Jumat, 21 Maret 2014

Pendidikan Agama dan Kesalehan Sosial

Pendidikan Agama dan Kesalehan Sosial

Benny Susetyo  ;   Rohaniwan, Sekretaris Komisi HAK KWI
KORAN SINDO,  21 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Pendidikan agama seharusnya mengajarkan nilai-nilai inklusif. Ialah sebuah nilai yang mementingkan toleransi kehidupan beragama dan tidak melihat agama lain sebagai musuh yang menakutkan.

Ini bisa ditempuh dengan cara mengajarkan nilai-nilai agama secara utuh dan tentu saja menghindarkan diri dari memahami agama secara eksklusif. Itulah sebagian poin penting yang didapatkan dari perbincangan lintas agama yang digagas Tony Blair Faith Foundation pekan lalu.

Dialog Antaragama

Ini menyangkut masa depan dialog antaragama sebagai jalan menuju dunia yang damai, toleran, dan berkeadilan. Nasib dialog antaragama ada di tangan para generasi baru, tentang kesanggupan mereka menerima perbedaan sebagai suatu keniscayaan, dan kemampuan memperjuangkan nilai-nilai toleransi sebagai harga mati di tengah tata dunia yang plural. Egoisme kelompok dan pandangan yang melihat kelompok lain secara picik merupakan akar segala masalah yang menyangkut terganggunya hubungan antaragama.

Di tingkat nilai pada umumnya nilai harmonis dan toleransi bisa diterima. Namun, dalam hal praktik itu kerap hanya menjadi sesuatu yang manis di bibir. Pertikaian dan konflik seringkali diarahkan untuk memperkeruh hubungan antaragama dan ironisnya ada oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Agar sampai pada praktik yang mengejawantah dalam segenap perilaku kehidupan kita, penanaman nilai toleransi sebaiknya dimulai dari generasi muda. Merekalah yang akhirnya akan menyemaikan gagasan toleransi ini.

Kendatipun dunia semakin bergerak menuju modernitas dan individualisme semakin tinggi, eksklusivitas dalam kehidupan beragama juga berkembang. Pada sebagian kecil kelompok, agama menjadi pilihan pada saat kehidupan modern tak lagi memberikan kebahagiaan. Celakanya bila agama dipahami dengan cara yang sempit, kekerasan pun diterima sebagai cara memperjuangkannya. Sikap kecurigaan terhadap stigma agama tertentu dan menyalahgunakan istilah keagamaan untuk membenarkan kekerasan yang menimbulkan salah tafsir hendaknya dihindari sedini mungkin.

Dalam konteks demikian, urgensi pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai toleransi seharusnya ditekankan sejak dini. Anak didik perlu diberikan pemahaman yang menyeluruh tentang keberagamaan dan keberagaman. Ini mengajarkan agar mereka memiliki cara pandang yang lebih luas terhadap keniscayaan perbedaan. Nilai-nilai perdamaian diajarkan sejak dini mengingat ”damai” itu sejak dulu begitu mudah diucapkan, tapi begitu sulit dipraktikkan. Di dalam keseragaman damai relatif mudah diterapkan. Bagaimana dalam hidup di dunia yang beragam? Kenyataannya, dunia ini beraneka warna.

Dalam berbagai kasus kekerasan yang terjadi, pertanyaannya masih berkutat pada, masih adakah harapan damai bisa dinikmati dalam dunia yang penuh dengan perbedaan ini? Hidup damai dalam perbedaan itulah yang senantiasa perlu dibudayakan dan terusmenerus dipromosikan dan diajarkan sebagai nilai-nilai utama berkehidupan. Bukan cara kekerasan yang bisa menyelesaikan masalah, namun dialog dan saling memahami. Memperbesar kesamaan nilai-nilai kemanusiaan jauh lebih penting dibandingkan mengungkit-ungkit perbedaan.

Dalam kerangka ini, tuntutan bahwa suatu budaya damai dan solidaritas antarmanusia dapat dibangun, di mana setiap orang dengan teguh dapat terlibat untuk membangun masyarakat persaudaraan. Disadari bahwa agama yang ditafsiri ke dalam primordialitas akan selalu menegasikan aspek pluralitas dan selanjutnya ini menghilangkan moralitas manusia yang paling asasi. Tentu pula perlu disadari bahwa fungsi agama adalah menolak segala macam sikap kebencian, balas dendam, kepicikan, pembunuhan, pemaksaan, perampokan, dan kerusuhan.

Fungsi agama adalah mengembangkan sikap kebaikan, belas kasihan, solidaritas, dan persaudaraan universal tanpa membedakan asal usul suku dan budaya, ras, maupun gender. Agama tanpa fungsi semacam itu hanya akan melahirkan pemujaan (cult) belaka. Agama diturunkan ke bumi ini untuk menciptakan kedamaian dan ketenteraman. Tidak ada cita-cita agama yang ingin membuat onar, membuat ketakutan, suasana mencekam, pembunuhan, sadisme, dan perusakan.

Pendidikan Agama

Sering menjadi kritik tajam bahwa sejauh ini pelajaran agama yang diajarkan di sekolah-sekolah kita itu lebih banyak bersifat ritual dan dogmatik. Pelajaran agama justru kurang menyentuh hal yang sangat mendasar yang berkaitan keberagaman dalam agama. Lebih jauh tekanan pengajaran agama masih terletak pada to have religion, bukan pada to be religion. Orientasi pelajaran semacam itu masih menekankan sifat kesalehan individual daripada kesalehan sosial.

Orang yang punya agama belum tentu beriman dan bertakwa, tetapi ada orang yang tidak mempunyai agama, hidupnya lebih beriman dan bertakwa. Persoalannya, bagaimana agama diajarkan di sekolah mampu membebaskan murid dari kesempitan ritualitas, kepicikan, dan fanatisme buta. Agama yang diajarkan di sekolah seharusnya mampu membuka wawasan anak didik untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Agama seharusnya mampu mewujudkan kembali konfigurasi nilai. Agama bertugas merajut nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai inilah yang menjadi dasar keimanan dan ketakwaan.

Orientasi pendidikan agama tidaklah cukup kalau hanya menyangkut ihwal luar seperti upacara, peraturan, ritus, hukum, lambang-lambang, segi-segi sosiologis, maupun segi politis dari gejala yang disebut agama. Agama tidak bisa disamakan hanya dengan semua segi luar itu meski diakui bahwa segi-segi luar itu menjadi bagian tak terpisahkan dari agama. Pendidikan agama kita sekarang ini terkesan kurang memberi perhatian pada masalah-masalah sosial (kesalehan sosial).

Pendidikan agama belum memperhatikan sungguh-sungguh suasana batin kebangsaan Indonesia yang penuh warna-warni, tapi lebih banyak menonjolkan nilai-nilai luhur agamanya yang jauh lebih baik dibandingkan agama lain. Saatnya memperlebar jangkauan masa depan dialog antaragama dengan memberi sentuhan khusus pada aspek pendidikan. Dari sanalah segalanya dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar