Tampilkan postingan dengan label Investment Grade. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Investment Grade. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Februari 2012

Looking beyond investment grade

Looking beyond investment grade
Winarno Zain, AN ECONOMIST
Sumber : JAKARTA POST, 2Februari 2012


Indonesia will be appearing more often on the radar screens of investors around the globe, as the mass media is churning out more and more good news on the Indonesian economy.

Moody’s Investor Service and Fitch Ratings have upgraded Indonesia’s debt rating to investment grade, which means that investors should be less worried about Indonesia as a place to invest. It has taken 14 years for Indonesia to regain its investment-grade status since the Asian crisis in 1997, when its debt rating was degraded to junk bond status.

Standard Chartered Bank’s research department has projected that the Indonesian economy would be the sixth-largest economy in the world in 20 years, surpassing Germany, the UK and France. And the Goldman Sachs Group is expected to soon make a place for the Indonesian economy into the prestigious BRICS grouping of Brazil, Russia, India, China and South Africa.

This exciting news is coming out as Indonesia suffered capital outflows as part of the fallout of the Eurozone debt crisis. Indonesia’s economy emerged unscathed, but the debt crisis in Europe has touched investor’s nerves. The Jakarta Stock Exchange suffered a big blow when a large sell-off of equities by foreign investors led the Jakarta Composite Index to plunge from 4,221 to 3,200 between August and September.

Over the same month period, the nation’s exchange reserves dropped US$10 billion. In comparison, even during 2008 crisis, which was dubbed as the biggest recession since the Great Depression of the 1930s, Indonesia’s exchange reserves dropped only $5 billion between 2007 and 2008. The capital and financial accounts in balance of payments turned from a surplus of $13 billion in the second quarter of 2011 to a deficit of $3.1 billion in the third quarter, a huge reversal of capital flows that could undermine economic stability.

The need for capital inflows is getting more urgent as the balance of payments cannot rely on the growth of current accounts in the medium term. The current account balance, which has been in surplus in recent years, would turn into deficit in the coming months as import growth surpasses export growth. The current account surplus has dropped significantly, from $5.0 billion in first three quarters of 2010 to $2.7 billion in the same period of 2011, a drop of 45 percent.

Sufficiently large current account surpluses might have previously served as a buffer for the negative effects of capital flight and financial accounts surpluses, preventing the balance of payment from moving into deficit. But with current account surpluses rapidly declining, the balance of payments is now entirely dependent on strong capital inflows. So when with the debt rating upgrades and other positive developments underpinning the economy, expectations are high that capital will be flowing back to Indonesia.

Preliminary indications show that this might be the case. The initial response from investors after the ratings upgrade was positive. The government raised Rp 10.5 trillion from selling its bonds and notes, more than the Rp 7.5 trillion it had originally sought to sell.

The government received bids totaling Rp 50 trillion, or almost five times the amount offered. With those sales, foreign holdings of Indonesian government bonds rose 1.5 percent to Rp 226 trillion. But in the equity markets, the JCI fluctuated in January, as investors still focused their attention on the eurozone crisis. The JCI has not moved far from what it was in December 2011.

But unfortunately whether capital inflows will pick up in coming months depends on investor risk perception of the ongoing debt crisis in the eurozone. If the crisis gets worse, investor sentiment could easily turn sour and seek a safe haven for capital, no matter how good our debt rating is.

Domestically, the prospect for a rapid improvement in the investment climate is not so bright. Work on improving infrastructure, bureaucracy and legal certainty are progressing slowly, and this could pose a serious hurdle for rising capital inflows. The irony is that despite a near economic miracle, the country is mired in red tape and corruption. Our roads, ports and airports are hopelessly inadequate for the pace for growth the government would like to sustain in the coming years.

The global economy is being wrought with uncertainties and challenges. A more severe world economic downturn, the still unresolved debt crisis in Europe, and the affect of a potential US-Iran conflict over oil prices, would intensify the fear-factor in investors’ minds. Therefore it is necessary for the government to make some extra efforts to offset these adverse influences to make investors more comfortable in doing businesses in Indonesia.

The government has started to do some homework to improve the investment climate. But unfortunately what constitutes a good investment climate can no longer be defined as improved bureaucracy and infrastructure and legal certainties. Even if the government could improve these areas, let us have no illusions that these would overcome obstacles in attracting investment.

The increasing militancy of labor unions and the inability of the government to deal with industrial conflicts have triggered more and more violent labor strikes all over the country. Similarly, conflicts between local residents and plantation and mining companies have turned into violent riots.

The government’s track record in conflict management is so poor that legal uncertainties and a weak state apparatus ensures that industrial and social conflicts will continue unabated - and that will undermine the investment climate.

Under these circumstances it is possible that prospective investors will reconsider their decisions to invest, while existing investors will possibly start thinking about relocating their investments elsewhere.

Rabu, 01 Februari 2012

Apa Setelah Peringkat Naik?


Apa Setelah Peringkat Naik?
Anwar Nasution, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UI
Sumber : KOMPAS, 2Februari 2012


Peningkatan peringkat utang RI oleh dua lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings dan Moody’s Investor Service, baru-baru ini, perlu disambut gembira.
Kenaikan peringkat utang itu akan meningkatkan citra Indonesia di pasar keuangan internasional dan menurunkan tingkat bunga surat utang negara ataupun swasta di pasar dunia. Namun, kita perlu terus waspada menghadapi gejolak perekonomian dunia saat ini. 

Hanya beberapa waktu sebelum krisis, lembaga pemeringkat sama memuji-muji dan meningkatkan peringkat surat utang Spanyol. Juga perlu disadari, kenaikan peringkat itu buah dari kebijakan yang hanya menekankan stabilitas perekonomian dan mengabaikan upaya peningkatan produktivitas serta daya saing untuk mencapai pertumbuhan kokoh dan berkesinambungan.

Ada dua kebijakan stabilisasi yang menonjol yang menghambat pertumbuhan: kebijakan fiskal dan kebijakan nilai tukar. Dalam hal fiskal, pemerintah menekan defisit APBN hingga 1-2 persen dari PDB dan rasio pinjaman negara terhadap PDB hanya sekitar 25 persen. Kedua rasio ini jauh di bawah pagu yang diperbolehkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yakni 3 persen dan 60 persen.

Sementara itu, berkat kenaikan nilai ekspor komoditas primer ke China dan India serta pemasukan modal jangka pendek, rupiah dibiarkan menguat terus-menerus. Pada gilirannya, rupiah yang menguat itu membuat harga komoditas impor jadi murah sehingga menyumbang pada upaya menekan laju inflasi sesuai target yang ditetapkan BI. Di lain pihak, rupiah yang terlalu kuat mengurangi daya saing komoditas ekspor dan merangsang alokasi faktor-faktor produksi yang menurunkan efisiensi perekonomian nasional.

Deregulasi Pasar Faktor Produksi

Kenaikan peringkat surat utang RI tak terkait dengan upaya untuk mengatasi hambatan (bottlenecks) pertumbuhan perekonomian nasional dewasa ini. Selain dari kebijakan ekonomi makro, hambatan pembangunan nasional juga karena kurangnya prasarana perhubungan, listrik, regulasi pertanahan, dan faktor perburuhan ataupun regulasi serta perizinan yang menghambat dunia usaha yang meningkatkan biaya produksi.

Untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan daya saing, dan memacu pertumbuhan ekonomi perlu deregulasi serta reformasi besar-besaran di pasar tenaga kerja, pertanahan, infrastruktur, listrik, dan perizinan usaha. Hanya dengan supply side reform seperti itu, daya saing dan produktivitas ekonomi nasional dapat ditingkatkan, investasi di sektor industri manufaktur dapat digalakkan untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.

Karena keterbatasan pemerintah, swasta perlu diikutsertakan untuk membangun infrastruktur. Distorsi di pasar tenaga kerja dan pertanahan perlu dikoreksi.

Gabungan antara kondisi infrastruktur yang terbatas, rupiah yang menguat, dan perizinan serta iklim usaha yang kurang baik membuat Indonesia kurang menarik bagi PMA. Berbeda dengan negara ASEAN lain, Indonesia tak masuk dalam global supply chain, yakni penghasil suku cadang serta komponen barang-barang elektronik dan otomotif yang banyak menyerap tenaga kerja. Ironinya, karena di dalam negeri tak ada lapangan pekerjaan, tenaga kerja Indonesia merantau ke seluruh dunia, termasuk Malaysia, menjadi buruh perkebunan ataupun pekerja di pabrik milik investor Jepang, Korea, Taiwan, dan investor lain. Kenapa para investor asing ini tidak diundang ke Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri?

Pemasok Bahan Mentah dan Pasar

Sepuluh tahun terakhir perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 5 persen setahun, ini terutama karena naiknya harga bahan mentah yang kita ekspor ke pasar dunia dan bukan karena kebijakan ekonomi pemerintah ataupun kenaikan produktivitas tenaga kerja. Kejadian sekarang hampir sama dengan boom migas 1973-1982 yang terjadi setelah pecahnya perang Mesir-Israel tahun 1973.

Waktu itu, tanpa berbuat apa-apa untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, tiba-tiba Indonesia jadi lebih kaya hanya karena kenaikan harga minyak bumi dan gas alam. Bahan mentah yang kita ekspor sekarang ini adalah hasil pertambangan nonmigas, pertanian, maupun perikanan, seperti bijih besi, tembaga, batubara, minyak sawit, dan karet. Ekspor bahan mentah terutama ditujukan ke China dan India yang perekonomiannya dapat tumbuh 9-10 persen setahun terus-menerus selama 30 tahun terakhir.

Industrialisasi, mekanisasi, dan urbanisasi perlu berbagai jenis bahan baku dan energi yang lebih besar. Masyarakat China dan India yang lebih kaya juga butuh bahan makanan yang lebih baik, seperti hasil laut dari Indonesia dan minyak goreng yang dibuat dari kelapa sawit. Indonesia telah jadi negara pemasok bahan mentah ke kedua negara itu, sekaligus menjadi pasar produk mereka, baik hasil industri manufaktur maupun pertanian.

Karena ketergantungan ekonomi kita pada ekspor bahan mentah yang terutama diekspor ke China dan India, perlu diperhatikan gejolak pasar komoditas internasional serta kondisi perekonomian Eropa dan AS sebagai tujuan utama ekspor negara itu. Krisis ekonomi global telah mulai mengganggu industri manufaktur dan konstruksi yang merupakan motor penggerak ekonomi China dan India.

Krisis global telah mulai menurunkan permintaan akan ekspor manufaktur China dan India. Sebagai bagian dari stimulus fiskal, sektor konstruksi merupakan penggerak ekonomi yang terutama digunakan kedua negara sejak krisis 2008 untuk mengompensasi penurunan ekspor. Sekarang ini, bangunan perumahan, perkantoran, jalan raya, dan kereta api cepat sudah mengalami ekspansi yang berlebihan di China. Pada gilirannya, penurunan ekspor serta kegiatan ekonomi China dan India akan mengurangi permintaan mereka atas ekspor hasil tambang serta pertanian kita.

Di lain pihak, Indonesia jadi pasar bagi produk China dan India, baik hasil pertanian maupun manufaktur. Penetrasi China ke Indonesia kian mudah setelah diturunkannya tarif bea masuk dan dihapuskannya hambatan nontarif dalam rangka Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN. Gabungan penguatan rupiah dan kebijakan China yang membuat mata uang yuan melemah menjadikan komoditas China kian murah di Indonesia.

Struktur APBN

Baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran, APBN tak dapat berfungsi sebagai instrumen kebijakan kontrasiklis (countercyclical) untuk mengatasi gejolak perekonomian. Jika perekonomian mengalami penurunan, sangat terbatas kemampuan pemerintah mengintrodusir stimulus fiskal. Instrumen stabilisasi otomatis pun sangat terbatas. Dari sisi pendapatan, rasio penerimaan negara dari pajak (11,6 persen tahun 2010) adalah salah satu yang terendah di kalangan negara berkembang. Sebagian besar penerimaan pajak berupa pajak pendapatan usaha dan perorangan (5,7 persen), sisanya pajak tak langsung, termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

Rendahnya rasio penerimaan negara itu mencerminkan buruknya administrasi perpajakan kita, terbatasnya basis pajak, dan banyaknya pengecualian bebas pajak. Pemilik NPWP masih sekitar 5 persen dari jumlah penduduk, audit perpajakan masih jauh dari sempurna. Buruknya administrasi perpajakan antara lain tecermin dari kasus Gayus Tambunan, pegawai rendah Ditjen Pajak yang dapat memobilisasi semua aparat tinggi penegak hukum untuk melakukan kejahatan perpajakan.

Dari sisi pengeluaran, mata anggaran terbesar adalah untuk transfer ke daerah dalam rangka otonomi, subsidi, terutama subsidi BBM, pembayaran gaji PNS, dan bunga utang. Pengeluaran pembangunan hanya 2,3 persen dari PDB 2011. Dengan anggaran pembangunan rendah, tak mungkin pemerintah dapat mengatasi kelangkaan infrastruktur dewasa ini.

Meminjam atau menjual SUN di pasar dunia adalah salah satu alternatif untuk membiayai pembangunan infrastruktur pada tingkat rasio penerimaan pajak yang rendah ini. Apalagi tingkat suku bunga sedang menurun karena naiknya peringkat utang. Pilihan lain, mengundang partisipasi modal swasta untuk investasi di infrastruktur. Karena tabungan nasional relatif kecil dan pasar uang nasional relatif sempit, meminjam di pasar dalam negeri dapat menimbulkan crowding out yang meningkatkan suku bunga bagi investasi swasta. Dalam hal meminjam, Indonesia masih punya peluang karena rasio defisit APBN dan rasio utang negara terhadap PDB masih berada di bawah tingkat yang diperbolehkan UU Keuangan Negara.

Tidak ada yang perlu ditakuti selama utang digunakan untuk keperluan peningkatan produksi dan produktivitas ekonomi nasional, seperti proyek-proyek infrastruktur. Peningkatan produksi itu kelak digunakan untuk melunasi utang.

Nilai Tukar Rupiah Kian Menguat

Gabungan antara peningkatan harga komoditas ekspor bahan mentah dan derasnya pemasukan modal jangka pendek telah menguatkan nilai tukar rupiah, baik nominal maupun riil, setelah dikoreksi dengan tingkat laju inflasi. Penguatan rupiah karena kenaikan harga bahan mentah dan pemasukan modal jangka pendek ini mengganggu daya saing komoditas lain (the Dutch disease). Sebagai contoh, karena rupiah kian menguat, buah-buahan, kembang, dan berbagai jenis produk manufaktur kita tak mampu bersaing dengan impor. Akibatnya, terjadi proses deindustrialisasi di mana peranan sektor industri manufaktur kian mengalami erosi, baik dalam pembentukan PDB, penghasilan ekspor, maupun penyerapan tenaga kerja.

Apresiasi rupiah mendorong realokasi faktor-faktor produksi dari sektor traded ke sektor nontraded. Sektor traded dianggap lebih efisien karena menghasilkan barang dan jasa yang bisa diekspor ke pasar dunia dan diimpor. Sektor nontraded, seperti real estat, mal, dan lapangan golf, hanya dikonsumsi di mana ia diproduksi. Penguatan rupiah sekaligus menimbulkan ketimpangan regional. Hasil tambang, pertanian, dan perikanan laut yang harganya meningkat karena pertumbuhan ekonomi China dan India yang pesat itu diproduksi di luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sebaliknya, produsen komoditas yang tak mampu bersaing dengan China dan India berada di Pulau Jawa.

Karena penduduk Jawa sangat padat, pengangguran akan menimbulkan masalah sosial. Cara penanggulangan kemiskinan terbaik adalah menciptakan lapangan kerja bagi penganggur dan bukan sekadar membagi-bagikan beras untuk orang miskin (raskin), bantuan langsung tunai, ataupun mengekspor TKI ke luar negeri.

Kebijakan pengaturan kurs devisa oleh pemerintah sekarang ini bertolak belakang dengan devaluasi oleh Orde Baru pada 1978, 1993, dan 1986. Saat itu ekonomi Indonesia masih kuat dan menikmati berkah dari harga minyak tinggi. Devaluasi rupiah dilakukan untuk mengoreksi penyakit Belanda dan merangsang ekspor manufaktur, terutama tekstil dan pakaian jadi serta alas kaki, mengantisipasikan penurunan ekspor migas karena penurunan tingkat harga. Sekarang ini, kurs devisa justru ikut mematikan kegiatan industri dan pertanian di dalam negeri.

Minggu, 29 Januari 2012

Makna Peringkat Layak Investasi


Makna Peringkat Layak Investasi
Umar Juoro, EKONOM
Sumber : KOMPAS, 30Januari 2012


Indonesia oleh lembaga pemeringkat utang internasional Fitch and Moody’s telah dimasukkan ke dalam kategori investment grade atau peringkat investasi. Kemungkinan lembaga pemeringkat ketiga, yaitu S and P, segera mengikutinya.

Hasil yang akan diperoleh Indonesia dari peringkat investasi ini adalah kemungkinan semakin besarnya investasi yang masuk ke Indonesia, baik langsung maupun portofolio. Begitu pula bunga pinjaman pemerintah dan swasta ke luar negeri kemungkinan akan menurun.

Peringkat investasi pernah kita dapatkan pada masa sebelum krisis 1988, tetapi pada saat krisis peringkat Indonesia jatuh terperosok. Baru setelah lebih dari satu dekade, kita mendapatkan kembali peringkat investasi. Ini terjadi bersamaan dengan keadaan ekonomi dunia yang tidak pasti karena krisis Eropa dan masih stagnannya perekonomian AS pascakrisis 2008.

Banjir Investor

Implikasinya adalah investor semakin membanjiri negara berkembang dengan aliran modal sangat besar. Pada 2011 sekitar 700 miliar dollar AS dana mengalir ke negara berkembang dalam bentuk penanaman modal asing (PMA), portofolio, dan lainnya.

Tahun 2011 sekitar 13 miliar dollar AS dari PMA dan 8 miliar dollar AS portofolio masuk ke Indonesia. Investasi ini mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuat indeks pasar modal sempat menembus angka 4.000. Kemungkinan aliran investasi masih besar ke Indonesia tahun 2012. Karena itu, sekalipun pertumbuhan ekonomi dunia menurun, Indonesia masih dapat tumbuh tinggi dengan kemungkinan di atas 6 persen.

Besarnya modal yang masuk Indonesia membuat BI sulit menjalankan kebijakan moneter. Dengan besarnya modal portofolio yang mudah masuk dan keluar membuat nilai rupiah berfluktuasi. Dana masuk memperkuat rupiah, sedangkan dana keluar melemahkan rupiah.

BI harus mensterilkan dana yang masuk dengan membeli dollar dengan rupiah. Akibatnya, uang beredar semakin besar. Karena itu, BI harus menarik kembali uang tersebut supaya tidak mendorong inflasi. Dengan tidak dilelangnya lagi SBI di bawah 9 bulan, maka penarikan dilakukan dengan time deposit (deposito berjangka) yang diperuntukkan hanya untuk bank dalam negeri.

Pertumbuhan kredit perbankan sekitar 24 persen adalah cukup tinggi. Dengan pertumbuhan ekonomi nominal (tidak dikurangi inflasi) sekitar 11 persen, pertumbuhan kredit tersebut belum menimbulkan gelembung kredit yang berbahaya bagi perekonomian, walaupun semestinya dengan pertumbuhan kredit setinggi itu pertumbuhan ekonomi semestinya lebih tinggi dari 7 persen.

Besarnya PMA juga mendorong peningkatan permintaan dollar untuk kebutuhan belanja modal dan modal kerja. Kredit dollar tumbuh sekitar 36 persen, sementara dana pihak ketiga dalam dollar hanya tumbuh sekitar 3,5 persen. Kesenjangan yang besar ini membuat BI harus berusaha keras menyediakan pasokan dollar. Maka kecenderungannya perusahaan akan semakin besar meminjam ke luar negeri. Hal ini harus dicermati terutama jika perusahaan meminjam dana jangka pendek untuk membiayai proyek jangka panjang.

Belajar dari Krisis

Kita harus belajar dari krisis 1998, supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pada tahun 1996, satu tahun sebelum krisis, Indonesia dipandang sebagai salah satu macan Asia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi—sekitar 7 persen—didorong oleh investasi. Modal masuk mencapai sekitar 11 miliar dollar AS. Pertumbuhan kredit sekitar 20 persen. Defisit neraca berjalan sekitar 3 persen dari PDB, sekalipun keseluruhan neraca pembayaran surplus. Situasi serupa dialami Thailand dan Korsel.

Banyak pihak berpendapat pada waktu itu bahwa situasi Indonesia aman, apalagi Indonesia belum pernah mengalami krisis keuangan. Namun, keadaan sebenarnya adalah terjadi gelembung kredit bank, di pasar modal, dan properti. Ditambah lagi dengan besarnya utang swasta ke luar negeri dalam jangka pendek untuk membiayai proyek jangka panjang. Begitu imbas krisis dari Thailand menerpa, perekonomian Indonesia terpukul. Ditambah dengan krisis politik lengkaplah terjadi krisis multidimensional.

Dewasa ini neraca perdagangan masih surplus sekalipun banyak analis memperkirakan defisit pada 2012. Bank juga kuat modalnya dengan rasio kecukupan modal (CAR) rata-rata sekitar 17 persen. Manajemen risiko bank dan supervisi dari BI juga lebih baik. Rasio harga terhadap ekuitas di pasar modal masih 16 persen, belum dianggap gelembung. Cadangan devisa pun cukup besar sekitar 114 miliar dollar AS. Stabilitas politik juga terjaga. Dalam keadaan seperti ini perekonomian Indonesia siap untuk terus berkembang.

Apa yang harus diperhatikan oleh penentu kebijakan adalah mengendalikan volatilitas aliran modal, nilai kurs, pinjaman luar negeri swasta berjangka pendek, dan alokasi kredit yang produktif. Harus diupayakan modal masuk tidak didominasi oleh yang berjangka pendek. Kebijakan perlu dilakukan untuk membuat modal lebih lama tinggal di Indonesia. Jika hal ini dapat dilakukan dengan baik, maka terbuka peluang besar bagi perkembangan ekonomi yang berkesinambungan.

Jumat, 20 Januari 2012

Investment Grade, IPO, dan Obligasi BUMN


Investment Grade, IPO, dan Obligasi BUMN
Sunarsip, CHIEF ECONOMIST
Sumber : REPUBLIKA, 16 Januari 2012


Indonesia baru saja memperoleh “bonus“ I berupa kenaikan peringkat utang dari Fitch Ratings. Sejak 15 Desember 2011, per ingkat utang (sovereign) Indonesia untuk foreign currency long-term senior debt berada pada level BBB(atau level investment grade).

Di tengah jatuhnya kepercayaan pasar terhadap Eropa dan Amerika Serikat (AS), kenaikan peringkat utang ini jelas memiliki arti penting bagi Indonesia. Semestinya, status investment grade ini dapat mempermudah dana asing (khususnya dana jangka panjang) masuk, baik melalui investasi langsung maupun pasar modal dengan membeli saham atau obligasi yang diterbitkan korporasi di Indonesia.

Kenaikan peringkat Indonesia ini seolah menemukan momentumnya, setidaknya bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemerintah, seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembukaan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 3 Januari, menjanjikan tiga hingga lima BUMN akan mencatatkan sahamnya di BEI melalui initial public offering (IPO). Menurut Menteri BUMN Dahlan Iskan, IPO atas BUMN diperkirakan dilaksanakan pada semester II 2012. Saat ini, terdapat satu BUMN yang hampir dipastikan akan IPO pada 2012, yaitu Semen Baturaja.

Saya memperkirakan, bila tidak ada kendala nonteknis, realisasi IPO BUMN akan dapat memenuhi target. Tidak hanya karena didukung oleh iklim pasar modal kita yang semakin kondusif seiring dengan status investment grade, kinerja BUMN secara keseluruhan juga semakin membaik. Kini, tinggal bagaimana pemerintah mampu mengelola isu-isu nonteknis (seperti politik) terkait dengan rencana IPO BUMN tersebut.

Sebab, belajar dari pengalaman IPO Krakatau Steel dan Garuda Indonesia tahun lalu, bila pemerintah tidak tepat dalam menyusun desain IPO BUMN, situasi ini akan dengan cepat menjadi isu politik yang pada akhirnya dapat mengganggu reputasi IPO BUMN.

Status investment grade juga memberikan momentum baik bagi BUMN yang akan menerbitkan obligasi. Perlu diketahui bahwa salah satu orientasi Kementerian BUMN saat ini adalah mendorong BUMN untuk lebih membuka diri (dalam arti lebih transparan), baik melalui IPO maupun penerbitan obligasi. IPO BUMN terbukti berkontribusi dalam mewujudkan transparansi yang lebih di BUMN. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak semua BUMN dapat didorong untuk melakukan IPO, antara lain, karena karakteristik BUMN tersebut. Menyadari hal itu, Kementerian BUMN akan mendorong BUMN yang belum IPO untuk menerbitkan obligasi.

Saya melihat bahwa langkah Kementerian BUMN yang akan mendorong penerbitan obligasi BUMN merupakan terobosan (break through) positif bagi BUMN menjadi lebih transparan di tengah sensitifnya isu privatisasi BUMN. Seperti kita keta hui, kebijakan privatisasi BUMN hingga saat ini masih menjadi isu yang selalu kontroversial.

Tak terkecuali, BUMN yang di privatisasi melalui IPO. Padahal, banyak yang menyakini IPO me ru pakan metode privatisasi BUMN yang lebih baik diban ding kan metode lainnya. Namun, tetap saja tidak mudah akan menerapkan IPO pada BUMN yang memiliki sensitivitas tinggi.

Sebagai contoh, bila kebijakan privatisasi diterapkan terhadap Pertamina, sekalipun dengan menggunakan metode IPO, saya memperkirakan langkah ini akan menjadi isu yang sangat sensitif bagi para pemangku kepentingan (stakeholders). Pertamina adalah BUMN sektor energi terbesar di Indonesia yang sahamnya dimiliki penuh oleh pemerintah. Pertamina juga telah menjadi simbol bagi Indonesia. Sehingga, memang tidak keliru bila Pertamina telah menjadi semacam miniaturnya Indonesia. Oleh karenanya, juga tidak

sepenuhnya keliru bila ada yang mempersepsikan kebijakan menjual saham Pertamina (sekalipun melalui IPO) itu sama dengan menjual negara.

Pada 2003, Rizal Ramli bersama Tim Indonesia Bang kit/TIB (termasuk saya di dalamnya) pernah melontarkan gagasan untuk meng-IPO-kan Pertamina. Waktu itu, Rizal Ramli dan TIB mengusulkan agar saham Pertamina dilepas sekitar 10 persen melalui IPO.

Gagasan dibuat dalam rangka memperkuat penggalangan sumber pembiayaan pemerintah agar Indonesia bisa secepatnya keluar dari program Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, seperti diprediksi sebelumnya, ide melepas sebagian saham negara di Pertamina ini memang bukan ide populis sehingga pasti akan menimbulkan kontroversi.

Padahal, sebagai perusahaan yang kini sedang melakukan transformasi menjadi national oil world class company, Pertamina dituntut memiliki dan menerapkan governance yang sesuai standar internasional. Dan biasanya, hal itu dapat dilakukan bila perusahaan tersebut menjadi perusahaan publik (go public). Pertanyaannya, bagaimana kita bisa “memaksa” Pertamina dan BUMN yang belum go public lainnya agar mengadopsi standar governance yang berlaku di pasar modal, bila tidak ada kewajiban bagi BUMN terkait agar memublikasi atas segala hal yang terkait dengan kebijakannya (corporate matters)?

Melalui penerbitan obligasi, BUMN nanti akan “dipaksa“ atau “terpaksa“ mengikuti protokol pasar modal (capital market protocol) selayaknya perusahaan yang telah IPO.
Meskipun BUMN terkait belum merupakan perusahaan terbuka, namun manajemen BUMN selaku emiten (perusahaan yang menerbitkan obligasi) tetap harus bertanggung jawab kepada publik atas kinerja perusahaannya, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan otoritas pasar modal (Bapepam).
 

Selain itu, penerapan good corporate governance (GCG), capital market protocol, dan asas pertanggungjawaban kepada publik dapat membantu BUMN dalam membentengi diri dari berbagai bentuk intervensi pihak luar yang tidak sejalan dengan kepentingan perusahaan.

Beberapa BUMN nonpublik yang telah menerbitkan obligasi (khususnya global bond) adalah PLN (tahun 2006) dan Pertamina (tahun 2011). Kini, BUMN yang telah menerbitkan obligasi dituntut memiliki sistem akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang dipersyaratkan oleh otoritas pasar modal dari negara yang menjadi pasar penerbitan obligasi tersebut. Sebagai misal, se laku perusahaan yang telah menerbitkan obligasi global di Bursa Efek Singapura, Perta mina kini dituntut memenuhi (com ply) ketentuan pasar mo dal yang berlaku di Singapura.

Sejalan dengan meningkatnya kinerja perekonomian Indonesia serta menurunnya tingkat bunga acuan (BI Rate), pada 2008–2011 akumulasi emisi obligasi korporasi (termasuk BUMN) adalah sekitar Rp 118,7 triliun. Saat ini, emiten obligasi BUMN/BUMD/ afiliasi memiliki pangsa pasar (market share) sekitar 45 persen dari total saldo obligasi yang tercatat di BEI.

Pada 2012, BEI telah mencatat rencana penerbitan obli gasi korporasi sekitar Rp 30 triliun. Saya memperkirakan, seiring dengan masih akan berlanjutnya tren BI Rate yang rendah, status Indonesia sebagai investment grade, dan adanya gairah penerbitan obli gasi BUMN ini, realisasi penerbitan pada 2012 diperkirakan akan lebih tinggi.

Kesimpulannya, investment grade yang diperoleh Indonesia akan menjadi momentum bagi BUMN untuk menerbitkan saham (melalui IPO) dan obli gasi. Semestinya juga, dengan status Indonesia yang baru ini, kinerja BUMN kita ke depan juga meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Kamis, 12 Januari 2012

Investment Grade, Subsidi BBM, dan Moody’s-S&P


Investment Grade, Subsidi BBM, dan Moody’s-S&P
Latif Adam,  PENELITI PUSAT PENELITIAN EKONOMI (P2E)
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Sumber : SINDO, 13 Januari 2012



Pertengahan Desember 2011(15/12), Fitch Rating, salah satu lembaga pemeringkat global, menaikkan peringkat utang Indonesia dari BB+ menjadi BBB-.Dengan demikian saat ini Indonesia masuk ke dalam kategori negara layak investasi (investment grade).

Negara dengan peringkat layak investasi akan menjadi tujuan yang menarik bagi masuknya investasi baik portofolio maupun langsung (foreign direct investment). Namun, kategori layak investasi yang disandang Indonesia terasa kurang lengkap karena belum diikuti dengan keputusan yang sama dari dua lembaga pemeringkat lainnya, yaitu Moody’s dan Standard & Poor (S&P). Padahal,Moody’s dan S&P memiliki reputasi yang relatif lebih baik daripada Fitch. Moody’s dan S&P lebih berhati- hati dalam menentukan layak-tidaknya suatu negara masukkategori investmentgrade.

Boleh jadi saat ini Moody’s dan S&P memasang mata dan telinga lebar-lebar terhadap Indonesia, memperhatikan dinamika beberapa variabel yang biasanya menjadi basis penentuan peringkat. Sama dengan Fitch,terdapat beberapa variabel yang menjadi acuan Moody’s dan S&P untuk menentukan peringkat utang suatu negara. Empat variabel terpenting dan saling memengaruhi di antara satu dengan yang lainnya adalah stabilisasi sosial-politik, performa perekonomian (pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita), daya tahan fundamental perekonomian (seperti cadangan devisa, rasio utang, sustainability APBN), dan kerangka kebijakan makroekonomi yang prudent.

Untuk menentukan peringkat utang, Indonesia sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk bisa naik kelas. Pada tiga tahun terakhir, perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 5,9% per tahun, lebih tinggi dari rata-rata negara yang sudah berada di peringkat investment grade (3,3%). Demikian halnya rasio utang terhadap PDB Indonesia sebesar 25%, jauh lebih baik dibandingkan dengan rata-rata negara yang sudah berada di peringkat investment grade(36%). Walau terus menurun, cadangan devisa Indonesia sebesar USD111,3 miliar per 31 Desember 2011 juga cukup aman untuk menghadapi external shock.

Dengan memiliki cadangan devisa sebesar itu, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang selama 6–7 bulan. Menurut standar internasional cadangan devisa yang dimiliki suatu negara dikatakan tidak aman bila jumlahnya hanya mampu memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang kurang dari 3 bulan. Hanya saja,pendapatan per kapita negeri ini (USD3.600) memang masih lebih rendah daripada pendapatan per kapita rata-rata negara layak investasi yang telah mencapai USD9.800.

Meskipun masih lebih rendah, kenaikan yang konsisten dari pendapatan per kapita negeri ini seharusnya tidak menjadi hambatan utama bagi Moody’s dan S&P untuk menaikkan peringkat utang Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah, kalau bukan pendapatan per kapita, lantas apa yang menjadi ganjalan utama bagi Moody’s dan S&P sehingga kedua lembaga itu belum menaikkan peringkat utang Indonesia?

Subsidi BBM

Ganjalan utama yang membuat Moody’s dan S&P belum menaikkan peringkat utang Indonesia kemungkinan besar berkaitan dengan kerangka kebijakan ekonomi makro yang bisa memengaruhi fundamental perekonomian. Satu yang paling krusial adalah respons pemerintah terhadap subsidi BBM. Beberapa kali ditegaskan bahwa tekanan fiskal BBM terhadap APBN akan direspons pemerintah tidak dengan menaikkan harga BBM,tetapi melalui pembatasan BBM bersubsidi.

Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi itu rencananya akan mulai diimplementasikan pada 1 April 2012. Pemerintah mematok volume BBM bersubsidi pada APBN 2012 sebesar 40 juta kiloliter (kl).Perhitungan pemerintah menunjukkan kebijakan pembatasan akan berhasil menekan volume BBM bersubsidi sebesar 2,5 juta kl menjadi 37,5 juta kl.Dengan demikian akan ada penghematan anggaran subsidi BBM sebesar Rp7,7 triliun. Namun, pembatasan BBM bersubsidi dipastikan akan mendorong naiknya tingkat inflasi.

Dengan asumsi pembatasan BBM bersubsidi diberlakukan untuk semua jenis kendaraan milik pribadi di seluruh Indonesia, perhitungan yang dilakukan penulis menunjukkan inflasi akan terdorong naik sebesar 0,8%. Naiknya inflasi diperkirakan akan menggerus daya beli masyarakat, khususnya masyarakat dalam kelompok dengan pendapatan cenderung tetap dan kecil. Selain itu, pembatasan BBM bersubsidi yang dilakukan tanpa dukungan pembangunan infrastruktur untuk BBM nonsubsidi yang memadai dan merata di pelosok negeri hanya akan menimbulkan kelangkaan BBM di beberapa daerah tertentu.

Demikian halnya,minimnya kemampuan aparatur negara untuk memonitor dan mengontrol pelaksanaan kebijakan ini hanya akan mendorong munculnya black market, penyelundupan, dan perilaku menyimpang lain yang pasti akan merugikan negara. Pertautan dari permasalahan di atas akan terakumulasi dan membuat kebijakan pembatasan BBM bersubsidi justru bersifat kontraproduktif terhadap stabilisasi dan kokohnya fundamental perekonomian Indonesia.

Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah menyusun langkah aksi bagaimana meminimalkan dampak negatif yang mungkin muncul dari pelaksanaan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Jika pemerintah mampu menyusun langkah aksi yang jelas, komprehensif, dan terintegrasi, tidak ada alasan bagi Moody’s dan S&P untuk tidak menaikkan peringkat utang Indonesia ke peringkat investment grade.