Selasa, 18 Maret 2014

Memilih Pemimpin Peduli Pendidikan

Memilih Pemimpin Peduli Pendidikan

Agus Wibowo  ;   Pemerhati dan Magister Pendidikan Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  17 Maret 2014
                              
                                                                                         
                                                                                                             
PARA kandidat pemimpin bangsa yang hendak berlaga pada Pemilu 2014 sudah berlomba menawarkan visi dan misi. Secara umum, visi dan misi para kandidat itu belum bergeser dari persoalan korupsi, demokrasi, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Jika dikaji dengan saksama, visi pendidikan yang ditawarkan para kandidat masih sangat dangkal. Belum ada tawaran yang bisa menjadi solusi atas persoalan pendidikan bangsa saat ini dan yang akan datang.

Pemimpin petahana, misalnya, menganggap visi pendidikan yang dijalankan selama ini masih efektif. Program keluarga harapan (PKH), bantuan operasional pendidikan (BOS), aneka beasiswa bagi siswa dan mahasiswa kurang mampu, kebijakan pendidikan karakter, kurikulum 2013, sertifi kasi guru, kebijakan pendidikan menjangkau yang tidak terjangkau dan sebagainya, dianggap solusi mengatasi persoalan pelik pendidikan bangsa.

Adapun dari kandidat pemimpin yang lain belum ada tawaran visi strategis guna memajukan pendidikan bangsa. Mereka terkesan gamang menawarkan konsep pendidikan terbaik bagi bangsa ini. Pendek kata, belum ada kandidat pemimpin yang mantap menawarkan visi yang sesuai kondisi kekinian serta mampu memajukan pendidikan anak bangsa.

Peta jalan

Pendidikan itu jantung peradaban dan kunci masa depan bangsa. Para founding fathers seperti Ki Hadjar Dewantara, RA Kartini, Dewi Sartika, Mohammad Hatta, KH Hasyim As'arie, KH Ahmad Dahlan, dan Romo Mangun sejak jauh hari menekankan pentingnya pendidikan bagi bangsa ini. Aspek ekonomi, sosial, dan politik memang perlu, tetapi pendidikan jauh lebih penting. Pendidikan itu kunci meraih peradaban dan keadaban.

Selain itu, UUD 1945 secara tegas mewajibkan negara mengakomodasi hak asasi pendidikan warganya. Itu karena melalui pendidikan, setiap warga negara berpeluang menjalani proses transformasi diri, membangun karakternya guna meraih masa depan yang lebih baik dan lebih cerah. Bahkan, baik-tidaknya peradaban, keadaban, serta kesejahteraan sebuah bangsa sangat ditentukan seberapa baik pendidikan yang dilakoni.

Visi pendidikan bagi para kandidat pemimpin amat penting karena menjadi semacam peta jalan ketika mereka terpilih. Mau dibawa ke mana arah pendidikan bangsa itu sudah jelas, tanpa harus gonta-ganti kebijakan pendidikan. Ketika kandidat pemimpin belum memiliki visi pendidikanatau visi yang dangkal--kinerja mereka jelas terhambat.

Ketika memimpin nanti, progres mereka akan gres mereka akan tersita karena harus merumuskan ulang visi pendidikan. Belajar dari kepemimpinan sebelumnya, pendidikan kita seperti kehilangan arah. Kurikulum dan aneka kebijakan pendidikan justru menimbulkan kebingungan para guru, orangtua, dan anak didik. Kebijakan dan praktik pendidikan kita justru menjadi `monster' yang siap merenggut keceriaan dan masa depan mereka.

Ketidakjelasan arah pendidikan kita selama ini menjadi kajian serius dalam konvensi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) (18/2). Konvensi dengan tema Pendidikan Indonesia dan daya saing bangsa itu dihadiri para tokoh penting seperti mantan Presiden BJ Habibie, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua DPR Marzuki Alie, Sri Edi Swasono, HAR Tilaar, dan tentu saja perwakilan nguru dari berbagai daerah di Tanah Air (Media Indonesia, 19/2).

Menurut HAR Tilaar, pemimpin yang berkuasa selama ini belum mampu merumuskan arah dan tujuan pendidikan guna menyiapkan anak bangsa yang cakap, bangsa yang cakap, kreatif, dan bertanggung jawab. Padahal, lanjut Tilaar, saat ini Indonesia sudah harus menciptakan generasi emas yang diharapkan bisa memajukan kehidupan bangsa. Ketidakjelasan arah dan tujuan pendidikan bangsa dipicu oleh pemimpin yang memberikan ruang bagi neoliberalisme untuk ikut campur mengurusi dunia pendidikan.

Pemimpin mendatang harus mampu mereformasi arah dan sistem pendidikan bangsa. Demikian pesan tersirat yang disampaikan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemendikbud Syawal Gultom. Pemimpin mendatang harus menerapkan kurikulum 2013 agar karakter anak didik bisa diperbaiki yang nantinya akan menjadi fondasi ampuh mereka ketika hidup dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Singkatnya, sudah ditanamkan kepada anak didik sejak dini bahwa bangsa ini plural/majemuk, dan mereka harus menjaga serta merawatnya. Menghargai dan menghormati perbedaan menjadi langka karena sejak awal paradigma telanjur keliru. Keberbedaan dianggap sebagai benuk pembangkangan atau perlawanan. Anak didik yang berbeda pendapat dengan gurunya dianggap tidak patuh atau durhaka. 

Pencapaian prestasi anak didik dianggap berhasil jika tidak ada selisih `mencolok' dari keseragaman yang ditargetkan. Model pendidikan yang mengebiri perbedaan dan keragaman menjadikan mereka kerdil dan antikebinekaan.

Di sisi lain, dalam model pengajaran agama dinilai banyak kalangan belum mampu menafsirkan kebinekaan secara indah. Pengajaran agama belum bergeser pada apa yang disebut banyak kalangan pada persoalan syariat kaku; terutama menyangkut halal-haram atau kafir-tidak kafir. Pendidikan agama menjadi sesuatu yang menakutkan karena tidak bergeser dari `jihad' membasmi mereka yang berbeda.

Habib Muhammad Lutfi (2012) jauh hari sudah mengingatkan agar pengajaran agama menjadi lem perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itu artinya pengajaran agama hendaknya tidak sekadar mengurusi kawasan ibadah yang sifatnya vertikal, tetapi juga pada kawasan horizontal; bagaimana anak didik bergaul secara santun dan bijak dalam perbedaan, atau bagaimana menjalin komunikasi yang harmonis antar umat beragama maupun antarkeyakinan yang berbeda.

Libatkan guru

Agar pemimpin mendatang mampu membawa arah dan tujuan pendidikan bangsa, senada dengan solusi Tilaar, saya memandang perlunya pelibatan guru secara aktif. Para guru harus dilibatkan dalam proses perumusan dan perencanaan aneka kebijakan pendidikan. Untuk menangkap aspirasi dan pesan bijak, para kandidat pemimpin perlu blusukan ke sekolah-sekolah, diskusi dari hati ke hati dengan para guru dan warga sekolah. Ketika para guru dilibatkan secara aktif, kebijakan pendidikan yang dihasilkan akan memiliki relevansi yang efektif dan positif bagi kinerja mereka dan kejelasan arah pendidikan bangsa pada umumnya. Apakah selama ini guru tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan kebijakan pendidikan? 

Jarang sekali, untuk mengatakan tidak pernah! Para guru hanya terima jadi tanpa ada ruang untuk bernegosiasi apalagi memberi masukan.

Sebagai contoh pada pembuatan kurikulum 2013. Doni Koesuma (2014:7), memandang bahwa dalam pembuatannya, guru tidak dilibatkan secara aktif. Bahkan guru harus dikontrol secara terpusat melalui kurikulum baru itu. Desain kurikulum 2013 lebih mendasarkan diri pada mekanisme pemusatan kontrol negara atas pendidikan, mulai dari desain awal, pembuatan buku, sampai mekanisme evaluasi dan penilaian. Dipilihnya guru inti langsung oleh pemerintah melalui Kemendikbud untuk menyosialisasikan kurikulum 2013 menandakan bahwa pemerintah serbatahu dan serbapintar mengurusi pendidikan, sedangkan guru dianggap tidak tahu-menahu.

Guru merupakan garda terdepan penentu keberhasilan pendidikan. Karena peran strategis dan penting itu, penanganan guru harus disentralisasi kembali. Model penanganan guru secara desentralisasi selama ini justru menempatkan mereka pada posisi tidak menguntungkan. Mereka lebih kerap menjadi komoditas elite politik lokal. 

Alih-alih konsen memikirkan pendidikan siswanya, para guru bersama kepala sekolah justru dipaksa menjadi barisan tim sukses calon bupati/wali kota. Jika tidak bersedia, posisi mereka bisa lebih buruk lantaran mudah dirotasi sesuka hati oleh pemerintah lokal. Ke depan guru harus ditangani oleh pusat agar kinerja mereka semakin meningkat.

Kita berharap para kandidat pemimpin segera menyodorkan visi pendidikan yang jitu. Visi itulah yang akan menjadi peta jalan untuk membenahi pendidikan bangsa. Tanpa visi yang jelas, pemimpin mendatang hanya akan terus bongkar-pasang kebijakan pendidikan--yang jelas semakin merugikan nasib anak bangsa ke depan. Roh kebinekaan harus membingkai semua kebijakan pendidikan. Pemimpin bangsa mendatang mestinya sudah memiliki konsep tentang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar