Minggu, 23 Maret 2014

Rapuh

Rapuh

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  23 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Seorang anak memohon kepada ibunya untuk diizinkan pergi ke pesta yang diselenggarakan teman dekatnya. Wajahnya merengut seperti putus asa karena ia menduga bahwa izinnya tak akan diberikan.

Tapi di luar dugaan, ia diizinkan untuk pergi. Dengan kegirangan ia memeluk sang ibu dan berkata. ”Thank you. You are the best mom in the whole world,” kata gadis kecil itu.

”Yes”
Kejadian di dalam film itu kemudian seperti sebuah setrum yang menyindir saya. Setelah berusia separuh abad lebih satu tahun ini, perilaku saya terhadap Tuhan dan sesama manusia itu tak ada bedanya dengan gadis kecil itu.

Kalau doa saya dijawab sesuai dengan permohonan, maka seperti gadis kecil itu saya akan memuji Sang Pencipta, dan akan saya ceritakan kepada sejuta umat yang saya temui, bahwa Tuhan itu baik, pokoknya hidup itu harus bergantung pada Sang Kuasa.

Dengan kondisi macam itu, saya cukup dikenal sebagai ’motivator’ bagi beberapa orang. Kadang pujian itu datang dalam bentuk kalimat yang mereka tulis dalam sosial media. Contohnya begini. ”Setiap kali bertemu Mas Sam pasti ada saja yang membuka hati dan menyemangati. Thank you Mas buat sharing-nya.”

Dengan sesama manusia itu pun demikian. Kalau kliennya baik, tidak bawel, tidak plin plan, saya akan senang sekali. Apalagi kalau proposalnya disetujui, wah Anda tak bisa membayangkannya.

Saya akan memuji-muji mereka yang menyetujui proposal itu dan saya akan menjadi baik sekali dengan mereka dan bisa jadi saya akan berucap: ”Thank you, you are the best client in the entire world.”

Dengan sesama manusia bernama teman, ceritanya juga tak berbeda. Kalau saya bisa dijemput dan diantar pulang, kalau saya dihadiahi sesuatu di saat ulang tahun, kalau teman saya mau memenuhi apa yang saya kehendaki, apalagi kalau saya lagi sedih dan mereka bisa menyediakan waktu untuk saya, dan membatalkan janji mereka dengan orang lain, maka saya juga akan seperti gadis kecil itu dan berucap dengan lantang. ”You are the best friend in the whole world.”

Saat saya menyaksikan tayangan film itu, saya sempat berucap, kalau seandainya sang ibu tak mengizinkan, saya yakini skripnya akan menjadi berbeda. Dan, saya yakini sang gadis kecil akan ngambek dan mengatakan kepada ibunya kalau ia adalah ibu terjahat yang pernah ada di seantero dunia ini.

”No”
Belakangan saya sedang kesal dengan seorang teman yang mengancam dengan halusnya untuk menodong saya menyediakan dana. Awalnya, ia tak mengatakan kalau kerja sama itu akan melibatkan uang. Maka teman saya bilang begini. ”Sudahlah kasih aja. Kamu kan gak kekurangan.”

Di saat yang bersamaan, saya juga kesal dengan salah satu klien saya. Bekerja di sebuah institusi besar, arogansi kekuasaan itu acapkali digunakan untuk menindas. Saya katakan kepada rekan usaha saya untuk berbicara empat mata dan menyelesaikannya secara profesional.

Teman saya bilang begini. ”Gue kesel juga sih tapi kita mesti ingat hubungan bisnis kita di masa depan.” Kemudian saya bilang begini kepada teman saya. ”Kadang gigi kita itu perlu ditunjukkan. Kita tak perlu takut kalau mereka menganggap kita itu gak baik. Itu problem mereka bukan problem kita. Kita tak perlu takut untuk tidak mendapat predikat perusahaan atau manusia tersabar di jagat raya ini. Musuh itu kadang diperlukan untuk menyehatkan usaha kita.”

Memberikan izin atas sebuah kehendak itu sah-sah saja, tetapi kalau dilakukan terlalu sering, akan membuat seseorang menjadi penguasa, dan di saat yang bersamaan akan mengubahnya menjadi penguasa yang rapuh. Karena begitu mereka mendapat penolakan, mereka akan segera menganggap kita adalah manusia terjahat yang pernah ada di dunia ini.

Saya kok yakin, kalau seandainya saya menolak memberikan sejumlah dana kepada teman saya itu, ia akan kesal sekali dan mengatakan bahwa saya itu tak punya hati apalagi untuk sebuah kegiatan sosial.

Ia kesal karena penolakan, tetapi ia lupa bahwa ia mengancam saya dengan halus. Nah kalau saya kesal karena merasa terancam, apakah mereka yang rapuh mau peduli dengan kekesalan saya? Manusia yang rapuh itu tak mudah berpikir dengan kepala dingin dan akan mudah sekali tersinggung.

Maka setelah kesetrum di siang itu, saya pikir saya harus berniat baik membuat teman dan atau klien untuk tidak berubah menjadi penguasa yang rakus dan rapuh. Adalah kesalahan saya kalau setiap saat saya memenuhi kehendak mereka.

Dan untuk saya sendiri, saya juga akan berusaha agar tak menjelma menjadi gadis kecil itu, terutama kalau Sang Kuasa memberi jawaban tidak atas doa yang saya panjatkan. Saya harus bisa mengatakan, Tuhan itu baik di saat menerima pengabulan sebuah permohonan, tetapi juga saat menerima penolakan.

Karena acapkali penolakan itu menyehatkan jiwa seseorang. Agar saya tidak rapuh, agar saya tidak mengancam dengan halus, agar saya tidak arogan, agar saya tidak mudah mengatakan betapa jahatnya dia, dan tak mudah mengatakan oh...you are the best bla-bla-bla in the whole world, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar