Senin, 17 Maret 2014

Perkebunan Sawit (Tidak) Berkelanjutan

Perkebunan Sawit (Tidak) Berkelanjutan

Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara, Penulis Buku ”Minyak Kelapa Sawit: Teknologi dan Manfaatnya untuk Pangan Nutrasetikal”
KORAN SINDO,  16 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                                                                             
Masalah kabut asap akibat pembakaran hutan di Riau sangat kontras dengan tema Konferensi Internasional Minyak Sawit dan Lingkungan atau International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) ke-4 yang digelar di Badung, Bali pada 12 hingga 14 Februari 2014.

Tema yang diangkat pada konferensi ini ialah ”Budi Daya Kelapa Sawit: Menjadi Model untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Masa Depan”. Pemilihan tema ini sangat relevan ketika negara-negara maju kian kerap menyudutkan minyak sawit Indonesia lewat kampanye hitam. Pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia yang sangat pesat telah mengancam pasar minyak nabati lainnya produk negara-negara maju.

Hingga 2013, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai 9,2 juta hektare, terbesar di dunia. Indonesia pun mampu menggenjot produksi 26 juta ton minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Sebanyak 21,2 juta ton CPO diekspor, naik dari 15,6 juta ton oada 2012. Hal ini membuat produsen minyak nabati nonsawit mulai galau dan mencoba menyudutkan citra minyak sawit.

Seiring dengan itu, perkebunan kelapa sawit di Indonesia dituduh telah merusak lingkungan hidup. Sekitar 70% perkebunan kelapa sawit dibangun dari lahan hutan alam dan 30% dari lahan gambut. Pembukaan lahan ini kerap menggunakan cara-cara lama, yakni dengan pembakaran lahan dan hutan. Tingkat deforestasi ini sudah mengkhawatirkan masyarakat internasional karena mendorong proses pemanasan global dan memicu perubahan iklim global.

Tulang Punggung

Kini Indonesia mengandalkan CPO sebagai salah satu tulang punggung ekspor untuk sumber devisa. Sejak 2007, CPO menjadi komoditas ekspor unggulan karena lebih murah dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, seperti kedelai, bunga matahari, dan kanola di pasar internasional. Dari 25,7 juta ton CPO yang diproduksi pada 2012, 15,6 juta ton diekspor sehingga menghasilkan devisa sebesar Rp252 triliun dan bea keluar sedikitnya Rp50 triliun.

Namun, krisis global membuat permintaan melemah, termasuk dari China dan India, yang merupakan dua pasar tradisional ekspor CPO Indonesia. Di masa datang, Eropa merupakan pasar potensial yang harus ditembus ekspor minyak sawit Indonesia. Meskipun tantangannya tidak ringan, ada peluang yang sangat besar. Total penduduk yang mencapai 500 juta jiwa, ekonomi yang kuat dan tingginya penghasilan masyarakatnya, merupakan peluang masuknya produk CPO di Eropa. Tantangannya adalah kampanye negatif yang datang silih berganti.

Mulai isu lingkungan, tuduhan melalukan dumping, hingga rendahnya kesejahteraan buruh kebun. Penguatan kampanye positif untuk memperluas ekspor minyak sawit mentah patut dimulai diplomasinya secara baik. Perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia harus didorong untuk memperoleh sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil ( ISPO) sebagai komitmen pengusahakelapaIndonesia yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan.

Sekadar mengingatkan, telah dua kali kita gagal memperjuangkan masuknya produk kelapa sawit dalam daftar produk ramah lingkungan (environmental goods list/ EG List). Kegagalan pertama terjadi saat KTT APEC 2012 di Vladivostok, Rusia. Produk CPO Indonesia dinilai belum memenuhi ambang batas maksimum pengurangan emisi gas rumah kaca. Kegagalan kedua adalah pada saat menjadi tuan rumah KTT APEC 2013 pada 1–8 Oktober 2013, di Nusa Dua, Bali.

Memasukkan produk sawit dalam daftar EG List saat kita menjadi tuan rumah KTT APEC 2013, di Nusa Dua, Bali ditolak. Forum KTT APEC 2013 belum bisa menyepakati masuknya produk sawit dalam 54 EG List. Forum hanya berjanji melonggarkan pintu masuk CPO asal Indonesia. Tidak lolosnya produk kelapa sawit asal Indonesia menandai diplomasi pemerintah Indonesia masih kerap kedodoran.

Pasar Eropa terus membatasi produk kelapa sawit dan turunannya baik dengan cara menggunakan hambatan tarif maupun nontarif. Produk kelapa sawit dari Indonesia acap dikaitkan dengan masalah deforestasi dan pembakaran hutan. Bahkan saat berlangsung konferensi RSPO di Medan barubaru ini, muncul isu sertifikasi menjadi tiket bagi pengusaha kelapa sawit di Indonesia untuk menggunduli hutan.

Seperti saat ini, asap dari pembakaran hutan yang melanda wilayah Riau menjadi bukti konkret. Kalangan LSM menyoroti soal pembukaan lahan dengan jalan pembakaran hutan dianggap mengancam hidup dan kehidupan penduduk dan satwa-satwa di sekitar hutan. Di sisi lain, masyarakat Eropa meyakini mengonsumsi minyak sawit tidak sehat bagi tubuh. Minyak sawit dituduh sarat asam lemak jenuh yang sangat potensial menyumbat pembuluh darah yang mengakibatkan penyakit jantung.

Tuduhan ini sama sekali tidak benar dan harus diluruskan melalui diplomasi minyak kelapa sawit yang melibatkan kalangan akademisi. Pemerintah harus selalu aktif menjelaskan dan menjawab berbagai kampanye negatif tersebut. Namun jika kampanye negatif itu tetap dilanjutkan dan citra minyak sawit Indonesia terus dirugikan, langkah terbaik adalah membawanya ke ranah hukum lewat WTO atau forum APEC.

Patut diduga, penentangan yang dilakukan sejumlah kalangan di Eropa dan negara-negara maju lainnya, karena mereka tidak ingin kelapa sawit Indonesia menjadi saingan bagi produk-produk minyak nabati yang sudah duluan mereka kenal. Persoalannya sekarang apa upaya yang hendak dilakukan agar produk kelapa sawit Indonesia bisa diterima pasar Eropa? Langkah-langkah strategis perlu terus dilakukan, baik dalam hal proses produksinya, infrastruktur maupun pelestarian lingkungan. Perlu diupayakan agar semua perkebunan dan pabrik mempunyai standar operasional prosedur (SOP) yang mampu meluruskan dan menjawab berbagai kampanye hitam itu.

Ditata Kembali

Pemerintah harus mengupayakan agar produk minyak sawit mentah Indonesia dapat diterima di pasar Eropa. Atmosfer politik pertanian yang carut-marut yang memosisikan Indonesia kesulitan menghadapi perdagangan global yang kian liberal harus ditata kembali.

Hasil Konferensi Internasional Minyak Sawit dan Lingkungan ke-4 dijadikan sebagai mesin pendorong untuk fokus menghadapi kampanye negatif karena seluruh negara di Eropa menjadi tujuan ekspor CPO terbesar kedua setelah India. Patut disadari bahwa kampanye negatif minyak kelapa sawit tak cukup hanya dilawan dengan mengatakan itu bagian dari persaingan bisnis minyak nabati.

Citra positif perkebunan sawit harus dibangun kembali secara baik. Pendekatan sistematik melalui Pedoman Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) yang sudah diluncurkan sejak Maret 2011 perlu dukungan semua stakeholder. Tim diplomasi sawit Indonesia harus dapat menjelaskan ISPO lewat pembuktian secara ilmiahbahwaperkebunankelapa sawit tidak merusak lingkungan.

Dengan standar ISPO diharapkan Indonesia menunjukkan komitmen baru dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan dengan menjaga kelestarian sumber daya hutan sesuai tuntutan masyarakat global. Karena itu, mewujudkan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan menjadi tantangan tersendiri. Masa depan industri kelapa sawit harus diarahkan menjadi sebuah model pembangunan pertanian lestari yang hijau, sustainable, dan mampu mendorong kesejahteraan petani.

Pengelolaan perkebunan kelapa sawit menuntut perubahan perilaku dan pola konsumsi yang berbasis ekonomi kapitalistik menjadi ekonomi hijau yang proenvironment guna mengurangi kemiskinan secara bermakna di tengah warga. Satu hal yang kerap dilupakan saat melawan kampanye negatif adalah agroindustri berbasis kelapa sawit ini baru bisa membesarkan kalangan pemodal besar dan sejumlah kecil petani mandiri.

Masih banyak petani dan buruh kelapa sawit yang masih miskin karena belum terangkat kesejahteraannya. Mereka hanya sekadar bagian dari sistem pendorong peningkatan nilai ekspor CPO, tetapi belum ikut menikmati madu keuntungan komoditas emas hijau ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar