Sabtu, 22 Maret 2014

Sanksi Pelanggaran Cuti Kampanye

Sanksi Pelanggaran Cuti Kampanye

Awaludin Marwan  ;   Dosen Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro,
Peneliti dari Satjipto Rahardjo Institute
SUARA MERDEKA,  22 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
SANKSI atas pelanggaran regulasi yang mengatur cuti kampanye, bukanlah persoalan serius bagi pejabat negara. Pasalnya, sanksi yang diterapkan hanyalah teguran secara tertulis. Pasal 28 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Cuti Kampanye menyebutkan teguran tertulis itu seharusnya diumumkan kepada publik. Penaturan juga dilakukan lewat  PP Nomor 9 Tahun 2004 berkenaan dengan kampanye pemilihan umum oleh pejabat negara.

Tapi realitasnya sanksi atas pelanggaran itu bukan lagi hal yang menakutkan, dan pejabat negara bisa berkampanye tanpa harus memikirkan masyarakat yang merasa makin sulit menemui, atau memburuknya pelayanan publik. Baru-baru ini Ombudsman melaporkan rapor merah 5 kementerian berdasarkan hasil survei terhadap 18 kementerian. Di Jateng 13 SKPD yang mendapat predikat buruk, akan diperparah oleh konsentrasi pimpinan yang cuti kampanye.

Bagi menteri, berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2013, sanksi berkait pelanggaran regulasi cuti kampanye semestinya lebih tegas, yakni pemberhentian.

Tapi publik tahu presiden pun akan kesulitan menindaknya. Terlebih peraturan tersebut juga tidak mengatur bagaimana presiden harus melaksanakan cuti saat berkampanye.

Beberapa negara maju mengatur secara rinci cuti berkait kampanye guna menghindari pejabat negara melalaikan atau mengabaikan tugas pokok mereka. Henk Addink, salah satu pakar tata pemerintahan menjelaskan asas ketepatan dalam mengelola urusan publik. Jika pejabat negara sudah tidak lagi mengabdi kepada publik, tapi hanya kepada kelompoknya maka sistem pelayanan publik akan terpuruk (Henk Addink: 2012).

Sebuah terobosan tampaknya membawa angin segar, yaitu ketika Presiden SBY melalui Mendagri Gamawan Fauzi mengurangi jatah cuti pada masa kampanye, yakni menjadi hanya 1 hari. Presiden berargumentasi pentingnya meningkatkan kehidupan demokrasi tapi dengan tetap menjaga disiplin kerja (Tempo, 23/1/14). Peraturan tersebut menyebutkan bahwa dalam 1 minggu, pejabat publik boleh mengambil cuti maksimal 3 hari, yaitu Jumat, Sabtu, dan Minggu. Peraturan ini akan mengatur gerak pejabat negara mengingat mereka seharusnya lebih mementingkan kepentingan rakyat ketimbang urusan partai.

Realitasnya, saat ini partai lebih berkuasa ketimbang rakyat dan pejabat negara di atasnya. Sejumlah pejabat negara atau pejabat publik justru menganggap lebih berarti bila menunjukkan loyalitas kepada partai  ketimbang menunjukkan kinerja maksimal dan dedikasi total pada pelayanan rakyat. Akibatnya kerja pemerintahan pun terbengkalai. Jalan-jalan rusak tak terurus, sekolah-sekolah reyot, pelayanan kesehatan terabaikan, tidak terkontrol dengan baik.

Berkait kampanye, masyarakat, termasuk warga Jateng, hendaknya jeli mengawasi penggunaan fasilitas negara. Mulai dari penggunaan rumah dinas untuk rapat partai, pemakaian mobil dinas untuk kegiatan kampanye, hingga praktik politik uang lewat pagu anggaran bantuan sosial (bansos).

Lembaga pemantau pemilu perlu mempertajam monitoringnya. Dalam Pilgub Jateng 2013, sedikitnya 22 organisasi terdaftar sebagai pemantau pemilu di KPU. Lembaga independen ini dianggap lebih luwes memantau dan mengumpulkan data pelanggaran, berkait kegiatan kampanyei. Kendati tak dimungkiri, beberapa lembaga pemantau tak ubahnya penonton pesta demokrasi itu.

Kekuasaan Keempat

Kewenangan terbesar ada pada Bawaslu yang perlu lebih jeli mengecek kelengkapan administrasi cuti kampanye pejabat negara. Padahal berdasarkan ketentuan, permintaan cuti diajukan paling lambat 12 hari sebelum pelaksanaan kampanye, sedangkan pemberian cuti diselesaikan selambat-lambatnya 4 hari terhitung mulai tanggal diterimanya permohonan tersebut (Pasal 9 Ayat 3 UU Nomor 18 Tahun 2013).

Addink mengatakan administrasi yang baik diawali dari ketaatan aparatur birokrasi pada juklak dan juknis penyelenggaraan pemerintahan. Ia mengungkapkan negara hukum memiliki dimensi kekuasaan keempat, di samping eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan keempat itu adalah Ombudsman dan/atau lembaga audit (the Court of Audit).

Maka gerak Ombudsman berdasarkan amanah UU Nomor 37 Tahun 2008 cocok saat menjelma menjadi ’’CCTV’’ bagi pejabat negara yang membandel berkait persoalan cuti kampanye. Sebagai pengawas eksternal, Ombudsman memiliki kekuatan lain, yakni ’’rekomendasi’’ yang memungkinkan eksekusi sanksi lebih tegas ketimbang teguran tertulis.

Elemen-elemen penting yang terlibat dari pengawasan yakni masyarakat, pemantau pemilu, Bawaslu, media dan Ombudsman hendaknya melakukan intervensi penyelamatan pemilu. Upaya itu supaya pemilu tidak lagi digerogoti oleh pejabat negara yang tidak bertanggung jawab, melupakan rakyatnya demi kampanye.

Kemeningkatan partisipasi rakyat dalam pembangunan hendaknya diikuti sikap transparan dan profesional pejabat negara, terutama berkait cuti kampanye. Tugas pelayanan publik terhadap rakyat jauh lebih penting. Realitasnya, publik melihat ruangan parlemen kosong, ditinggal anggota yang kembali mencalonkan menjadi legislator.

Sebagian besar nama lama masuk dalam 6.608 daftar calon legislatif 2014. Publik kini menunggu-nunggu regulasi KPU dan peraturan presiden yang lebih tegas mengatur tentang cuti kampanye bagi pejabat negara beserta sanksi efektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar