Rabu, 19 Maret 2014

Ramai-Ramai Cuti Pejabat

Ramai-Ramai Cuti Pejabat

Paulus Mujiran  ;   Pemerhati Politik
MEDIA INDONESIA,  18 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                                                                             
JELANG Pemilu Legislatif 9 April 2014 ramai-ramai pejabat negara mengambil cuti untuk kampanye. Tak tanggung-tanggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mengambil cuti pada 17 dan 18 Maret 2014 untuk berkampanye ke Magelang, Bantul, dan Jawa Timur untuk mendongkrak suara Partai Demokrat. Dalam kampanye ke Jawa Timur, SBY dijadwalkan mengunjungi Blitar dan Tulungagung. SBY sepertinya khawatir di daerah kelahiran Anas Urbaningrum itu perolehan suaranya jeblok. Pimpinan cuti, anak buah pun ramai-ramai mengajukan cuti. Sejumlah menteri yang berasal dari partai politik juga mengajukan cuti.

Lihatlah sederet pejabat dari parpol mengajukan cuti. Dari Partai Demokrat terdapat Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Syariefuddin Hasan, Menteri Perhubungan EE Mangindaan, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik. Dari Partai Golkar Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Di Partai Amanat Nasional Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Di Partai Keadilan Sejahtera Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dan Menteri Pertanian Suswono. Dari Partai Persatuan Pembangunan Menteri Agama Suryadharma Ali. Sementara itu, jumlah kepala daerah yang mengajukan cuti ke Kementerian Dalam Negeri lebih banyak, Irwan Prayitno (Sumatra Barat), Alex Noerdin (Sumatra Selatan), Ahmad Heryawan (Jawa Barat), Soekarwo (Jawa Timur), Ganjar Pranowo (Jawa Tengah), Frans Lebu Raya (NTT), Cornelis (Kalbar), Rudi Arifin (Kalsel), Longki Djanggola (Sulawesi Tengah), dan Anwar Adnan Saleh (Sulawesi Barat).

Hampir semua menteri dari partai politik mengambil cuti kampanye karena mereka mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Pejabat negara yang mengambil cuti untuk kampanye memunculkan penilaian berbeda di kalangan masyarakat. Secara normatif memang tidak ada aturan yang dilanggar. Namun, cuti kampanye yang diambil pejabat negara sangat bertentangan dengan norma dan etika karena saat menjabat, mereka bukan lagi milik partai tertentu, melainkan seluruh masyarakat.

Cuti pejabat negara bukan persoalan lazim dan tidak lazim, melainkan urusan kepantasan. Sebagai pejabat publik, mereka tidak hanya mewakili partai, tetapi masyarakat. Para pejabat negara yang mengambil cuti sudah melupakan janji mereka pada waktu sumpah jabatan. Hal itu mencerminkan mereka lebih mementingkan partai, pribadi, dan kelompok mereka. Dalam UU No 8/2012 dan PP 18/2013 ditetapkan, pejabat publik hanya boleh berkampanye pada Sabtu dan Minggu agar tidak mengganggu pelayanan publik.

Status sebagai pejabat negara tidak mengenal libur. Begitu pun kepentingan publik juga tidak mengenal libur. Mestinya para pejabat publik itu mengedepankan kepentingan masyarakat, bukan justru mengutamakan kepentingan partainya. Ketika seorang dilantik dalam jabatan publik, ia mestinya mengorbankan kepentingan partai, termasuk kesempatan berkampanye. Apakah tidak cukup mengampanyekan kinerja mereka kepada publik? Jika mereka bekerja baik, ti dak berkampanye pun pasti didukung. Partai sudah `mewakafkan' kader bersangkutan sehingga mestinya tidak lagi direcoki untuk kepentingan kampanye.

Jack Synder dalam buku Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (2003) mengatakan pada etika publik melekat tanggung jawab sosial dan moral pelayan publik. Hal itu ditunjang karakter pribadi, kematangan emosional, dan jiwa kepemimpinan. Pejabat yang mengabaikan etika kerap memicu konflik sebab menjadikan masyarakat terbelah antara mendukung dan tidak mendukung. Pertarungan kekuatan itu menyebabkan lemahnya komitmen yang menggerogoti pelayanan publik.

Sementara itu, Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan (2003) menjelaskan pada etika pejabat publik melekat tanggung jawab moral yang menyadarkan pentingnya menumbuhkan budaya politik yang santun. Budaya politik semacam itu dimaksudkan membangun kondisi politik yang manusiawi, bukan penindasan, kekeras an, dan korupsi. Yang lahir kemudian ialah paradoks. Ketika rakyat prihatin terhadap kinerja pejabat dan wakil mereka, maraknya korupsi, kemiskinan di mana-mana, para pejabat publik justru sibuk dengan urusan partai dan kemenangan partai.

Etika politik mengandung aspek individual dan sosial. Etika secara individual mengatur kualitas moral politikus, etika sosial karena merefleksikan masalah norma hukum, tatanan sosial, dan institusi yang adil. Karena itu, etika politik memiliki tiga dimensi, pertama tujuan politik, kedua menyangkut pilihan sarana, dan ketiga berhadapan dengan aksi politik. Yang terakhir berhubungan langsung dengan perilaku politikus.

Lebih jauh Frans Magnis Suseno (2001) mengatakan pejabat negara terbiasa oleh cara berpikir monokausal. Permasalahan dilihat hanya dari satu sebab langsung tanpa mempertimbangkan berbagai dimensinya, termasuk dalam mengambil cuti. Karena tak ada aturan yang dilanggar, mereka merasa benar, tak peduli etika sebagai pejabat. Kebiasaan menghadapi masalah dengan pendekatan monokausal itu merupakan pendangkalan dan pemiskinan politik. Itu merupakan anak kandung pragmatism yang mewarnai mentalitas dan cara berpikir pendek produk dari sistem pendidikan instan dengan hasil segera.

Para pejabat yang mengambil cuti kampanye mestinya tidak hanya berlindung pada aturan legal formal. Mengutamakan partai dalam kampanye berarti mereka mengesampingkan moral dan sosial jabatan. Memang ada aturan yang dibuat DPR berupa undang-undang, peraturan pemerintah, dan instruksi presiden. Namun, bukankah para pembuat aturan-aturan itu juga orang-orang dengan latar belakang partai politik untuk menguntungkan mereka sendiri? Yang perlu diwaspadai jangan sampai kampanye para pejabat negara itu menggunakan fasilitas negara yang dibiayai dengan uang rakyat.

Yang kita harapkan sekarang para pejabat negara mestinya memantulkan keteladanan yang bersumber dari politik etis. Ketika yang terpotret ke permukaan ialah hasrat mencari kekuasaan belaka, itu mencerminkan kenegarawanan yang belum usai. Ketidakmatangan politisi yang duduk dalam jabatanjabatan publik semacam itu memang mengkhawatirkan. Mereka bukan berjuang untuk bangsa dan negara sampai titik darah penghabisan. Mereka ialah pejuang partai untuk meraih pragmatisme kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar