Minggu, 23 Maret 2014

Ruang dan Waktu

Ruang dan Waktu

Bre Redana  ;   Penulis Kolom “Catatan Minggu” di Kompas
KOMPAS,  23 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Kita perlu menyelaraskan diri dengan ruang dan waktu kita sendiri dalam ingar-bingar keadaan penuh janji, tipu daya, manipulasi, penipuan, dan kekerasan. Megaretorik dan janji politik membuat banyak orang muak, lalu sebagian memilih menjadi golput alias golongan pemburu uang tunai. Kekerasan meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya, dilakukan dari anak-anak, remaja baik lelaki maupun perempuan, sampai individu-individu dari korps maupun kelompok tertentu. Pemegang senjata menjadi predator berbahaya.

Transformasi dari dunia konkret berdarah-daging menjadi dunia image, citra, atau sebutlah dunia kenyataan gadungan, dipastikan memiliki sumbangan terhadap guncangan yang terjadi pada jagat besar maupun jagat kecil manusia. Unsur-unsur serupa empati, tepa selira, rasa sungkan, malu, dan semacamnya, bisakah berkembang ketika hubungan sosial antarmanusia dimediasi oleh citra?

Ada yang tak bisa dihindarkan: kenyataan gadungan mengubah masyarakat menjadi masyarakat tontonan, the society of the spectacle. Kalau ditarik dalam kesadaran bermasyarakat atau berbangsa, dulu imaji atau gagasan kebersamaan dibangun berdasar teks. Teks telah membuat orang di Jawa misalnya, merasa menjadi bagian atau bersaudara dengan orang dari ujung paling timur dan barat Nusantara. Benedict Anderson menyebutnya imagined communities.

Kini kapitalisme media elektronik mengubah semuanya. Anda melihat politikus bicara berapi-api di mimbar. Mengobral janji, dan melupakan utang, pernah menumpahkan bencana pada rakyat. Dari bencana kemiskinan karena korupsi mereka, bencana alam karena kelalaian, sampai warisan trauma yang disebabkan kebengisan mereka di masa lalu.

Citra menghilangkan memori. Mengubahnya menjadi nostalgia: semua serba indah, termasuk sebuah era yang gombal. Konteks konkret juga hilang. Misalnya, ini Anda perlu tahu, dalam rombongan politikus biasa terdapat groupies, terdiri dari cewek-cewek yang tak jelas kerjanya. Jangan-jangan, mereka itulah instrumen pencuci uang kalau sang politikus ini nanti berkuasa? Bukan nasib sampeyan...

Itulah hakikat masyarakat tontonan. Yang kita lihat sebenarnya bukan sekadar kenyataan yang terdistorsi, melainkan suatu hubungan sosial yang termediasi oleh citra. Kalau memakai istilah para pengajar filsafat, weltanschauung, sebuah pandangan dunia atau kesadaran yang telah dijelmakan menjadi realitas konkret.

Dunia citra, kenyataan gadungan, dianggap nyata. Untuk melengkapi kesahihan dunia gadungan yang telah menjelma menjadi dunia nyata tadi kemudian diselenggarakan survei. Itulah fungsi lembaga survei. Membuat bayang-bayang menjadi nyata.

Hasil survei adalah angka, dan angka–lagi-lagi bukan dimensi manusia berdarah daging–dianggap segala-galanya. Angka-angka itu, nantinya akan dibaca, diinterpretasi, diwacanakan, oleh para cerdik pandai baik di media elektronik maupun cetak.

Cara membaca angka-angka begini contohnya: taruhlah ada survei mengenai harapan hidup atau umur masyarakat. Survei dilakukan di desa terpencil dan miskin. Survei mendapati, masyarakat di situ berusia lebih panjang daripada masyarakat perkotaan, yang pada usia muda banyak yang terserang jantung, darah tinggi, dan lain-lain.

Maka ahli di televisi yang seperti paling pinter sedunia dengan penuh semangat berkata: kekayaan dan konsumsi ternyata bukan segala-galanya. Di desa yang m

Ruang dan Waktu

Bre Redana  ;   Penulis Kolom “Catatan Minggu” di Kompas
KOMPAS,  23 Maret 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Kita perlu menyelaraskan diri dengan ruang dan waktu kita sendiri dalam ingar-bingar keadaan penuh janji, tipu daya, manipulasi, penipuan, dan kekerasan. Megaretorik dan janji politik membuat banyak orang muak, lalu sebagian memilih menjadi golput alias golongan pemburu uang tunai. Kekerasan meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya, dilakukan dari anak-anak, remaja baik lelaki maupun perempuan, sampai individu-individu dari korps maupun kelompok tertentu. Pemegang senjata menjadi predator berbahaya.

Transformasi dari dunia konkret berdarah-daging menjadi dunia image, citra, atau sebutlah dunia kenyataan gadungan, dipastikan memiliki sumbangan terhadap guncangan yang terjadi pada jagat besar maupun jagat kecil manusia. Unsur-unsur serupa empati, tepa selira, rasa sungkan, malu, dan semacamnya, bisakah berkembang ketika hubungan sosial antarmanusia dimediasi oleh citra?

Ada yang tak bisa dihindarkan: kenyataan gadungan mengubah masyarakat menjadi masyarakat tontonan, the society of the spectacle. Kalau ditarik dalam kesadaran bermasyarakat atau berbangsa, dulu imaji atau gagasan kebersamaan dibangun berdasar teks. Teks telah membuat orang di Jawa misalnya, merasa menjadi bagian atau bersaudara dengan orang dari ujung paling timur dan barat Nusantara. Benedict Anderson menyebutnya imagined communities.

Kini kapitalisme media elektronik mengubah semuanya. Anda melihat politikus bicara berapi-api di mimbar. Mengobral janji, dan melupakan utang, pernah menumpahkan bencana pada rakyat. Dari bencana kemiskinan karena korupsi mereka, bencana alam karena kelalaian, sampai warisan trauma yang disebabkan kebengisan mereka di masa lalu.

Citra menghilangkan memori. Mengubahnya menjadi nostalgia: semua serba indah, termasuk sebuah era yang gombal. Konteks konkret juga hilang. Misalnya, ini Anda perlu tahu, dalam rombongan politikus biasa terdapat groupies, terdiri dari cewek-cewek yang tak jelas kerjanya. Jangan-jangan, mereka itulah instrumen pencuci uang kalau sang politikus ini nanti berkuasa? Bukan nasib sampeyan...

Itulah hakikat masyarakat tontonan. Yang kita lihat sebenarnya bukan sekadar kenyataan yang terdistorsi, melainkan suatu hubungan sosial yang termediasi oleh citra. Kalau memakai istilah para pengajar filsafat, weltanschauung, sebuah pandangan dunia atau kesadaran yang telah dijelmakan menjadi realitas konkret.

Dunia citra, kenyataan gadungan, dianggap nyata. Untuk melengkapi kesahihan dunia gadungan yang telah menjelma menjadi dunia nyata tadi kemudian diselenggarakan survei. Itulah fungsi lembaga survei. Membuat bayang-bayang menjadi nyata.

Hasil survei adalah angka, dan angka–lagi-lagi bukan dimensi manusia berdarah daging–dianggap segala-galanya. Angka-angka itu, nantinya akan dibaca, diinterpretasi, diwacanakan, oleh para cerdik pandai baik di media elektronik maupun cetak.

Cara membaca angka-angka begini contohnya: taruhlah ada survei mengenai harapan hidup atau umur masyarakat. Survei dilakukan di desa terpencil dan miskin. Survei mendapati, masyarakat di situ berusia lebih panjang daripada masyarakat perkotaan, yang pada usia muda banyak yang terserang jantung, darah tinggi, dan lain-lain.

Maka ahli di televisi yang seperti paling pinter sedunia dengan penuh semangat berkata: kekayaan dan konsumsi ternyata bukan segala-galanya. Di desa yang miskin, damai, jauh dari polusi, orang bisa berumur panjang. Pewawancara, umumnya dengan kecerdasan semadyanya, senyum-senyum puas menerima jawaban yang dia kira paling genius.

Sekarang andaikata survei di desa yang sama, hasilnya adalah masyarakat di situ berusia lebih pendek daripada masyarakat perkotaan. Maka pengamat akan bilang: di desa miskin, masyarakat menjadi kurang gizi, tidak mendapat layanan kesehatan memadai, makanya cepat mati.

Lhah?

Dalam dunia yang jauh dari kasunyatan, kata-kata tumpah ruah tanpa isi, tanpa makna. Ruang dan waktu di sekeliling kita sedang berubah. Kita perlu menyelaraskan diri dengan ruang dan waktu kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar