Selasa, 18 Maret 2014

Mengingatkan Muka Lama

Mengingatkan Muka Lama

Joyakin Tampubolon  ;   Widyaiswara Utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Lulusan S3 IPB
KORAN JAKARTA,  18 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                                                                             
Pemilihan umum legislatif (pileg) 9 April semakin dekat. Ada 12 partai politik (parpol) peserta nasional dan tiga lokal di Aceh. Setelah itu, dilanjutkan pemilu presiden (pilpres) 9 Juni. Pemilu merupakan proses demokrasi setiap lima tahun guna memilih wakil rakyat, presiden, dan wakilnya.

Sebagai perhelatan demokrasi, pemilu bukan hanya urusan pemerintah, tetapi juga tiap pribadi. Prinsip demokrasi adalah pengakuan dan penerimaan sesama sebagai pribadi. Jika demi kemenangan lalu seorang caleg membeli suara rakyat, berarti ada pengingkaran demokrasi. Pengakuan terhadap kedaulatan pribadi terhapus oleh transaksional menggunakan uang

Suara rakyat sebagai determinan factor dalam demokrasi melalui pemilu. Suara rakyat merupakan penentu utama perwujudan demokrasi. Pada titik ini, hendaknya caleg, penyelenggara pemilu, parpol peserta pemilu, pemangku kepentingan lain menghormati suara rakyat dalam Pemilu 2014 dengan memberangus “politik uang" (money politics).

Semua itu demi menghasilkan Pemilu 2014 yang berkualitas. Apalagi biayanya mahal. KPU menerima alokasi APBN untuk menyelenggarakan pemilu 2014 mencapai 14,4 triliun rupiah. Pada Maret ada penambahan 1,3 triliun rupiah untuk biaya perlindungan masyarakat.

Total anggaran yang dikelola Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencapai 16 triliun rupiah. Anggaran pengamanan pemilu untuk Polri 1 triliun ditambah dari internasl 600 miliar rupiah.

Anggaran yang besar seharusnya dibarengi hasil berkualitas. Rakyat bisa memaklumi biaya tinggi karena kegiatan terkait pemilu melibatkan populasi hampir 154 jutaan dari sekitar 240 juta rakyat dalam wilayah Nusantara yang luas.

Pemilu mahal, asalkan menghasilkan wakil rakyat dan pemerintah berbobot/ berkualitas tinggi untuk melayani rakyat lebih baik, tidak masalah. Jika masyarakat mendapat pelayanan prima, produktivitas naik, akan melipatgandakan pemasukan pajak sehingga menguntungkan negara.

Menurut KPU, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 147.105.307. Dalam pilpres jumlah pemilih 153.357.307, terjadi penambahan 6.252.012 pemilih. Dengan kata lain, jumlah pemilih pada pemilu legislatif merupakan Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk pilpres.

Terdapat 561.393 tempat pemungutan suara (TPS). Jumlah kursi yang tersedia untuk DPR 560, sementara calon anggota legislatif DPR 6.607. Harga satu kursi DPR yang harus ditebus seorang caleg antara 230 ribu hingga 250 ribu suara.

Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4. Saat ini, Indonesia memiliki 34 provinsi. Jadi jumlah anggota DPD periode 2014-2019 menjadi 34 provinsix4 utusan= 136. Maka, menurut UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, jumlah kursi tersedia untuk MPR tahun 2014-2019 sebanyak 692.

KPU, secara resmi, juga telah menetapkan jumlah kursi anggota DPRD di seluruh provinsi sebanyak 1.770. Sedangkan untuk kursi anggota DPRD di 410 kabupaten/kota sebanyak 13.525.

Kekacauan Pemilu 2009, seperti dalam hal DPT, kerusakan teknologi informasi (TI) tidak boleh terulang. Pemilu kali ini diharapkan tidak ada intervensi. Wakil rakyat, presiden, dan wakil presiden terpilih harus terbaik, bersih, jujur, dan smart.

Para pemimpin harus mampu mengeliminasi korupsi di parlemen dan birokrasi pemerintah. Mereka tidak boleh korupsi karena gaji, berbagai honor, biaya rapat, biaya perjalanan, biaya kunjungan kerja (kunker) sudah lebih dari cukup.

Belum lagi berbagai fasilitas seperti rumah dan mobil. Semua biaya dan fasilitas supermewah untuk wakil rakyat, presiden, wapres, beserta seluruh anggota keluarga bisa menjamin kehidupan yang nyaman dan terhormat.

Pada setiap pemilu, rakyat ibarat asesor utama yang menilai caleg, capres, dan cawapres layak dipilih dan di istana periode lima tahun (2014-2019) mendatang. Pada titik ini haram hukumnya jika caleg, capres, dan cawapres memanipulasi suara rakyat, apalagi menghamburkan uang demi meraih kemenangan.

Sebetulnya, para calon tidak perlu membeli suara rakyat karena bila dia berkualitas, jujur, dan bermoral baik rakyat pasti mendukung.
Masyarakat mendambakan Pemilu 2014 menghasilkan wakil rakyat, presiden, serta wapres yang berkualitas, baik, bersih, dan jujur.

Pemerintah bisa mengalami kebangkrutan jika korupsi tak mampu dikendalikan. Politisi yang membayar untuk mencari kemenangan, kelak pasti korup guna mengembalikan pengeluaran.

Pada periode ini, begitu banyak wakil rakyat korupsi. Maka, untuk hasil pemilu kali ini wakil rakyat harus bersih dari korupsi. “Stigma" buruk penghuni parlemen Senayan periode 2009-2014 jangan terulang lagi. Peringatan ini penting karena mayoritas DPR maju lagi agar bisa kembali duduk di Senayan.

Belum lama, Ketua Umum PDI-P, Megawati Sukarnoputri, resmi memberi mandat kepada Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres PDI-P dalam Pilpres 2014. Hasil berbagai suvei nama Jokowi selalu mengungguli capres lain. Jokowi adalah pejabat jujur, bisa dilihat sejak menjabat Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.

Dunia internasional pun menilai Jokowi tokoh, kandidat jempolan. Maka, jika tidak ada yang luar biasa langkah Jokowi menuju “Indonesia 1" tinggal menunggu waktu.

Muka Lama

Apakah jika Jokowi jadi presiden kecenderungan korupsi masih terbuka di Senayan? Kecenderungan bisa saja jika melihat latar belakang di mana 90 persen wakil rakyat di Senayan periode 2009-2014 kembali mencalonkan diri dan berkemungkinan menang.

Para “muka lama" memiliki modal politik kuat dan uang banyak.
Kompetensi sebagai wakil rakyat pun sudah digenggam. Mereka akan menggunakan berbagai modus, termasuk politik uang. Apakah rakyat skeptis, pesimistis korupsi tak akan berkurang jika mayoritas “muka lama" kembali ke Senayan? Sikap rakus wakil rakyat “muka lama" bisa direm apabila memiliki kesadaran jutaan rakyat masih terbelenggu kemiskinan.

Kekayaan Indonesia terselamatkan dari gerogotan “tikus"di Senayan, jika KPK galak seperti saat ini. Perfomance KPK memberi optimisme. DPR harus berhati-hatilah dan tidak main-main. Mereka sebaiknya bersih dan menjauhi korupsi.

Wakil rakyat “muka lama", andaikata kembali terpilih, rata-rata sudah kaya. Apalagi Hakim Pengadilan Tipikor bertekad memiskinkan koruptor. Harus ada perubahan perilaku (behavior changes). DPR baru harus berhati anyar, lebih berbela rasa pada rakyat yang miskin. Jangan lagi kemaruk memperkaya diri.

Pemerintah demokratis berasal dari rakyat. Pemerintah hasil pemilu dalam alam demokratis pun harus bertanggung jawab kepada rakyat. Pemerintah harus mampu menjadikan Indonesia adil dan makmur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar