Perumahan untuk Rakyat MiskinIvan Hadar ; Direktur Eksekutif Indonesian IDE (Institute for Democracy Education), Koordinator Nasional Target MDGs 2007-2010 |
MEDIA INDONESIA, 18 Maret 2014
“Beberapa pelajaran dari mancanegara kiranya bermanfaat sebagai masukan dalam upaya mencari sistem perumahan sosial yang sesuai dengan kondisi kita saat ini.” SEBAGAI penanda tangan kesepakatan global tentang pencapaian Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), Indonesia memiliki waktu sekitar enam tahun untuk membuktikan komitmennya. Dalam target ke-7 MDGs, tertera tujuan mencapai perbaikan berarti dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada 2020. Saat ini, menurut data resmi, jumlah kebutuhan perumahan di Indonesia telah mencapai 7-8 juta unit dan akan bertambah sekitar 1,4 juta unit per tahun, sebuah angka yang sangat besar, meski sebenarnya belum sepenuhnya menggambarkan kondisi yang ada, karena tidak mempertimbangkan sekian juta keluarga yang meski tercatat memiliki tempat tinggal, tetapi kondisi perumahan mereka tidak memenuhi standar kelayakan. Mudah diduga bahwa mayoritas yang membutuhkan tempat tinggal tersebut ialah mereka yang berpenghasilan pas-pasan dan karena itu, pemenuhan kebutuhannya memerlukan uluran tangan pemerintah. Sebuah fenomena yang patut dicermati di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir ialah kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak serta-merta membawa perbaikan pada sistem penyediaan perumahan bagi mayoritas masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya. Di kota-kota yang ekonominya berkembang pesat seperti Jakarta dan Surabaya, kondisi perumahan bagi mayoritas masyarakat semakin memburuk. Harga rumah bagi mereka yang berpenghasilan tetap sekalipun semakin tidak terjangkau. Semua itu merupakan indikasi terjadinya krisis perumahan yang melanda Indonesia, khususnya di daerah perkotaan, sejak beberapa dekade terakhir. Ragam tawaran solusi Sebenarnya, konstitusi negeri ini dengan tegas menyatakan `Negara berkewajiban membantu mengadakan rumah yang layak bagi rakyat Indonesia' (UUD '45, Pasal 48 H). Begitu pula UU No 25/2000 tentang Propenas dan UU Bangunan Gedung 2003 (Pasal 43 ayat 4) yang mewajibkan pemerintah daerah `member dayakan masyarakat miskin yang belum memiliki akses pada rumah'. Semua arahan konstitusional tersebut bertujuan memberikan aksesibilitas rumah bagi rakyat Indonesia, terutama bagi kelompok lemah ekonomi. Secara teknis, teori tentang krisis perumahan dan solusinya bisa dibagi dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama melihat masalah perumahan sebagai `persoalan modal/penghasilan', sementara kelompok kedua menganggapnya sebagai `persoalan kebersihan/kesehatan/keteraturan'. Bagi kelompok pertama, krisis perumahan identik dengan `persoalan lahan'. Harga rumah yang tidak terjangkau oleh mayoritas masyarakat diyakini akibat tingginya harga lahan yang disebabkan pemilikan yang tidak produktif, spekulasi lahan serta bangunan, dan pengendalian stok rumah dan kaveling oleh segelintir. Teori itu memang berhasil `menelanjangi' berbagai perilaku melenceng para pengembang perumahan. Kritik terhadap spekulasi lahan dan properti itu banyak didukung para pemikir progresif, perencana, dan politikus kota yang, di beberapa negara, berhasil memicu gerakan reformasi perumahan. Meski demikian, solusi yang dita warkan `sekadar' berangkat dari aspek keuangan, seperti kurangnya dana bagi pembangunan rumah sederhana, tingginya bunga kredit perumahan, maraknya manipulasi hipotek yang diberikan untuk pelelangan lahan secara spekulatif serta rendahnya penghasilan. Tiga bentuk solusi ditawarkan kelompok ini. Pertama, berangkat dari asumsi harga beli dan sewa rumah yang tinggi sehingga harus dicari strategi pengadaan rumah murah yang kecil dan sederhana. Kedua, berangkat dari asumsi tak terjangkaunya harga sewa dan beli rumah karena masyarakat itu miskin. Karena itu, pendapatan masyarakat harus ditingkatkan. Ketiga, perlunya insentif keuntungan bagi pengusaha yang membangun rumah sederhana. Sementara itu, teori yang diusung kelompok kedua mereduksi masalah perumah an menjadi sekadar `persoalan renovasi/peremajaan kampung', `persoalan budaya, khususnya budaya kemiskinan', serta `persoalan kurangnya pengawasan negara dengan akibat mekarnya perumahan kumuh'. Berbagai asumsi tersebut mewarnai sejarah panjang kebijakan perumahan di mancanegara, termasuk di Indonesia. Dari segi ekonomi-politik, solusi masalah perumahan ditawarkan oleh dua kubu besar, yaitu kubu yang menganjurkan `permainan bebas kekuatan-kekuatan pasar ' dan kubu yang menganjurkan intervensi negara berupa subsidi bagi kelompok lemah. Pengalaman selama ini juga yang bisa dipelajari dari mancanegara menunjuk pada dua hal berikut. Pertama, tuntutan `permainan bebas kekuatan-kekuatan pasar' seperti strategi pemerintah Orde Baru yang menjadikan segelintir pengembang raksasa sebagai motor pembangunan perumahan telah memperparah krisis perumahan. Pelajaran kedua, tanpa kontrol yang ketat, intervensi pemerintah lewat subsidi akan mempermarak korupsi. Krisis perumahan dan kegagalan solusi yang ditawarkan dari dua kubu tersebut, di beberapa negara Eropa, telah `memaksa' pemerintah untuk kembali ke resep lama, yaitu menciptakan semacam balance di antara para stakeholder, yaitu pemerintah, investor swasta, dan end user, khususnya kelompok yang harus dibantu. Sebuah sistem subsidi perumahan yang diatur dalam perundang-undangan diupayakan agar mampu menyuarakan aspirasi berbagai kelompok kepentingan tadi secara lebih adil. Kenyataannya langkah itu tidak sepenuhnya menyelesaikan kelangkaan persediaan rumah, tetapi berhasil menumbuhkan kembali consensus dalam masyarakat dan antara masyarakat dan pemerintah dalam upaya mencari penyelesaian. Pelajaran dari mancanegara Beberapa pelajaran dari mancanegara kiranya bermanfaat sebagai masukan dalam upaya mencari sistem perumahan sosial yang sesuai dengan kondisi kita saat ini. Singapura ialah contoh dominannya peran pemerintah dalam upayanya mengatasi masalah perumahan. Negeri pulau itu membentuk Housing Development Board (HDB) yang memiliki akses penguasaan tanah murah yang didukung pemerintah serta mengontrol 65% suplai rumah, yaitu pangsa pasar perumahan menegah bawah. HDB dinilai sukses dalam membangun rumah dan disewakan kepada masyarakat dari strata sosial tersebut. Singapura juga memiliki Central Providence Fund (CPF), yakni dana yang dihimpun dari masyarakat dengan cara memotong gaji pekerja dan karyawan untuk pembangunan perumahan. Bagi Indonesia, lahan tidur yang disita dari pengembang besar bermasalah kiranya bisa menjadi pertimbangan untuk dialihkan peruntukannya bagi perumahan menengah bawah yang banyak menghadapi kendala akibat tingginya harga lahan perkotaan. Sementara itu, Taperum (Tabungan Perumahan) bisa dikembangkan untuk memperoleh cakupan yang lebih luas. Jerman, sebagai contoh lain, memberikan insentif pajak, kredit murah, dan sejenisnya kepada para pengembang yang membangun perumahan bagi masyarakat menengah bawah. Meski tingkat keuntungan relatif kecil, tingkat kepastian memperoleh keuntungan nyaris 100%. Tak mengherankan bahwa lebih dari 60% perumahan di Jerman dibangun pengembang jenis itu. Mereka yang menginginkan keuntungan lebih harus mengikuti aturan pasar yang berisiko. Dari semua paparan tersebut, sebenarnya banyak peluang untuk menyelesaikan krisis perumahan di Tanah Air. Kemauan politik pemerintah dan kemauan semua pihak dalam mencari keseimbangan di antara berbagai kepentingan pelaku perumahan ialah dua persyaratan utama yang harus dipenuhi. Selebihnya ialah masalah teknis. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar