Selasa, 18 Maret 2014

Meribetkan Gratifikasi

Meribetkan Gratifikasi

Samsul Wahidin  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang
JAWA POS,  19 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                                                                             
CENDERAMATA Nurhadi, sekretaris Mahkamah Agung, berbuntut ribet menyusul investigasi oleh Komisi Yudisial (KY). Sebab, cenderamata berwujud iPod Shuffle itu berharga Rp 700 ribu. Undangan mencapai 2.500 orang dengan pelaksanaan di Hotel Mulia (Jawa Pos, 18/3).

Norma Gratifikasi

Pada konsep hukum, gratifikasi awalnya berarti hadiah balas jasa (toelage). Dapat pula diartikan tunjangan jabatan yang diberikan majikan kepada pekerja di luar upah atau gaji yang menjadi hak pekerja atau buruh. Balas jasa itu diberikan pada kesempatan hari raya atau ulang tahun atau ketika perusahaan memperoleh keuntungan. Tentu saja diberikan dalam hubungan dinas yang berlangsung lama, yang mencerminkan hubungan emosional yang erat, baik sebagai bentuk hubungan relasi maupun hubungan emosional karena keakraban.

Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pemberian dalam arti luas, yakni pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima dari dalam negeri maupun luar negeri, baik yang menggunakan sarana elektronik maupun nonelektronik, termasuk kualifikasi gratifikasi (vide pasal 5 ayat 2, pasal 6 ayat 2, pasal 11, serta pasal 12 a, b, dan c UU No 20 Tahun 2001).

Dari norma itu, gratifikasi lebih berat daripada suap. Gratifikasi mengandung adanya hubungan struktural, memberikan kesan adanya hubungan jabatan. Gratifikasi merupakan tindakan yang jauh lebih halus, terselubung, dan bisa dibingkai dalam berbagai dalih seperti parsel pada hari Lebaran, bingkisan ulang tahun, dan sebagainya. Bahkan, sarana yang digunakan tidak mesti secara konvensional berupa barang yang secara riil bisa dilihat. Transfer uang melalui sarana elektronik dan cara lain juga (pasti) termasuk kualifikasi gratifikasi.

Secara normatif, pejabat yang menerima pemberian yang mengandung sinyalemen gratifikasi wajib melaporkan penerimaan tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut UU, itu jika nilainya lebih dari Rp 10 juta. Di bawah nilai itu, harus melapor kepada kantor kejaksaan untuk diperiksa. Dengan catatan, jika lebih dari Rp 10 juta, soal ada atau tidaknya kandungan gratifikasi di dalamnya, berlaku pembuktian terbalik.

Artinya, harus dibuktikan sendiri oleh penerima gratifikasi bahwa pemberian itu bukan suap. Jika nilainya kurang dari Rp 10 juta, berlaku pembuktian biasa. Artinya, kejaksaan harus membuktikan bahwa pemberian yang diterima itu memang merupakan gratifikasi.

Batas berikutnya sebagai penjabaran adalah Rp 500 ribu (vide Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No 047/Kma/SKB/IV/2009/ 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim). Jika nilainya misalnya Rp 499 ribu, barang tersebut tidak termasuk gratifikasi yang perlu dilaporkan.

Batasan sebagaimana yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut sebenarnya diadopsi dari KUHP. Namun, realisasinya berbenturan dengan aspek sosiokultural masyarakat yang sudah terbiasa dengan jalinan perkawanan atau persahabatan atau kolegialisme melalui pemberian. Hanya, terkadang berlebihan. Misalnya, parsel atau cenderamata yang tidak masuk akal tersebut. Benturan pada aspek sosiokultural itulah yang kiranya memerlukan klarifikasi tentang keharusan melaporkan setiap pemberian tersebut dalam bentuk yang bagaimana.

Penjabaran itu sangat perlu karena akan begitu banyak pekerjaan KPK dan jaksa yang harus menindaklanjuti tiap laporan pemberian cenderamata. Sebab, nilai di bawah Rp 10 juta itu mengharuskan setiap pejabat melaporkan cenderamata yang diterima kepada KPK (jika taksiran sementara nilainya lebih dari Rp 10 juta). Untuk yang bernilai kurang dari Rp 10 juta dengan batas Rp 500 ribu, mereka harus melapor ke kejaksaan. Permasalahannya, kalau akan konsisten dengan keadaan semacam itu, apakah aparat bisa mendata dan selanjutnya memeriksa serta menindaklanjuti?

Menyalahi Kepatutan

Berdasar konstruksi hukum tersebut, keribetan yang menimpa hajatan sekretaris MA itu menjadi pelajaran.Seharusnya ketika orang berhajat, tahu empan papan. Tidak mencerminkan status yang ukurannya tidak jelas. Akan lebih mulia dan selamat jika dilakukan secara wajar. Dana yang dihamburkan tentu lebih mulia dan bermanfaat manakala disalurkan kepada orang tidak berpunya.

Pejabat terkait, dalam keribetan ini adalah KY, tidak nyinyir dengan mencari perkara menelisik masalah seperti itu. Mereka harus profesional bahwa tugas KY adalah mengawasi para hakim, termasuk hakim agung. Subjek hukum kali ini bukan hakim agung. Jadi, biarkan instansi lain yang mengurus. Hal itu mencerminkan profesionalisme kinerja yang justru meningkatkan wibawa instansi serta menghindarkan kecaman.

Kiranya, perlu dibuka kembali Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dan Komisi Yudisial adalah pengawasnya. Pada poin pengaturan, angka 2 tentang kejujuran, ranah pengawasan KY adalah para hakim. Di dalamnya ada penjelasan tentang Pengecualian atas Objek Gratifikasi.

Yaitu, pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan, atau peringatan lainnya sesuai dengan adat istiadat yang berlaku yang nilainya tidak melebihi Rp 500 ribu.

Apakah pemberian itu memengaruhi para hakim dan apakah sekretaris MA serta besannya sedang berkasus, beperkara, atau bersengketa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar