Tampilkan postingan dengan label Sunarsip. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sunarsip. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Maret 2014

Menghitung “Jokowi Effect’

Menghitung “Jokowi Effect’

Sunarsip  ;   Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
REPUBLIKA,  17 Maret 2014

                                                                                         
                                                                                                             
Pada akhir pekan lalu, pasar keuangan kita diberitakan bergairah. IHSG ditutup menguat 152,47 poin atau 3,23 persen ke level 4.878,64 pada perdagangan Jumat (14/3). Sedangkan, nilai tukar rupiah ditutup menguat 0,26 persen ke level Rp 11.356 per dolar Amerika Serikat (AS) setelah sepanjang hari itu bergerak pada kisaran Rp 11.355- Rp 11.438 per dolar AS. Posisi nilai tukar rupiah ini sekaligus menjadi level penutupan terkuat sejak November 2013. Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) obligasi negara (SBN) 10 tahun ditutup pada level 7,89 persen atau turun satu basis poin (bps) dari posisi pada hari sebelumnya, delapan persen.

Sejumlah analis mengaitkan kinerja positif di pasar keuangan ini sebagai respons positif atas pendeklarasian Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden dari PDIP atau `Jokowi Effect. Ana lisis keterkaitan `Jokowi Effect' ini memiliki penguatnya setelah pada saat yang sama, pasar keuangan di Asia mengalami penurunan, mengikuti penurunan pasar keuangan di AS. Padahal, dalam `tradisi' pasar keuangan kita, biasanya kalau situasi pasar keuangan global melemah, Indonesia juga ikut melemah. Bagaimana penjelasan yang sesungguhnya? Sejauh apa `Jokowi Effect' ini memengaruhi kinerja pasar keuangan kita?

Kinerja pasar keuangan kita dalam dua bulan terakhir ini memang dalam kondisi yang baik. Tidak hanya karena ditopang oleh fundamental ekonomi yang relatif baik, juga ditopang oleh faktor positif dari sektor eksternal. Pada Februari, BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 5,78 persen. Meskipun menurun dibanding 2012, pertumbuhan ini relatif lebih baik dibanding negara-negara lain. Tekanan inflasi juga semakin menurun. Hingga Maret, inflasi kita secara tahunan (year on year/yoy) sebesar 7,75 persen, menurun dibanding inflasi pada akhir 2013 sebesar 8,38 persen.

Sektor perdagangan luar negeri memang masih defisit, namun tren defisitnya menurun. Di sisi lain, aliran masuk modal asing juga terus membaik. Hingga Februari, aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan kita mencapai Rp 34,6 triliun. Dengan perkembangan positif ini, cadangan devisa kita pada Februari 2014 meningkat menjadi 102,7 miliar dolar AS. Seiring dengan positifnya fundamental ekonomi serta perbaikan kinerja sektor eksternal tersebut, nilai tukar rupiah juga mengalami penguatan.

Pada Februari 2014, rupiah ditutup di level Rp 11.609 per dolar AS, menguat 5,18 persen di banding dengan level akhir Januari 2014.

Sementara itu, kinerja pasar modal pada Februari 2014 semakin membaik. IHSG menguat dan yield SBN menurun, terutama didorong oleh meningkatnya optimisme investor terhadap ekonomi domestik. Kinerja IHSG mencapai level 4.620,22 (28 Februari 2014) atau naik 4,6 persen dibandingkan dengan level akhir Januari 2014 sebesar 4,418,76 (30 Januari 2013). Pada Februari 2014, yield SBN secara keseluruhan turun 37,06 bps menjadi 8,23 persen dibandingkan yield Januari 2014 yang sebesar 8,60 persen.

Berdasarkan perkembangan di atas, memang ada alasan bagi pasar keuangan kita untuk menguat. Namun, pasar ke uangan kita juga sering mengalami anomali. Misalnya, pasar keuangan kita sering lebih merespons sentimen negatif dibanding kinerja fundamental ekonomi kita yang kuat. Dalam konteks `Jokowi Effect' terlihat bahwa pengaruh yang ditimbulkannya sejatinya tidak lebih besar dibanding faktor fundamental, seperti terlihat dari perkembangan di atas.

Sebagai contoh, penguatan rupiah yang terjadi akibat fundamental ekonomi dalam satu bulan terakhir (sebelum pencapresan Jokowi) menguat sebesar 5,18 persen sedangkan karena `Jokowi Effect' hanya 0,26 persen. Kinerja IHSG dalam satu bulan terakhir menguat 4,6 persen sedangkan karena `Jokowi Effect' hanya 3,23 persen. Begitu juga, yield SBN dalam satu bulan terakhir menurun 37,06 bps sedangkan karena `Jokowi Effect' hanya satu bps. Pertanyaannya, apa arti dari fenomena terkait dengan kinerja pasar keuangan kita ini?

Saya melihat bahwa pencapresan Jokowi memang telah memunculkan sentimen positif terhadap pasar. Na mun, dengan melihat penga ruh yang tipis tersebut, sejatinya pelaku pasar juga masih bersikap realistis, terlihat wait and see, sambil mencermati perkembangan ekonomi selanjutnya.

Perlu diketahui bahwa pasar keuangan kita memang sangat dipengaruhi oleh faktor sentimen (positif maupun negatif). Perkembangan yang terjadi di luar negeri seringkali banyak memengaruhi keputusan perdagangan di pasar keuangan kita. Kondisi ini bisa terjadi karena pasar keuangan kita mayoritas dikuasai oleh pemain asing, baik di saham maupun obligasi.

Tentu, menjadi menarik ketika pasar keuangan di negara lain jatuh (worst), seperti yang terjadi di AS dan Asia, justru pasar keuangan kita menguat. Namun, menjadi tidak relevan bila disimpulkan bahwa penguatan pasar keuangan kita itu semata karena `Jokowi Effect'. Penurunan kinerja pasar keuangan negara-negara Asia, selain dipengaruhi oleh sentimen negatif dari AS, juga disebabkan oleh minimnya sentimen positif yang berasal dari faktor internal mereka.

Kalau kita melihat perkembangan ekonomi yang disajikan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) melalui situsnya, asian bonds online. - adb.org, terlihat bahwa kinerja internal ekonomi sejumlah negara Asia memang menurun. Cina, misalnya, minggu lalu diberitakan untuk pertama kalinya salah satu korporasinya mengalami gagal bayar surat utangnya, di samping pertumbuhan ekonomi yang melemah. Thai land juga diberitakan sedang mempersiapkan APBN-nya untuk 2015 yang akan defisit hingga 500 miliar baht atau empat persen terhadap PDB-nya, naik dua kali lipat diban ding tahun ini. Perlu dicatat, dalam beberapa bulan terakhir ini, kinerja pasar keuangan kita memang relatif lebih baik dibanding dengan sejumlah negara Asia lainnya.

Tulisan ini ingin menegaskan bahwa pencapresan Jokowi memang memberikan sentimen positif bagi pasar keuangan kita sekalipun tipis. Setidaknya, kemunculan Jokowi sebagai capres telah menjadi alternatif di luar calon yang telah terlebih dahulu mendeklarasikan diri, seperti Aburizal Bakrie, Wiranto, dan Prabowo.
Akan menarik lagi dicermati bila muncul figur lain di luar Jokowi yang kini namanya telah beredar, seperti Dahlan Iskan, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Ahmad Heryawan, dan sejumlah nama lainnya.

Dengan kata lain, masih terlalu prematur untuk menjadikan ukuran kinerja pasar saat ini sebagai bentuk dukungan atau penolakan terhadap salah satu capres. Terlebih lagi, kita juga belum mengetahui bagaimana komposisi para pendamping capres (cawapres), termasuk hasil pemilu legislatif nanti. Pelaku pasar juga akan tetap bersikap realistis dalam menyikapi perkembangan ekonomi. Meskipun nanti muncul kandidat capres-cawapres yang dinilai ideal, belum tentu juga akan direspons kuat oleh pasar bila sentimen positif dari faktor fundamental tidak ada. Terlebih lagi, situasi eksternal saat ini masih diliputi ketidakpastian, terutama terkait dengan tapering off di AS serta konflik Rusia-Ukraina.

Kesimpulannya, lebih baik kita menunggu konstelasi politik pascapemilu pada 9 April serta dinamika ekonomi domestik dan global, dibanding membuat kesimpulan dini yang sesungguhnya bersifat sesaat. Wait and see, saya kira itu lebih baik.

Selasa, 21 Mei 2013

Tantangan Menkeu Baru


Tantangan Menkeu Baru
Sunarsip ;  Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
KORAN SINDO, 21 Mei 2013

Teka-teki siapa yang menjadi menteri keuangan (menkeu) definitif terjawab sudah. Kemarin (20 Mei), Presiden akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada Chatib Basri untuk mengemban tugas sebagai menkeu. 

Saya kira, ini adalah tugas yang tidak mudah bagi Chatib. Ini mengingat baru saja menduduki jabatan sebagai menkeu, Chatib sudah harus menghadapi berbagai tantangan yang cukup berat. Dapat dikatakan bahwa Chatib berada dalam momentum yang kurang kondusif. Bisa jadi, istilah the right man on the right place, but the wrong time akan berlaku pada Chatib. 

Kenapa saya katakan begitu? Pertama, sebagai menkeu baru, tugas pertama Chatib adalah dia harus mampu menyukseskan revisi APBN 2013. Revisi APBN 2013 harus dilakukan karena berbagai target dalam APBN 2013 diperkirakan tidak tercapai. Realisasi penerimaan perpajakan diperkirakan Rp40 triliun di bawah target, pertumbuhan ekonomi juga diperkirakan lebih rendah, serta belanja negara diperkirakan melampaui plafon bila tidak dilakukan pengurangan subsidi energi serta efisiensi anggaran. 

Agar sukses dalam melakukan revisi APBN, Chatib Basri harus mampu “menjinakkan” DPR. Sayangnya, Chatib belum memiliki pengalaman yang telah teruji ketika harus menghadapi DPR. Kedua, mengelola Kementerian Keuangan bukanlah sekadar mengelola kebijakan fiskal dalam konteks makro. Menkeu juga harus melakukan hal-hal yang bersifat mikro teknis dalam rangka meraih tujuan makronya: berjalannya kebijakan fiskal. 

Satu hal yang patut dicatat, tahun 2012 lalu, kontribusi belanja pemerintah (APBN) terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tidak hanya kecil, tetapi pertumbuhannya juga menurun. Tahun lalu, belanja pemerintah hanya tumbuh 1,2%, jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2011 yang tumbuh 3,2%. Tidak hanya itu, kontribusi pertumbuhan dari sisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi juga turun, yaitu dari 0,3% (2011) menjadi 0,1% (2012). 

Rendahnya kontribusi dan pertumbuhan belanja pemerintah tersebut penyebab utamanya adalah realisasi belanja pemerintah yang rendah. Persoalannya, rendahnya realisasi belanja pemerintah ini lebih banyak disebabkan persoalan teknis seperti mekanisme pencairan anggaran antarkementerian yang belum sepenuhnya lancar. Di sinilah tantangannya bagi Chatib Basri yang notabene dikenal sebagai ekonom yang lebih banyak berkecimpung pada tataran macropolicy. 

Chatib harus segera “melengkapi” dirinya dengan pemahaman teknis mikro agar dapat melakukan berbagai terobosan untuk mengatasi bottleneck yang terjadi dalam mekanisme anggaran. Ketiga, Chatib Basri menjadi menkeu pada saat perekonomian kita sedang memasuki musim politik, khususnya menjelang 2014. 

Pada umumnya, memasuki tahun politik ini, kebijakan ekonomi yang diambil berpotensi hanya didasarkan pada kepentingan jangka pendek serta lebih cenderung populis. Di sinilah tantangannya. Ini mengingat Chatib selama ini dikenal sebagai ekonom yang idealis, tidak terlalu suka dengan kebijakan populis. Tentunya, akan banyak tuntutan, bahkan mungkin tekanan, yang dapat berasal dari berbagai pihak yang harus dihadapi Chatib dalam mengelola kebijakan fiskalnya. 

Bisa jadi, ini akan menjadi atmosfer yang “asing” bagi Chatib meskipun sebelumnya dia pernah menjalani “masa-masa percobaan”, baik pada saat sebagai staf khusus menkeu (di era Sri Mulyani Indrawati) maupun pada jabatan sebelumnya sebagai kepala BKPM. Keempat, Chatib Basri juga dihadapkan pada tantangan perekonomian yang tidak ringan. Saat ini, kita masih dihadapkan pada krisis global (terutama Eropa) yang ternyata masih jauh dari pulih. 

Tidak hanya di Eropa, negara-negara di Asia juga mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dua negara besar Asia yang menjadi salah satu tujuan utama ekspor kita, India dan China, kini pertumbuhannya melambat. Kondisi ini tentunya mengancam prospek ekspor Indonesia. Dari sisi internal, perekonomian kita juga mengalami perlambatan pertumbuhan. 

Sejak kuartal II/2012, laju pertumbuhan ekonomi kita cenderung menurun. Kinerja neraca pembayaran kita juga cenderung melemah dan puncak pelemahan tersebut terlihat pada kinerja neraca pembayaran kita pada kuartal I/2013 lalu yang mengalami defisit USD6,6 miliar. APBN kita juga menghadapi masalah yang serius. 

Tingginya subsidi BBM membuat APBN 2013 terasa pincang karena alokasinya yang tidak seimbang antara anggaran untuk belanja modal (termasuk infrastruktur) dan sektor-sektor lain yang lebih produktif. Kombinasi problem neraca pembayaran dan APBN itulah yang kemudian menekan nilai tukar rupiah serta menurunkan outlook perekonomian kita. Karena itu tidak mengherankan bila lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor’s (SP), awal Mei lalu, menurunkan outlook utang kita. 

Mampukah Chatib Basri melalui kebijakan fiskal yang dipegangnya mengubah kondisi tersebut ke prospek yang lebih baik? Pertanyaannya inilah yang menjadi keraguan sebagian kalangan atas penunjukan Chatib tersebut. Namun Chatib Basri juga memiliki eksposur yang cukup yang diperlukan oleh Presiden sebagai menkeu. 

Chatib pernah terlibat dalam penyusunan skema Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada saat pemerintah menempuh kebijakan kenaikan harga BBM pada 2005 dan terbukti kebijakan BLT tersebut efektif mengobati dampak kebijakan kenaikan harga BBM tersebut pada rakyat miskin. Bisa jadi memang salah satu pertimbangan Presiden menunjuk Chatib Basri adalah untuk mengamankan rencana kebijakan kenaikan harga BBM sekaligus untuk memastikan ketepatan kebijakan Bantuan Langsung Swadaya Masyarakat (BLSM) atau bentuk lain dari BLT agar betul efektif dalam menahan dampak negatifnya kepada rakyat miskin. 

Chatib Basri, selain cakap dan kompeten di bidang kebijakan makro fiskal, juga memiliki relasi yang baik dengan lembaga-lembaga internasional. Relasi ini tentunya positif dalam menjaga agar eksposur Indonesia tetap positif di mata internasional. Simpulannya, Chatib Basri adalah orang yang kompeten untuk menjalankan peran sebagai menkeu dalam konteks pengelolaan kebijakan fiskal. 

Tinggal bagaimana dia mampu menutupi beberapa kekurangan, khususnya hal-hal yang bersifat mikro teknis, relasinya dengan parlemen, agar visi dirinya di bidang kebijakan fiskal tidak mengalami hambatan di tataran implementasi. Selamat bertugas, Menkeu baru. Saya tahu tugas berat sudah menantimu.

Minggu, 29 Januari 2012

Menanti Kebijakan Penurunan Bunga Kredit


Menanti Kebijakan Penurunan Bunga Kredit
Sunarsip, EKONOM THE INDONESIA ECONOMIC INTELLIGENCE (IEI)
Sumber : KORAN TEMPO, 30Januari 2012


Keinginan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga kredit bank tampaknya serius. Setidaknya, hal itu terlihat dari persiapan yang dilakukan BI untuk menyusun perangkat kebijakannya. Kita berharap, kebijakan BI nantinya dikeluarkan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Melalui PBI, hal itu menunjukkan kesiapan BI dalam merancang kebijakan tersebut secara komprehensif. Perlu diketahui, sejatinya tidak mudah merancang kebijakan untuk mengarahkan penurunan suku bunga kredit ini. Persoalan suku bunga kredit di Indonesia terlalu kompleks.

Di sisi lain, tingkat suku bunga yang terbentuk semestinya merupakan hasil dari mekanisme pasar. Dalam teori kebijakan publik, ketika pasar mengalami kegagalan (market failure), negara memang harus melakukan intervensi. Tujuannya, agar mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan yang nyata (bukan keseimbangan semu) sehingga dapat memberikan manfaat optimal bagi pelaku pasar. Pertanyaannya, apakah saat ini pasar (suku bunga) memang dinilai telah gagal? Apakah kebijakan yang diambil akan mengakomodasi hal-hal di luar aspek perbankan, yang sejatinya juga ikut membentuk tingkat suku bunga? Belum jelas. Tetapi, sebagai sebuah ikhtiar, tentunya kita perlu memberikan jalan keluar untuk memecahkan masalah ini.

Laba dan Efisiensi

Saya perhatikan, keluarnya wacana penurunan suku bunga kredit ini sejatinya berawal dari pidato Gubernur BI Darmin Nasution pada saat Pertemuan Perbankan Tahunan 2011 pada 9 Desember 2011 . Melalui pidatonya yang berjudul "Mewujudkan Keseimbangan yang Efisien Menuju Pertumbuhan yang Berkesinambungan", Gubernur BI secara eksplisit menyoroti keterkaitan antara ketersediaan pembiayaan dan tingginya suku bunga kredit, yang seolah menegaskan bahwa hambatan pembiayaan di Indonesia adalah disebabkan oleh tingginya suku bunga kredit.

Kontribusi pembiayaan perbankan memang relatif rendah saat ini. Berdasarkan data dari BI, rasio total aset industri perbankan terhadap PDB di Indonesia telah mencapai 47,2 persen (September 2011). Namun rasio penyaluran kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 29 persen (September 2011). Sebagai perbandingan, data Bank Dunia memperlihatkan rasio penyaluran kredit perbankan terhadap PDB di Malaysia, Thailand, dan Cina masing-masing 114 persen, 117 persen, dan 131 persen.

Ironisnya, perbankan di Indonesia justru meraup keuntungan besar, bahkan paling besar, di antara negara-negara ASEAN. Pada November 2011, tingkat return on asset(ROA) perbankan di Indonesia mencapai 3,07 persen, jauh lebih tinggi dibanding di negara-negara ASEAN lainnya, yang rata-rata hanya 1,14 persen. Di sisi lain, efisiensi perbankan di Indonesia dinilai masih rendah, seperti terlihat dari rasio BOPO yang mencapai 85,97 persen (November 2011). Sebagai perbandingan, rasio BOPO (biaya operasi terhadap pendapatan operasi) perbankan di ASEAN berkisar 40-60 persen.

Ketidakefisienan ini tentunya akan melahirkan biaya ekonomi tinggi, sehingga kurang kompetitif. Tingginya ongkos pembiayaan di Indonesia tecermin pada suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) yang sebesar 12 persen (November 2011), meskipun suku bunga acuan (BI Rate) sudah mencapai 6 persen. Sebagai perbandingan, di Malaysia dan Filipina, dengan suku bunga acuan masing-masing 3 persen dan 4,5 persen (reverse repo), tingkat suku bunga kredit bank hanya 6,5 persen dan 5,7 persen (Oktober 2011).

Kombinasi antara tingginya laba perbankan dan tingginya inefisiensi inilah yang disinyalir menjadi penyebab tingginya suku bunga kredit. Penetapan suku bunga kredit oleh perbankan dilakukan untuk menutup tingginya biaya serta menjaga margin agar tetap memberikan keuntungan. Namun, akibatnya, penetrasi pembiayaan perbankan menjadi terabaikan, seperti terlihat dari rendahnya rasio pembiayaan perbankan terhadap PDB.

Biaya Dana

Saya melihat bahwa fokus penurunan inefisiensi semestinya lebih diarahkan pada sisi liabilities(dana), bukan pada sisi asset (kredit) neraca bank. Ini mengingat sebagian besar sumber inefisiensi berasal dari sisi dana, khususnya terkait dengan tingginya biaya dana (cost of fund). Hanya, patut dicatat pula bahwa sebagian dari faktor pembentuk cost of fund juga berada di luar kontrol perbankan.

Saya berpendapat, membandingkan tingkat bunga kredit di Indonesia dengan di negara lain tidaklah fair. Ini mengingat, cost of fund perbankan di negara lain jauh lebih rendah dibanding di Indonesia. Sebagai contoh, berdasarkan data dari The Economist (edisi 21 Januari 2012), bunga deposito (3 bulan) di Malaysia hanya 3,22 persen. Jika suku bunga kredit di Malaysia sebesar 6,5 persen, itu berarti spread-nya (selisih antara bunga kredit dengan bunga simpanan) sebesar 3,28 persen. Sekalipun terlihat rendah ("hanya" 3,28 persen), sejatinya spread tersebut 50 persen sendiri dari dari tingkat bunga kredit di Malaysia.

Bandingkan dengan di Indonesia. Suku bunga deposito (3 bulan) di Indonesia sebesar 9,78 persen. Sementara itu, suku bunga KMK sebesar 12 persen. Itu berarti, spread-nya hanya sekitar 2,22 persen atau hanya 18,5 persen dari suku bunga kredit di Indonesia. Tentunya, kita tidak ingin menekan spread hingga nominalnya seperti di Malaysia. Sangat keliru bila kita ingin menyetarakan besarnya nominal spread perbankan di Indonesia dengan di Malaysia, karena kondisinya tidak apple to apple.

BOPO perbankan di Indonesia memang lebih tinggi dibanding di negara lain (Malaysia misalnya). Namun upaya penurunan BOPO di Indonesia jauh lebih sulit dibanding di Malaysia. Ini mengingat BOPO juga terkait dengan geografis Indonesia yang luas serta infrastruktur yang tidak memadai, sehingga menyebabkan biaya pembukaan kantor cabang, misalnya, lebih mahal. Komposisi kredit yang disalurkan bank-bank kecil menengah yang kebanyakan di retail, mikro, dan kecil juga membuat biaya pengelolaan kredit menjadi lebih besar. Tingginya BOPO ini akhirnya harus ditutup dengan margin tinggi.

Kesimpulannya, fokus pada upaya menurunkan cost of fund menjadi tujuan antara (intermediate goal) yang realistis diupayakan saat ini. Dan kuncinya adalah menciptakan kondisi di mana para pemilik dana besar bersedia mengalihkan dananya ke simpanan berbiaya murah (giro dan tabungan). Bila upaya ini tidak berhasil, rasanya sulit kita dapat mewujudkan kondisi di mana bunga kredit menjadi kompetitif. Ini mengingat, saat ini komposisi dana berbiaya mahal masih relatif tinggi, yaitu sekitar 46 persen (November 2011). Dana murah pun hanya dikuasai oleh beberapa bank besar, di mana 10 bank besar menguasai sekitar 70 persen dana murah. Selebihnya, 30 persen dana murah diperebutkan oleh 110 bank kecil.

Terdapat beberapa solusi untuk "menekan" pemilik dana besar agar mengalihkan dananya ke simpanan berbiaya murah. Pertama, mengatur agar bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan tidak melebihi BI Rate. Kedua, mengaitkan besarnya bunga kredit yang diterima nasabah besar (yang biasanya juga pemilik dana besar) dengan komposisi dana yang ditaruh di bank. Ketiga, moral suasion, khususnya bagi pemilik dana besar dari BUMN non-keuangan untuk mengalihkan dananya ke giro atau tabungan. Sementara itu, pemilik dana besar lembaga keuangan (asuransi dan dana pensiun) diarahkan untuk menempatkan dananya pada obligasi yang diterbitkan bank.

Jumat, 20 Januari 2012

Investment Grade, IPO, dan Obligasi BUMN


Investment Grade, IPO, dan Obligasi BUMN
Sunarsip, CHIEF ECONOMIST
Sumber : REPUBLIKA, 16 Januari 2012


Indonesia baru saja memperoleh “bonus“ I berupa kenaikan peringkat utang dari Fitch Ratings. Sejak 15 Desember 2011, per ingkat utang (sovereign) Indonesia untuk foreign currency long-term senior debt berada pada level BBB(atau level investment grade).

Di tengah jatuhnya kepercayaan pasar terhadap Eropa dan Amerika Serikat (AS), kenaikan peringkat utang ini jelas memiliki arti penting bagi Indonesia. Semestinya, status investment grade ini dapat mempermudah dana asing (khususnya dana jangka panjang) masuk, baik melalui investasi langsung maupun pasar modal dengan membeli saham atau obligasi yang diterbitkan korporasi di Indonesia.

Kenaikan peringkat Indonesia ini seolah menemukan momentumnya, setidaknya bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemerintah, seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembukaan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 3 Januari, menjanjikan tiga hingga lima BUMN akan mencatatkan sahamnya di BEI melalui initial public offering (IPO). Menurut Menteri BUMN Dahlan Iskan, IPO atas BUMN diperkirakan dilaksanakan pada semester II 2012. Saat ini, terdapat satu BUMN yang hampir dipastikan akan IPO pada 2012, yaitu Semen Baturaja.

Saya memperkirakan, bila tidak ada kendala nonteknis, realisasi IPO BUMN akan dapat memenuhi target. Tidak hanya karena didukung oleh iklim pasar modal kita yang semakin kondusif seiring dengan status investment grade, kinerja BUMN secara keseluruhan juga semakin membaik. Kini, tinggal bagaimana pemerintah mampu mengelola isu-isu nonteknis (seperti politik) terkait dengan rencana IPO BUMN tersebut.

Sebab, belajar dari pengalaman IPO Krakatau Steel dan Garuda Indonesia tahun lalu, bila pemerintah tidak tepat dalam menyusun desain IPO BUMN, situasi ini akan dengan cepat menjadi isu politik yang pada akhirnya dapat mengganggu reputasi IPO BUMN.

Status investment grade juga memberikan momentum baik bagi BUMN yang akan menerbitkan obligasi. Perlu diketahui bahwa salah satu orientasi Kementerian BUMN saat ini adalah mendorong BUMN untuk lebih membuka diri (dalam arti lebih transparan), baik melalui IPO maupun penerbitan obligasi. IPO BUMN terbukti berkontribusi dalam mewujudkan transparansi yang lebih di BUMN. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak semua BUMN dapat didorong untuk melakukan IPO, antara lain, karena karakteristik BUMN tersebut. Menyadari hal itu, Kementerian BUMN akan mendorong BUMN yang belum IPO untuk menerbitkan obligasi.

Saya melihat bahwa langkah Kementerian BUMN yang akan mendorong penerbitan obligasi BUMN merupakan terobosan (break through) positif bagi BUMN menjadi lebih transparan di tengah sensitifnya isu privatisasi BUMN. Seperti kita keta hui, kebijakan privatisasi BUMN hingga saat ini masih menjadi isu yang selalu kontroversial.

Tak terkecuali, BUMN yang di privatisasi melalui IPO. Padahal, banyak yang menyakini IPO me ru pakan metode privatisasi BUMN yang lebih baik diban ding kan metode lainnya. Namun, tetap saja tidak mudah akan menerapkan IPO pada BUMN yang memiliki sensitivitas tinggi.

Sebagai contoh, bila kebijakan privatisasi diterapkan terhadap Pertamina, sekalipun dengan menggunakan metode IPO, saya memperkirakan langkah ini akan menjadi isu yang sangat sensitif bagi para pemangku kepentingan (stakeholders). Pertamina adalah BUMN sektor energi terbesar di Indonesia yang sahamnya dimiliki penuh oleh pemerintah. Pertamina juga telah menjadi simbol bagi Indonesia. Sehingga, memang tidak keliru bila Pertamina telah menjadi semacam miniaturnya Indonesia. Oleh karenanya, juga tidak

sepenuhnya keliru bila ada yang mempersepsikan kebijakan menjual saham Pertamina (sekalipun melalui IPO) itu sama dengan menjual negara.

