                                                                                             
BIENNALE Desain dan Kriya 2013 telah berlangsung di Galeri Nasional, Jakarta. Pameran sepanjang 20 Desember 2013-19 Januari 2014 ini memamerkan 67 karya hasil kolaborasi para desainer (termasuk arsitek, desainer interior, desainer produk, desainer grafis, dan desainer pakaian) dengan seniman.

Dalam tulisannya, Adhi Nugraha di website resmi Biennale Desain dan Kriya 2013 menyatakan, ”Kekayaan tradisi kriya bangsa Indonesia bukan hanya terletak pada keragaman obyek kriyanya, tetapi tecermin juga dari keragaman material, teknik pembuatan, bentuk, dan simbol-simbol yang terkandung di dalamnya.”
Ini adalah sebuah pernyataan penting yang menjadi landasan untuk memperlihatkan keunikan karya seni Indonesia.

Keapikan dan keragaman karya kriya di Indonesia tidak lepas dari kekayaan sumber daya alam, kebudayaan sebagai kondisi yang membentuknya, dan kualitas dari ketukangan masyarakat di Indonesia sebagai pelakunya.

Dalam pameran ini, kita semua dibawa untuk mengapresiasi dan menikmati obyek-obyek kolaborasi para desainer dan seniman tersebut.

Sayang, tidak tertampilkan proses bagaimana hal-hal tersebut dibangun, dirajut, dan dibuat.

Padahal, kehadiran sebuah karya kriya kental konotasinya dengan interaksi antar-anggota tubuh manusia dan material, entah itu kayu, bebatuan, bambu, dan sebagainya.

Mengapresiasi sebuah karya kriya tidak bisa melepaskan ketukangan sebagai prosesnya.

Konsep estetika

Kebudayaan Jepang mempunyai konsep estetika Wabi-Sabi yang menjadi panduan etika dan sekaligus bertukang.

Dalam buku A Tractate on Japanese Aesthetics, Donald Richie menjelaskan, Sabi 
adalah konsep yang terkait dengan waktu. Jatuhnya dedaunan, mengaratnya besi, melumutnya bebatuan adalah bagian dari nilai seni.

Sementara Wabi adalah sebuah tatanan laku. Bagaimana menjadinya sebuah karya seni adalah sebuah proses berkesenian dan punya nilai penting sendiri.

Dalam upacara minum teh, ”wabi’” dengan lugas tampil. Laku dari penyaji, sikap, dan tata krama adalah elemen yang tak terpisahkan dari estetika upacara tersebut.
Di Indonesia, tatanan estetika seperti Wabi-Sabi ada pada setiap budaya. Sebuah konsep yang mengaitkan antara laku danw.

Perbedaan paling mendasar antara Jepang dan Indonesia dalam hal ini hanya pada penyampaian dan perekaman pengetahuannya. Di Indonesia lewat tradisi lisan.
Di Jawa baru pada akhir abad ke-19 muncul rekaman pengetahuan terkait ketukangan dalam bentuk tulisan, yang kita kenal dengan Kawruh Griya dan Kawruh Kalang.

Kawruh Griya adalah pengetahuan tentang seluk-beluk persiapan membangun rumah, sedangkan Kawruh Kalang adalah panduan untuk bertukang dalam proses membangun rumah.

Namun, pada kebudayaan Jepang dan Nusantara ini terdapat satu kesamaan yang bisa menjadi benang merah tentang relasi karya kriya dan ketukangan, yaitu adanya ruang apresiasi pada sentuhan tubuh manusia yang pasti tidak konsisten, ada dinamika kasar-lembut, dan hadirnya ekspresi emosi.

Apresiasi

Prof Josef Prijotomo dalam tulisannya berjudul ”Ubah-Ingsut dalam Arsitektur Jawa” memperlihatkan bahwa dalam tradisi bertukang di Jawa ada apresiasi pada karakter sentuhan manusia. Membangun rumah joglo tidak satu cara, bahkan ada tujuh kemungkinan (menurut Kawruh Kalang versi Soetoprawiro) dan tetap baik.

Contoh Kawruh Kalang ini memang dalam kasus bangunan, tetapi hal serupa juga ditemui dalam kasus-kasus kerajinan yang melekat pada rumah atau bangunan seperti pada bagian tumpang-sari rumah joglo. Tidak mungkin ada tumpang-sari yang persis sama tetapi tidak hilang guna dan maknanya.

Ambiguitas

Adanya paparan atau pameran pada proses ketukangan ini akan menjadi batas tegas yang mampu mencairkan ambiguitas antara apakah karya ini sebetulnya produk manufaktur atau lewat tangan-tangan terampil tukang.

Berbeda dari kebudayaan Jepang yang seakan sudah tidak lagi mencari-cari bentuk dan tatanannya, kebudayaan kita selalu dalam proses pencarian yang penuh dinamika.

Penting untuk melihat apakah keragaman obyek kriya, teknik pembuatan, material, dan sebagainya adalah sebuah fenomena yang sadar, disengaja, dan bukan ”kecelakaan” belaka?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas bisa jadi memberikan sketsa ke mana arah ranah kriya dan desain kita nantinya.

Apakah kita akan mengalah dan sekadar ikut pada perkembangan situasi dunia? Atau kita akan menentukan dan membentuk perkembangan kita sendiri dari potensi-potensi keragaman yang kita miliki?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar