Tampilkan postingan dengan label Benny Susetyo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Benny Susetyo. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Maret 2014

Menjadi Indonesia

Menjadi Indonesia

Benny Susetyo  ;   Pemerhati Sosial
SINAR HARAPAN,  24 Maret 2014

                                                                                         
                                                      
Siapa pemimpin terbaik Indonesia akan segera ditentukan dalam beberapa bulan ke depan. Para calon pemimpin sudah tampil di hadapan publik memberikan yang terbaik.

Mereka adalah yang terbaik yang berjanji akan membawa perubahan bagi Indonesia. Rakyat Indonesia berharap mereka bisa membawa perubahan yang nyata dalam berkehidupan di Indonesia. Bisakah mereka mengubah nasib bangsa ini dalam situasi yang serba sulit ini?

Bangga Menjadi Indonesia

Sampai sepanjang masa Reformasi Indonesia masih sering dianggap berada di masa transisi. Kita merindukan sosok pemimpin otentik dan berkeutamaan yang mampu membawa menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya.

Masih terlalu sedikit contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini. Justru yang banyak adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan layaknya seorang pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi justru sering melahirkan kebijakan-kebijakan menyakitkan. Tak jarang di dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan daripada kepentingan kemakmuran rakyat semesta.

Pemimpin terbaik akan mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa yang luntur seiring dengan waktu. Kita bisa bangkit melalui kepercayaan diri yang kuat. Perilaku politik para elit selama ini banyak melunturkan kepercayaan diri kita sebagai bangsa. Pemimpin hendaknya menjadi tonggak agar kita bisa kembali bangga menjadi Indonesia.

Keinginan memiliki pemimpin yang bisa mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa itu begitu kuat. Kita ingin menjadi contoh nyata bagi negara-negara lain di Asia maupun dunia, bahwa Indonesia bisa menjalankan demokrasi dengan baik. Bukan demokrasi yang melahirkan sosok pemimpin yang bisa dikendalikan kepentingan modal dan bangsa lain.

Berproses menjadi Indonesia ini begitu pentingnya. Proses menjadi bangsa ini belum selesai, seperti kata Max Lane. Proses ini meliputi tindakan untuk terus-menerus memperbaiki cara kita menjalankan kehidupan sehari-hari sebagai warga bangsa.

Negeri Para Calo

Kepercayaan diri sebagai bangsa meluntur karena para elite negeri ini banyak berperan sebagai calo, bukan negarawan yang tulus. Kita bisa melihat praktik di negara yang mendeklarasikan ratusan tahun kebangkitan nasionalnya ini adalah, bagaimana semuanya bisa dibeli dan dijual.

Tanpa mengesampingkan prestasi yang telah diraih, sejauh ini lebih banyak didominasi kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama yang bernama bangsa. “Kebangsaan” kita adalah kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku.

Banyak fenomena yang bisa menjelaskan mengapa perjalanan kita sebagai sebuah bangsa sering terseok di tengah jalan. Kekayaan sumber daya alam melimpah tak kunjung bisa dinikmati demi kemakmuran rakyat, alih-alih dikuasai oleh kepentingan golongan tertentu.

Konflik sumber daya alam pada tahun-tahun terakhir justru terjadi sangat mengkhawatirkan. Sumber daya alam yang melimpah belum benar-benar dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semesta. Tidak disadari bahwa semakin hari kualitas hidup masyarakat semakin menurun.

Kemiskinan, pengangguran, dan perbaikan kualitas pendidikan belum menjadi cita-cita bersama yang mendesak untuk segera dicarikan jalan keluar. Kebijakan publik pun tidak disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh. Lahirlah kenyataan yang sering disebut orang sebagai para calo politik (rent seeker).

Di balik praktik percaloan itu ada kekuatan para pemilik modal besar yang berperan. Kepentingan pemilik modal adalah melestarikan bisnis-bisnis yang korup. Bisnis yang membesar hanya bila didukung dengan kebijakan yang menguntungkan secara khusus kepada mereka.

Saatnya Perubahan

Menjadi pemimpin adalah panggilan. Berpolitik juga merupakan panggilan untuk menyejahterakan masyarakat. Namun, partai politik kita justru gagal menciptakan situasi kondusif untuk kesejahteran rakyat. Partai politik gagal menata keadaban politiknya dan memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat.

Kini saatnya partai melakukan perubahan mendasar dalam dirinya agar ia kembali diterima. Partai politik diharapkan lebih aktif untuk mencari figur pemimpin yang memiliki keutamaan.

 Pemimpin yang memiliki keutamaan akan melayani rakyatnya karena itu merupakan panggilan nurani. Kita membutuhkan pemimpin yang tulus mengabdi untuk kesejahteraan bangsa ini. Pemimpin yang betul-betul memperhatikan nasib masa depan bangsa, bukan nasib dirinya sendiri.

Ketulusan menjadi dasar seseorang untuk menghantarkan bangsa ini kepada masa depan yang dicitakan. Sikap tulus ini tentu harus disertai dengan kecerdasan dalam mengoordinasikan tujuan dan target yang ingin dicapai.

 Tujuan yang ingin dicapai harus membebaskan masyarakat dari politik adu domba yang kerap dipicu perilaku politik kekuasaan. Justru negara seharusnya memfasilitasi pertumbuhan nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam peradaban para aparaturnya. Aparatur yang beradab selalu mengutamakan tertib sosial dan hukum.

Setiap pemimpin yang terpilih selalu dicita-citakan sebagai pemimpin bangsa masa depan. Mereka harus berani menegakkan keadilan tanpa melupakan kebenaran. Kebenaran tanpa keadilan tidak akan menciptakan tata dunia baru.

Tata dunia baru tercipta bila hukum memiliki kedaulatan di atas kepentingan politik. Politik harus tunduk pada moralitas. Inilah zaman yang diharapkan lembaran baru tercipta demi terwujudnya cita-cita para pendiri bangsa ini.

Jumat, 21 Maret 2014

Pendidikan Agama dan Kesalehan Sosial

Pendidikan Agama dan Kesalehan Sosial

Benny Susetyo  ;   Rohaniwan, Sekretaris Komisi HAK KWI
KORAN SINDO,  21 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Pendidikan agama seharusnya mengajarkan nilai-nilai inklusif. Ialah sebuah nilai yang mementingkan toleransi kehidupan beragama dan tidak melihat agama lain sebagai musuh yang menakutkan.

Ini bisa ditempuh dengan cara mengajarkan nilai-nilai agama secara utuh dan tentu saja menghindarkan diri dari memahami agama secara eksklusif. Itulah sebagian poin penting yang didapatkan dari perbincangan lintas agama yang digagas Tony Blair Faith Foundation pekan lalu.

Dialog Antaragama

Ini menyangkut masa depan dialog antaragama sebagai jalan menuju dunia yang damai, toleran, dan berkeadilan. Nasib dialog antaragama ada di tangan para generasi baru, tentang kesanggupan mereka menerima perbedaan sebagai suatu keniscayaan, dan kemampuan memperjuangkan nilai-nilai toleransi sebagai harga mati di tengah tata dunia yang plural. Egoisme kelompok dan pandangan yang melihat kelompok lain secara picik merupakan akar segala masalah yang menyangkut terganggunya hubungan antaragama.

Di tingkat nilai pada umumnya nilai harmonis dan toleransi bisa diterima. Namun, dalam hal praktik itu kerap hanya menjadi sesuatu yang manis di bibir. Pertikaian dan konflik seringkali diarahkan untuk memperkeruh hubungan antaragama dan ironisnya ada oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Agar sampai pada praktik yang mengejawantah dalam segenap perilaku kehidupan kita, penanaman nilai toleransi sebaiknya dimulai dari generasi muda. Merekalah yang akhirnya akan menyemaikan gagasan toleransi ini.

Kendatipun dunia semakin bergerak menuju modernitas dan individualisme semakin tinggi, eksklusivitas dalam kehidupan beragama juga berkembang. Pada sebagian kecil kelompok, agama menjadi pilihan pada saat kehidupan modern tak lagi memberikan kebahagiaan. Celakanya bila agama dipahami dengan cara yang sempit, kekerasan pun diterima sebagai cara memperjuangkannya. Sikap kecurigaan terhadap stigma agama tertentu dan menyalahgunakan istilah keagamaan untuk membenarkan kekerasan yang menimbulkan salah tafsir hendaknya dihindari sedini mungkin.

Dalam konteks demikian, urgensi pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai toleransi seharusnya ditekankan sejak dini. Anak didik perlu diberikan pemahaman yang menyeluruh tentang keberagamaan dan keberagaman. Ini mengajarkan agar mereka memiliki cara pandang yang lebih luas terhadap keniscayaan perbedaan. Nilai-nilai perdamaian diajarkan sejak dini mengingat ”damai” itu sejak dulu begitu mudah diucapkan, tapi begitu sulit dipraktikkan. Di dalam keseragaman damai relatif mudah diterapkan. Bagaimana dalam hidup di dunia yang beragam? Kenyataannya, dunia ini beraneka warna.

Dalam berbagai kasus kekerasan yang terjadi, pertanyaannya masih berkutat pada, masih adakah harapan damai bisa dinikmati dalam dunia yang penuh dengan perbedaan ini? Hidup damai dalam perbedaan itulah yang senantiasa perlu dibudayakan dan terusmenerus dipromosikan dan diajarkan sebagai nilai-nilai utama berkehidupan. Bukan cara kekerasan yang bisa menyelesaikan masalah, namun dialog dan saling memahami. Memperbesar kesamaan nilai-nilai kemanusiaan jauh lebih penting dibandingkan mengungkit-ungkit perbedaan.

Dalam kerangka ini, tuntutan bahwa suatu budaya damai dan solidaritas antarmanusia dapat dibangun, di mana setiap orang dengan teguh dapat terlibat untuk membangun masyarakat persaudaraan. Disadari bahwa agama yang ditafsiri ke dalam primordialitas akan selalu menegasikan aspek pluralitas dan selanjutnya ini menghilangkan moralitas manusia yang paling asasi. Tentu pula perlu disadari bahwa fungsi agama adalah menolak segala macam sikap kebencian, balas dendam, kepicikan, pembunuhan, pemaksaan, perampokan, dan kerusuhan.

Fungsi agama adalah mengembangkan sikap kebaikan, belas kasihan, solidaritas, dan persaudaraan universal tanpa membedakan asal usul suku dan budaya, ras, maupun gender. Agama tanpa fungsi semacam itu hanya akan melahirkan pemujaan (cult) belaka. Agama diturunkan ke bumi ini untuk menciptakan kedamaian dan ketenteraman. Tidak ada cita-cita agama yang ingin membuat onar, membuat ketakutan, suasana mencekam, pembunuhan, sadisme, dan perusakan.

Pendidikan Agama

Sering menjadi kritik tajam bahwa sejauh ini pelajaran agama yang diajarkan di sekolah-sekolah kita itu lebih banyak bersifat ritual dan dogmatik. Pelajaran agama justru kurang menyentuh hal yang sangat mendasar yang berkaitan keberagaman dalam agama. Lebih jauh tekanan pengajaran agama masih terletak pada to have religion, bukan pada to be religion. Orientasi pelajaran semacam itu masih menekankan sifat kesalehan individual daripada kesalehan sosial.

Orang yang punya agama belum tentu beriman dan bertakwa, tetapi ada orang yang tidak mempunyai agama, hidupnya lebih beriman dan bertakwa. Persoalannya, bagaimana agama diajarkan di sekolah mampu membebaskan murid dari kesempitan ritualitas, kepicikan, dan fanatisme buta. Agama yang diajarkan di sekolah seharusnya mampu membuka wawasan anak didik untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Agama seharusnya mampu mewujudkan kembali konfigurasi nilai. Agama bertugas merajut nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai inilah yang menjadi dasar keimanan dan ketakwaan.

Orientasi pendidikan agama tidaklah cukup kalau hanya menyangkut ihwal luar seperti upacara, peraturan, ritus, hukum, lambang-lambang, segi-segi sosiologis, maupun segi politis dari gejala yang disebut agama. Agama tidak bisa disamakan hanya dengan semua segi luar itu meski diakui bahwa segi-segi luar itu menjadi bagian tak terpisahkan dari agama. Pendidikan agama kita sekarang ini terkesan kurang memberi perhatian pada masalah-masalah sosial (kesalehan sosial).

Pendidikan agama belum memperhatikan sungguh-sungguh suasana batin kebangsaan Indonesia yang penuh warna-warni, tapi lebih banyak menonjolkan nilai-nilai luhur agamanya yang jauh lebih baik dibandingkan agama lain. Saatnya memperlebar jangkauan masa depan dialog antaragama dengan memberi sentuhan khusus pada aspek pendidikan. Dari sanalah segalanya dimulai.

Selasa, 18 Maret 2014

Membaca Realitas Zaman

Membaca Realitas Zaman

Benny Susetyo  ;   Seorang Pastor
KORAN JAKARTA,  19 Maret 2014
                                            
                                                                                         
                                                                                                             
Dalam sebuah kampanye PDIP ada spanduk bertuliskan "Terima Kasih, Ibu Megawati adalah Negarawan Sejati". Kebesaran jiwa Megawati membawa bangsa ini memiliki harapan akan muncul sang fajar sejati.

Di tangan Megawati lahir generasi baru anak muda yang memiliki potensi merajut Indonesia raya.

Cita-cita Proklamasi dengan tegas menyatakan tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam pergaulan dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Cita-cita ini menjadi pudar karena tata kelola pemerintahan masih dibayangi korupsi yang merusak keadaban bangsa karena membuat rakyat menjadi miskin.

Rakyat merindukan pemimpin yang memiliki jiwa proklamasi, mampu mengantar bangsa menuju keadaban publik. Keadaban publik akan tercipta bila ada fungsi silang negara, pasar, dan warga. Keadaban ini harus dijadikan cara berpikir, bertindak, berelasi. Persoalannya, bangsa kehilangan pemimpin berjiwa merdeka karena disandera kepentingan kapital dan kekuasan yang sempit.

Rakyat memperoleh darah segar ketika Megawati mencalonkan Jokowi sebagai presiden. Getaran sukma menjelma menjadi gairah publik dalam mencari pemimpin alternatif yang diharapkan mampu membawa Indonesia maju. Batin rakyat bisa terbaca dari hasil survei CIRUS Surveyor Group mengenai popularitas dan elektabilitas kandidat capres-cawapres.

Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, menempati urutan pertama dengan suara 31,9 persen, disusul Prabowo Subianto (15,3 persen), dan Wiranto (8,7 persen). Survei dilakukan dengan metode wawancara lansung dengan 2.200 responden berumur minimal 17 tahun atau sudah menikah dan punya hak pilih.

Ini menunjukkan kerja PDIP, harus diakui, memiliki andil besar, terutama Megawati dengan kesabaran, ketekunan, serta perjuangan membesarkannya. Megawati memunyai andil besar mempersiapkan jalan bagi anak muda tampil di permukaan menghiasi negeri. Visi politik yang jelas dengan kesadaran nasionalisme membuat bangsa mampu berdikari di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan.

Jalan politik inilah yang ditempuh Megawati sebagai jalan kebudayaan menciptakan keadaban bangsa. Di tangan Megawati lahir Jokowi, Ganjar, Risma, Puan, serta banyak lagi kader bangsa. Mega memahami dinamika masyarakat yang membutuhkan pemimpin pelayan. Orientasi agar partai membaca realitas zaman.

Di tengah fakta semakin elitisnya para pemimpin, rakyat menunggu era baru pemimpin yang mengerti penderitaan bangsa. Pemimpin yang dekat dengan rakyat bukan hanya dalam kata-kata, melainkan juga aksi nyata. Pemimpin yang memahami sekaligus bisa mengajak rakyat bahu-membahu menegakkan harga diri sebagai bangsa.

Masyarakat membutuhkan figur baru kepemimpinan yang bersungguh-sungguh memperjuangkan harkat dan martabat rakyat kecil. Pemimpin yang memiliki spirit wong cilik, tidak pongah, dan sombong, hanya membangun citra baik.

Rakyat membutuhkan pemimpin yang bukan semata-mata melayani kebutuhan orang kaya, namun melindungi dan memperjuangkan perubahan kehidupan lebih baik baik bagi orang miskin. Pemimpin dengan karakter kuat untuk menyelamatkan nasib bangsa.

Mereka adalah pemimpin yang bukan saja dekat dengan rakyat, melainkan juga melindungi dan selalu bersama-sama rakyat. Mereka tidak berperilaku dan bergaya feodal, tidak berkomunikasi dengan gaya doktrinal, serta menjadi pemimpin bijaksana dan berani melawan kenyataan penindasan kaum kecil.

Alternatif

Di antara banyak calon pemimpin di permukaan, akhir-akhir ini, bangsa ini yakin memiliki pemimpin yang bisa membawa Indonesia lebih berharga diri dan lebih baik. Rakyat sudah cerdas dan tidak lagi bisa dikelabui janji-janji manis tanpa bukti. Para calon pemimpin harus membuktikan diri dengan kerja nyata, bukan omdo. Pemimpin harus beraksi nyata dan berkarakter melayani. Inilah pemimpin alternatif.

Dia yang selama ini dipandang sebelah mata, kehadirannya akan memberi pembanding atas pemimpin-pemimpin yang selama ini hanya memperjuangkan kaum kaya dan pengusaha hitam. Rakyat hanya dijadikan kedok alias tameng untuk pencitraan diri yang tidak bermakna apa pun bagi perubahan kehidupan masyarakat. Bangsa membutuhkan pemimpin yang bisa memberi kesegaran baru berbangsa di tengah kehidupan yang semakin sulit.

Kenaikan harga-harga dan semakin sulitnya mendapat pekerjaan, kemiskinan tambah berat, merupakan problem yang memperlihatkan bahwa kesejahteraan masih jauh. Semua itu sering kali akibat pemimpin yang terlalu mudah menggadaikan aset-aset bangsa. Kemandirian bangsa pun semakin hanya sebuah mimpi.

Masyarakat membutuhkan darah segar agar muncul orang baik. Partai politik yang berkualitas akan memiliki keadaban publik sebagai energi positif. Inilah realitas zaman segera diwujudkan di tengah-tengah kegelapan karena lingkaran korupsi yang membuat bangsa ini menjadi miskin dan hilang harga diri.

Selama ini, masyarakat hidup dalam sekat kesukuan dan keagamaan. Semoga pemilu kali ini bisa memberi harapan menemukan satu orang benar yang akan menyelamatkan negeri.

Harapan sudah dekat. Tinggal rakyat mampu membaca realitas zaman atau tidak. Zaman membutuhkan pemimpin berjiwa visioner dan memiliki ideologi tidak korup, tidak menjual kekayaan alam untuk kepentingan kelompok, dan tidak memperkaya diri sendiri. Jiwa ideologi ini hanya tertanam dalam diri pemimpin berjiwa merdeka.

Saatnya rakyat memilih pemimpin terbaik yang melayani rakyat dengan tulus dan mau berbagi dalam suka-duka. Dia harus memiliki mata hati dan keteladan. Bangsa membutuhkan pemimpin yang mampu membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Hal ini mengingat sudah cukup lama Indonesia mengalami krisis kepemimipinan.

Menjadi hal yang kontradiktif ketika para pemimpin bangsa mengumbar janji dan berbicara tentang moralitas, namun tak ada implementasi. Keteladanan sudah langka. Seorang pemimpin harus memiliki karakter baik dan bisa diteladani. Dia harus memprioritaskan kepentingan rakyat kecil.

Senin, 17 Maret 2014

Tantangan Kebangsaan

Tantangan Kebangsaan

Benny Susetyo  ;   Budayawan
SUARA MERDEKA,  15 Maret 2014
                               
                                                                                         
                                                                                                             
NASIONALISME Indonesia adalah buah interaksi antara kesadaran subjektif golongan masyarakat dalam membayangkan "kita" (Indonesia) dan "mereka" di satu pihak; dan kondisi objektif sosial-politik dalam kurun tertentu yang berkembang di masyarakat, di pihak yang lain. Namun, kita perlu memperhatikan mengingat kemunculan berbagai wacana mengenai pentingnya pemupukan kembali kesadaran atas nasionalisme.

Apakah nasionalisme kita telah merosot atau mengalami pergeseran seiring dengan mekarnya globalisasi dan kerja sama internasional? Bagaimana seharusnya nasionalisme diisi pada masa kini? Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) memperingati hari lahir ke-88 Nahdatul Ulama (NU) dengan menggelar tasyakuran bertema ’’Setia Menjaga NKRI’’.

Nahdlatul Ulama adalah organisasi masyarakat terbesar di Indonesia. Karena itu, pemikiran tentang kepemimpinan dan arah ke depan organisasi tersebut pun menjadi bahan pembicaraan umum yang menarik. Sebagai organisasi terbuka dan berpaham pluralis, kontribusi NU tak lagi hanya bagi warga nahdliyin tapi juga bagi bangsa ini. Organisasi itu merupakan aset bangsa yang memiliki kontribusi besar bagi pembangunan peradaban Indonesia.

Karena itu, tak ada lagi alasan untuk menolak NU sebagai bagian utama bangsa ini, untuk menggerakkan, mendorong, dan mengontrol Indonesia, serta menjadikannya sebagai rumah bersama. Pengumandangan gerakan moral secara nasional beberapa waktu lalu menyedot perhatian menegani peranan ormas seperti NU.

Masyarakat bisa melihat bagaimana ormas itu turut berkontribusi menciptakan Indonesia yang bersih dari korupsi. Ia menjadi garda depan gerakan itu hingga kini. Pandangannya bahwa agama adalah kekuatan utama perdamaian, penolakannya atas penyerbuan AS ke Timteng, keikutsertaannya membendung paham terorisme, merupakan sedikit dari banyak kontribusi yang penah diberikan.

Visi ke depan arah dan kepemimpinan PBNU dinilai memiliki peran dalam menentukan dan membawa bukan saja gerbong NU melainkan juga secara lebih luas lagi. Mengembalikan peran NU untuk kembali memperkuat basis warganya dibanding keterlibatannya secara aktif dalam politik pragmatis saat ini menjadi perdebatan hangat. Tentu menjadi pemikiran bersama bahwa orientasi sesaat acap tak pernah menguntungkan dalam jangka panjang. Terlebih bila tidak dilandasi sikap idealis yang tegas dan visioner.

Di luar, semua kelompok masyarakat, sebagaimana halnya NU, menghadapi persoalan tidak ringan. Kemelut dan kolaborasi pemegang kekuasaan dengan pemilik modal terbukti paling sering menjadikan rakyat kecil sebagai korban. Rakyat kecil acap dijadikan alasan peningkatan kesejahteraan, walau kenyataannya justru mereka jadi korban di tengah keserakahan dan keangkuhan segelintir elite.

Persoalan itu sudah disadari bersama sebagai persoalan utama. Terlampau banyak kebijakan yang berorientasi bukan kepada rakyat kecil. Rakyat kecil tertindas oleh kebijakan yang seolah-olah pro-poor, namun kenyataannya membelenggu. Dalam konteks itu, kita semua,  sebagai anak bangsa, harus hidup dan berjuang supaya keselamatan dan kesejahteraan masyarakat tetap diprioritaskan.

NU memiliki tugas menjadi penyeimbang dua arus besar dewasa ini, politik yang dikelola tanpa nurani dan kapital yang ingin menggelembungkan dirinya. Nahdliyin juga diharapkan sebagai wadah kembali bertemunya anak-anak bangsa, yang masih memiliki harapan keterwujudan Indonesia sebagai rumah bersama.

Keadaban Publik

Artinya, tempat anak-anak bangsa bertemu dan merumuskan gerakan kesadaran masyarakat dalam mengembangkan keadaban publik. Setidak-tidaknya isu inilah yang bisa menjadi pemikiran bersama untuk mendorong NU sebagai organisasi, yang mampu mengembangkan wawasan keimanan Islam sebagai rahmat bagi semua. Organisasi sosial kemasyarakatan yang didirikan dalam kekokohan tradisi ini bisa menjadi cermin kebangsaan.

Cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama, akan membuat kalangan minoritas merasa nyaman berkehidupan sekaligus bekerja sama. Toleransi keagamaan merupakan pangkal pokok yang bisa kita lihat dari NU, dan bahkan kini menjadi saripati gerakan kaum mudanya di berbagai daerah. Tidak perlu lagi menjelaskan bahwa NU merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai. Pandangan keagamaannya menjadi jangkar yang dapat mengokohkan bangsa ini.

Tak melebih-lebihkan pula bila NU dalam sejarahnya mampu berperan sebagai kekuatan sosial berbasis agama dengan visi kebangsaan yang kokoh. Salah satu momentumnya adalah tahun 1984 ketika menyatakan bahwa NKRI adalah final, dan Pancasila menjadi dasarnya. Hal itu dapat dilihat sebagai perkembangan yang tak ternilai harganya.

Karena itu, tantangan terbesar bangsa ini, sebagian besar juga menjadi tantangan NU, sebagai pilar kebangsaan. Kemiskinan, pengangguran, KKN, radikalisme agama, demokratisasi merupakan isu-isu pokok kebangsaan yang butuh sentuhan khusus dengan dasar pandangan plural, sebagaimana dimiliki NU. Perlu kembali memperkuat berbagai gerakan pengokohan masyarakat sipil demi pemulihan kembali kesadaran hidup bermoral dan bermartabat.

Beberapa hal yang bisa didiskusikan dalam konteks ini adalah bagaimana supaya NU tetap bisa menjadi garda depan dan mengajak semua komponen bangsa ini untuk menjadi agen perubahan yang mampu menjadi jangkar kehidupan bangsa ini. Selain itu, tetap menjaga roh pluralisme dan keindonesiaan.

Sabtu, 15 Maret 2014

Mencari Pemimpin Baru

Mencari Pemimpin Baru

 Benny Susetyo  ;   Seorang Pastor
KORAN JAKARTA, 15 Maret 2014
                                                                                     
                                                                                         
                                                                                                     
Belum lama ini diadakan diskusi LSI, Parlemen Eropa, dan Lembaga swadaya masyarakat (NGO), termasuk Tonny Blair Foundation. Peserta mengamati perkembangan politik Indonesia yang diharapkan dapat membawa perubahan mendasar. Perkembangan dan dinamika politik begitu cepat.

Indonesia sebagai negara besar tengah menghadapi problem-problem, seperti korupsi, intoleransi, dan kesenjangan ekonomi. Maka, pemimpin masa depan diharapkan mampu membawa Indonesia melepaskan dari berbagai masalah tersebut.

Mereka menganalisis rakyat Indonesia harus bisa memilih pemimpin terbaik dan memiliki kepercayaan tinggi, di antaranya ada Jokowi, Megawati, Prabowo, Wiranto, Yusuf Kala, dan Aburizal Bakrie atau Ical.

Pemimpin terpilih akan menentukkan nasib bangsa menuju pintu gerbang perubahan. Tapi bila salah memilih, bisa saja bangsa tetap statis. Rakyat berharap transisi demokrasi berjalan damai dan menghasilkan pemimpin yang memilliki trust besar di mata masyarakat.

Diskusi juga menyoroti fenomena Jokowi yang melesat dan gemar mendatangi akar rumput dengan blusukan-nya. Langkah Jokowi sama dengan gerakan Amerika Latin yang disebut komunitas basis (KB) yang memiliki akar gerakan ideologis yang mengarahkan pada kesadaran rakyat bawah, seperti buruh, petani, serta nelayan yang menginginkan perubahan dengan membangkor tatanan tidak adil.

KB mengandalkan kesadaran yang berbasis ideologi berdasarkan kelas sosial guna menciptakan tatanan yang lebih manusiawi dan adil. Istilah KB lebih menekanan kesadaran dari tiap-tiap komunitas yang bersatu untuk mengatasi masalah struktural ketidakadilan. Pemimpin kharismatik memunyai aura kesederhanan, kelembutan, dan retorika sebagai simbol perlawan melawan basis kelas menindas.

Diskusi LSI menilai Jokowi sebagai fenomena pemimpin yang mencoba menghidupkan marhenisme dengan spirit sosialis pembaruan, mengadaptasi gagasan Gidden melindungi rakyat, tetap memberi ruang pasar terbuka.

Kebijakaan Jakarta dan Solo sebenarnya kombinasi Marhenisme Soekarno dan Sosialisme pro pasar. Model seperti yang sebenarnya dijalankan Jokowi, tak dapat dipahami, hanya dapat ditafsirkan.

Semua harapan masyarakat internasional tentang Indonesia di masa depan mengharapkan mampu menjadi contoh bagi Asia sebagai bangsa yang sukses menjalankan demokrasi.

Proses menjadi bangsa belum selesai, seperti dikatakan Max Lene. Proses menjadi bangsa memiliki sebuah cara berpikir, bertindak, berelasi yang dijiwai nilai Pancasila dan dibatinkan membutuh sebuah proses.

Soekarno membangun cita-cita kemerdekan sebagai pintu gerbang menuju bangsa berkeadaban dengan nasionalisme yang didasarkan gotong royong, kekuatan yang menyatukan perbedaan. Soeharto mencoba mengaktualiasikan gagasan kesejahteran dengan membangun lewat Repelita yang diagendakan dalam GBHN.

Lewat pembangun berkesinambungan itu, Indonesa meningkat menjadi negara berkembang. Namun, krisis moneter mengakiri semuanya. Tiba-tiba rakyat jatuh miskin lagi karena ekonomi rapuh. Sementara ketika berusaha membangun kembali digeroti korupsi. Reformasi mengembalikan rel yang benar.

Demokrasi diharapkan mampu mengurangi korupsi dan kekerasan. Selama 15 tahun persoalan semakin runcing. Diharapan proses menjadi bangsa yang memiliki keadaban bisa dimulai dengan mengakhiri masa transisi demokrasi. Dalam sejarah perjalanan bangsa mengakhiri sebuah transisi demokrasi tidak mudah dan kerap kali mengalami jalan terjal.

Amerika Serikat bisa mengakhiri situasi seperti itu ketika muncul figur Abraham Lincoln. Bisakah Indonesia menemukan figur seperti dia? Mungkin tidak persis, tetapi gaya kepempinan menirunya.

Tinggal rakyat menentukan siapa yang mereka pilih dan akan menentukan masa depan serta meletakkan fondasi bangsa ke depan. Semoga rakyat cerdas membaca tanda zaman. Orientasi pasar yang terbuka, tetapi melindungi kaum miskin.

Cerdas

Diharapkan rakyat menjadi pemilih yang cerdas dan optimistis karena pesimisme tidak menyelesaikan masalah. Pesimisme hanya akan membuat kehidupan mundur dan dimanfaatkan para petualang politik untuk kepentingan pribadi.

Sebagian kalangan yang pesimistis bahwa pemilu akan menghasilkan perubahan harus mendapat keyakinan lain bahwa hanya dengan mekanisme yang disepakati bersama seperti pemilulah sebuah perubahan bisa disusun dan direncanakan.

Bagi partai politik, seharusnya melihat pesimisme dan apatisme rakyat terhadap politik sebagai koreksi mendasar bagi program dan kinerja selama ini. Keraguan publik sudah lama tercermin akibat sikap partai peserta pemilu yang lebih banyak menonjolkan hiburan daripada program kerja yang jelas.

Cerminan ini menunjukkan bahwa partai politik tidak memiliki prioritas yang jelas untuk membangun sebuah sistem demokrasi. Padahal, sistem demokrasi akan berjalan bila ada peradaban politik yang tercermin dalam perilaku yang mengedepankan akal sehat daripada sentimen emosional belaka. James Siegel pernah mengatakan setelah Soekarno meninggal, tidak ada lagi penyambung lidah rakyat.

Hal ini amat mengejutkan bagi publik bahwa realitas kedaulatan rakyat sebenarnya telah lama hilang, tergantikan kedaulatan uang karena elite hanya memberi kenyakinan, bukan pengetahuan.

Partai politik masih dalam tahap perkembangan mencari kepuasan diri sendiri. Orientasi ini yang membuat peserta pemilu hanya bersifat reaktif terhadap persoalan. Isu-isu mereka hanya sekitar lingkaran kepedulian untuk membakar emosi massa. Sulit mencari calon wakil rakyat yang bisa memberi pengetahuan yang cukup kepada konstituen tentang idealisme dan cita-cita kebangsaan.

Ini membuat bangsa semakin kesulitan mencari elite yang bermutu, berkomitmen, bernalar, dan bermoral. Konferensi Wali Gereja Indonesia menganjurkan, "Ikutlah memilih. Dengan demikian, Anda ikut serta dalam menentukan masa depan bangsa." Mari lakukan tugas untuk mengiringi proses pelaksanaan pemilu dengan doa memohon berkat Tuhan.

Semoga pemilu berlangsung damai, berkualitas, serta menghasilkan wakil-wakil yang benar-benar memperhatikan rakyat dan berjuang untuk keutuhan Indonesia. Dengan demikian, cita-cita bersama, yaitu kebaikan dan kesejahteraan bersama semakin mewujud. Semoga bangsa segera menemukan pemimpin baru yang mampu membuka pintu gerbang kemerdekaan sejati.

Akhirnya, penting bagi semua masyarakat untuk menjaga pemilu berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, damai, dan berkualitas. Hindarkan segala bentuk peluang kekerasan baik terbuka maupun terselubung.

Kini saatnya mewujudkan tata dunia baru yang didasarkan pada nilai-nilai persaudaran sejati di antara rakyat Indonesia. Barangkali baik bila mengingat syair lagu mendiang Franky Sahilatua Aku Mau Presiden Baru. Aku mau presiden baru. Bela rakyat yang punya ketegasan jadi pemimpin. Rakyat semakin susah. Rakyat hilang harapan. Karena salah pilih pemilu kemarin.

Senin, 20 Mei 2013

Seremoni Kebangkitan Nasional


Seremoni Kebangkitan Nasional
Benny Susetyo ;  Pemerhati Sosial
SINAR HARAPAN, 20 Mei 2013

Secara historis, momentum kebangkitan nasional merupakan masa di mana tumbuh kesadaran bersama untuk memperjuangkan Indonesia merdeka dan mulai berani mengadakan perhitungan dengan penjajah. Boedi Oetomo yang berdiri pada 20 Mei 1908 menjadi salah satu tonggak kesadaran tersebut.

Kini setiap tahun kita memperingati kebangkitan nasional. Pertanyaannya, kesadaran bersama apa yang harus tumbuh? Perjuangan dan perhitungan apa lagi yang harus dilakukan?

Tantangan Berat

Momentum kebangkitan nasional seharusnya dipahami bukan sekadar peristiwa sejarah yang berhenti pada romantisme sejarah saja. Momentum ini memiliki makna penting bahwa sebuah bangsa yang berkembang selalu mengevaluasi diri dan menyadari tantangan demi tantangan kebangsaan yang tidak lebih ringan.

Bila dihitung, telah 100 tahun lebih Indonesia mendeklarasikan diri dalam kebangkitan nasional. Namun bila faktanya sepanjang masa itu pulalah sebagian besar rakyat bangsa ini kerap mengalami penderitaan, itulah yang perlu disadari. Saat korupsi dan kolusi menjadi pemandangan sehari-hari tanpa disadari efeknya merusak nilai-nilai kebangsaan di masa mendatang.

Kemerdekaan yang telah diraih lebih dari setengah abad belum dapat dimanfaatkan dengan baik untuk membentuk manusia dan bangsa yang merdeka. Sumber daya alam yang melimpah belum benar-benar dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semesta.

Masih banyak anak bangsa yang kelaparan di tengah lumbung padi, di tengah segenap persoalan bangsa yang semakin lama semakin serius nyaris tak tertangani dengan baik. Berita tentang mereka yang kekurangan gizi kian mencemaskan, bukan karena mereka berada di dunia yang tidak ada makanan bergizi, melainkan karena akses terhadapnya tidak mampu dilakukan.

Perekonomian bangsa yang dilandaskan kepada Pancasila yang menggotong ekonomi kerakyatan tampaknya hanya untuk memanis-maniskan wajah belaka.

Kenyataannya perekonomian kita lebih ditumpukan kepada sejauh mana modal berkuasa menentukan segalanya. Segala apa yang bisa dijual dan tidak banyak menimbulkan protes publik, dijual kepada pemodal untuk kepentingan yang tidak jelas betul untuk apa peruntukannya.

Pemberantasan korupsi belum terbukti sebagai sebuah gerakan simultan dan berkelanjutan yang didukung oleh semua penguasa darimana pun asalnya. Pemberantasan korupsi terkadang sering bisa dilihat kental dengan nuansa politisnya daripada kesungguh-sungguhan untuk menghilangkan korupsi itu sendiri.

Reformasi pun jalan di tempat. Ke arah mana bangsa ini harus berjalan dan akan mencapai apa sebagaimana yang sudah diangan-angankan bersama sering kali tidak sinkron dengan perilaku para elite yang tindak-tanduknya kerap menjauhi etika.

Rakyat dalam posisi serbasulit. Rakyat berada dalam situasi terjepit karena setiap apa yang dikerjakan tidak jarang terkendala dengan kebijakan elite yang tidak pro kemerdekaan. Kebijakan hanya pro pada elite dan mereka yang punya uang saja.

Seremoni Kebangkitan Nasional

Kita masygul bila kebangkitan nasional kerap hanya bermakna seremoni saja; saat para elite mengingat hari kebangkitan nasional hanya pada Mei, dan melupakannya begitu upacara dibubarkan. Semua semangat untuk membawa bangsa ini tertelan dalam aktivitas sehari-hari yang lebih mendorong sikap instan dan pragmatis.

Privatisasi aset-aset publik dapat mudah dilegalisasi karena di dalamnya ada aspek-aspek yang menguntungkan secara pribadi dalam dimensi politik dan ekonomi. Visi kebangsaan para elite, dalam berbagai perilakunya, dapat dilihat jauh lebih lemah daripada apa yang ada di tingkat masyarakat.
Dalam aspek pendidikan tidak kalah ironis. Plin plan kebijakan menjadikan kita tidak mengerti manusia Indonesia seperti apa yang hendak dicetak.

Karut marut dunia pendidikan dalam berbagai aspek mengokohkan kesimpulan bahwa semakin lama, pendidikan mundur ke belakang karena lebih banyak berbau kekuasaan daripada meneruskan visi yang sudah lurus yang ditorehkan para pendahulu kita.

Penegakan hukum adalah dunia “seolah-olah”: seolah-olah semua manusia Indonesia harus menaati hukum karena negara kita adalah rechstaat. Tapi fakta bahwa terlampau banyak perilaku yang mencerminkan ini negara macshtaat merupakan fakta sehari-hari yang sulit dimungkiri.

Hukum sering dinilai dengan uang dan kekuasaan. Hukum hanya berpihak pada kaum berduit, dan menginjak yang lemah. Hukum diterapkan dengan metode belah bambu: menginjak yang bawah dan mengangkat yang atas.

Bahkan di era yang disebut reformasi, justru masyarakat semakin apatis terhadap hukum. Penegakan dalam hukum tidak berbanding dengan kebenaran dan keadilan, tapi sejauh mana mereka yang berurusan bisa “menguasai” hukum, dengan apa pun. Dengan kata lain, siapa kuat, dia memiliki imunitas hukum.

Kita bisa melihat praktik di negara yang memperingati kebangkitan nasionalnya setiap tahun ini adalah bagaimana semuanya bisa dibeli dan dijual. Tanpa mengesampingkan prestasi yang telah didapat, selama ini lebih banyak diwarnai dengan hura-hura pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama yang bernama bangsa. “Kebangsaan” kita adalah kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku.

Kebijakan publik di negara berdaulat dan memiliki deklarasi nasionalisme 100 tahun ini tidak disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh. Setiap zaman, aturan-aturan kebangsaan yang krusial bisa digantikan sesuka hati oleh para penguasa dengan berbagai cara dan alasan.

Ini bukan khayalan politik. Suka tidak suka kita terima ini sebagai sebuah realitas yang terjadi di lapangan. Lihat saja kenyataan apa yang sering disebut orang sebagai para calo politik.

Di balik praktik percaloan itu ada kekuatan para pemilik modal besar yang berperan. Kepentingan pemilik modal adalah untuk melestarikan bisnis-bisnis mereka yang korup. Bisnis tersebut akan besar jika didukung oleh kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka.

Rakyat yang mengalami kemiskinan ekonomi selama bertahun-tahun dalam pemerintahan Soekarno merasa datangnya Orde Baru bagaikan dewa penyelamat. Rakyat dininabobokkan dengan janji-janji perbaikan ekonomi yang teramat meyakinkan. Pembangunan ekonomi pun dengan segera diselenggarakan dengan asumsi bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi yang signifikan akan menciptakan pemerataan ekonomi.

Sampai kini, angan-angan itu masih sebatas angan-angan. Semangat reformasi kian hari kian meredup berubah menjadi kesengsaraan. Darimana kebangkitan nasional harus dimulai, bila cara berpikir elite masih mementingkan diri dan kelompoknya daripada rakyat bangsanya? 

Semangat Baru Bangsa


Semangat Baru Bangsa
Benny Susetyo ;  Pemerhati Sosial
KORAN SINDO, 20 Mei 2013

Bila apa sebagian besar yang ada di Bumi Pertiwi ini sudah bukan menjadi milik kita sendiri, lalu nasionalisme seperti apa yang seharusnya kita raih untuk mengukuhkan semangat Kebangkitan Nasional ini? 

Apa yang masih relevan untuk menjadikan Kebangkitan Nasional ini memiliki makna dalam situasi dan konteks Indonesia kekinian? Merefleksikan peringatan Kebangkitan Nasional kali ini kita ditantang menafsirkan ulang makna kebangsaan kita yang makin lama makin pudar. Pudarnya makna kebangsaan kita sadari bukanlah karena dijajah secara fisik oleh bangsa lain, melainkan justru karena kita sering terjajah oleh perilaku bangsa sendiri. 

Fakta sudah kita lihat bersama-sama, rakyat terjajah oleh penguasanya. Penguasa terjajah oleh bangsa lain dalam berbagai modus dan bentuknya. Dengan kalimat lain, bangsa ini terjajah akibat ulah penguasanya yang tidak mementingkan harga diri bangsa dan hanya mengejar keuntungan pribadi dan golongan. 

Kemandirian Ekonomi Politik 

Rasanya kita sudah hampa visi untuk keluar dari krisis. Seolah kita tidak tahu apa masalah yang terjadi. Padahal faktual bahwa persoalan besar Indonesia saat ini adalah masalah kemandirian ekonomi dan politik. Kita menghadapi masalah besar bagaimana mewujudkan kemandirian bangsa ini dalam konteks global. Kita ditantang untuk mewujudkan keseimbangan di antara pertarungan hebat pasar global di satu sisi dan keharusan mempertahankan nilai-nilai bangsa ini di sisi lain. 

Pertarungan global ditandai dengan fakta kekuatan kapital global yang menggilas hampir seluruh kekuatan kebangsaan ini. Efek dari pasar global tanpa kita sadari telah menggilas sendi-sendi perekonomian masyarakat kecil. Maka itu, dalam tata global seperti itu, bagaimana kita bisa dan sanggup melakukan kontekstualisasi nilai-nilai Kebangkitan Nasional ini. 

Dengankatalain, sejauhmana esensi Kebangkitan Nasional dalam makna kontekstualnya menjadi spritualitas baru bangsa ini untuk menata kembali keadaban publik yang sudah hancur dieksploitasi oleh pemilik modal besar. Esensi Kebangkitan Nasional adalah mengembalikan kepercayaan diri bahwa bangsa ini memiliki harga diri. Perlu tumbuh kesadaran bahwa pemilik modal besar itulah yang selama ini mendikte kekuatan negara untuk menjadikan rakyat sebagai tumbal. 

Elite politik tampak membiarkan dirinya tercebur dalam pusaran arus global tanpa proteksi. Kebanggaan diri sebagai bangsa bukan lagi menjadi acuan. Orientasi hidup lebih pada upaya personal semata: memperkaya diri dengan menduduki jabatan-jabatan tertentu untuk mendapatkan akses di mana kekayaan mudah didapat. Walau dalam mulut mereka menyatakan diri sebagai reformis, sebetulnya batin mereka sebagaimana tercermin dalam tindakan- tindakannya layaknya karakter Orde Baru. 

Keberpihakan pada Rakyat 

Memberi makna Kebangkitan Nasional kali ini tentu harus bisa mewujudkan kesadaran elite politik dan para penyelenggara pemerintahan untuk memelihara esensi nasionalisme dalam wujud nyata. Berbalik dan berputar arah untuk kembali memihak rakyat. Melalui jalan itulah kemandirian bangsa ini bisa ditegakkan. Keberpihakan itu harus mewujud dalam berbagai kebijakan yang prorakyat, bukan propemodal. Orientasi pembangunan harus ditujukan untuk kesejahteraan bersama. 

Secara kontekstual hanya dengan cara itulah kita berhasil mengimplementasikan makna hakiki Kebangkitan Nasional. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarah. Memaknai Kebangkitan Nasional secara aktual dan kontekstual atas Kebangkitan Nasional harus didasarkan pada situasi kekinian Indonesia. Memberi makna yang lebih aktual dan sesuai dengan kebutuhan kebangsaan kini adalah penting bagi Indonesia yang sedang dilanda krisis multidimensi ini. 

Dengan demikianlah, bangsa ini bisa menghormati sejarah. Di sinilah makna nasionalisme patut kita renungkan. Seringkali bangsa ini dibutakan bahwa nasionalisme harus dimiliki setiap kepala dan dipraktikkan seperti chauvinisme. Pokoknya nasionalisme! Right or wrong is my country. Kita tak sadar bahwa semakin lama rakyat semakin sadar bahwa pembelaan yang membabi buta atas bangsa semakin lama semakin tak ada artinya. 

Salah satu sebabnya kekuasaanpolitikyang kerap berlaku tak adil. Sampai kini dalam realitas politik Indonesia sendiri, nasionalisme lebih dimaknai sebagai sammel begriff yakni suatu pengertian yang mencakup segala hal yang bersifat “anti”: antipenjajahan, antiasing, anti-Barat, dan sebagainya. Makna nasionalisme juga dimaksudkan sebagai keutuhan kebangsaan, tidak ada disintegrasi, dan kaum separatisme harus ditumpas. Nasionalisme seringkali dipraktikkan dengan tetesan darah. 

Semangat Baru 

Sudahsaatnyakita menyadari bahwa makna nasionalisme dulu dan kini sangatlah berbeda. Jika nasionalisme Era Kemerdekaan dahulu adalah semangat yang melandasi para pejuang untuk melawan penjajah, makna nasionalisme saat ini adalah sebuah semangat untuk memerangi kemiskinan, ketidakadilan, dan kebodohan. Memerangi kemunduran sikap hidup yang pasrah serta memerangi mentalitas korup. 

Inilah yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita dalam menghadapi globalisasi ini. Dalam situasi genting ketika hampir sebagian besar aset kita dikuasai oleh bangsa asing, berapa banyak dari para elite yang masih sanggup berteriak nasionalisme? Ketika rakyat mengalami kelaparan di tengah sumber daya alamnya yang berlimpah, apa yang sedang para elite pikirkan? 

Nilai-nilai kebangsaan akan hidup bila ia menjadi bagian cara hidup para pemimpin dan elite bangsa ini untuk berkeutamaan dalam kehidupan mereka. Dalam konteks inilah bangsa ini harus bangkit untuk merumuskan hidup baru, habitus baru, keadaban baru, memerangi korupsi, memerangi kejahatan lingkungan, dan menatap masa depan secara optimistik.