Pada 2003, Rizal Ramli bersama Tim Indonesia Bang kit/TIB (termasuk saya di dalamnya) pernah melontarkan gagasan untuk meng-IPO-kan Pertamina. Waktu itu, Rizal Ramli dan TIB mengusulkan agar saham Pertamina dilepas sekitar 10 persen melalui IPO.

Gagasan dibuat dalam rangka memperkuat penggalangan sumber pembiayaan pemerintah agar Indonesia bisa secepatnya keluar dari program Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, seperti diprediksi sebelumnya, ide melepas sebagian saham negara di Pertamina ini memang bukan ide populis sehingga pasti akan menimbulkan kontroversi.

Padahal, sebagai perusahaan yang kini sedang melakukan transformasi menjadi national oil world class company, Pertamina dituntut memiliki dan menerapkan governance yang sesuai standar internasional. Dan biasanya, hal itu dapat dilakukan bila perusahaan tersebut menjadi perusahaan publik (go public). Pertanyaannya, bagaimana kita bisa “memaksa” Pertamina dan BUMN yang belum go public lainnya agar mengadopsi standar governance yang berlaku di pasar modal, bila tidak ada kewajiban bagi BUMN terkait agar memublikasi atas segala hal yang terkait dengan kebijakannya (corporate matters)?

Melalui penerbitan obligasi, BUMN nanti akan “dipaksa“ atau “terpaksa“ mengikuti protokol pasar modal (capital market protocol) selayaknya perusahaan yang telah IPO.
Meskipun BUMN terkait belum merupakan perusahaan terbuka, namun manajemen BUMN selaku emiten (perusahaan yang menerbitkan obligasi) tetap harus bertanggung jawab kepada publik atas kinerja perusahaannya, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan otoritas pasar modal (Bapepam).
 

Selain itu, penerapan good corporate governance (GCG), capital market protocol, dan asas pertanggungjawaban kepada publik dapat membantu BUMN dalam membentengi diri dari berbagai bentuk intervensi pihak luar yang tidak sejalan dengan kepentingan perusahaan.

Beberapa BUMN nonpublik yang telah menerbitkan obligasi (khususnya global bond) adalah PLN (tahun 2006) dan Pertamina (tahun 2011). Kini, BUMN yang telah menerbitkan obligasi dituntut memiliki sistem akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang dipersyaratkan oleh otoritas pasar modal dari negara yang menjadi pasar penerbitan obligasi tersebut. Sebagai misal, se laku perusahaan yang telah menerbitkan obligasi global di Bursa Efek Singapura, Perta mina kini dituntut memenuhi (com ply) ketentuan pasar mo dal yang berlaku di Singapura.

Sejalan dengan meningkatnya kinerja perekonomian Indonesia serta menurunnya tingkat bunga acuan (BI Rate), pada 2008–2011 akumulasi emisi obligasi korporasi (termasuk BUMN) adalah sekitar Rp 118,7 triliun. Saat ini, emiten obligasi BUMN/BUMD/ afiliasi memiliki pangsa pasar (market share) sekitar 45 persen dari total saldo obligasi yang tercatat di BEI.

Pada 2012, BEI telah mencatat rencana penerbitan obli gasi korporasi sekitar Rp 30 triliun. Saya memperkirakan, seiring dengan masih akan berlanjutnya tren BI Rate yang rendah, status Indonesia sebagai investment grade, dan adanya gairah penerbitan obli gasi BUMN ini, realisasi penerbitan pada 2012 diperkirakan akan lebih tinggi.

Kesimpulannya, investment grade yang diperoleh Indonesia akan menjadi momentum bagi BUMN untuk menerbitkan saham (melalui IPO) dan obli gasi. Semestinya juga, dengan status Indonesia yang baru ini, kinerja BUMN kita ke depan juga meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.