Jumat, 21 Maret 2014

Efek “Jokowinomics”

Efek “Jokowinomics”

Nugroho SBM  ;   Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB)
Universitas Diponegoro Semarang
SUARA MERDEKA,  21 Maret 2014
                          
                                                                                         
                                                      
PASAR saham dan valuta asing merespons positif pencalonan Jokowi sebagai presiden dari PDIP. Setelah deklarasi itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) naik 3,2% menjadi 4.878, level tertinggi pada tahun ini. Rupiah juga menguat menjadi Rp 11.355 per dolar AS. Jauh sebelum pengumuman itu, banyak bank asing memprediksi kondisi ekonomi Indonesia akan membaik yang dicerminkan oleh kemenguatan nilai rupiah terhadap dolar AS.

Malayan Banking BHD membuat skenario andai Jokowi menjadi presiden maka kurs rupiah/dolar AS bisa mencapai Rp 11.300 dan andai bukan Jokowi Rp 11.700. Bank OCBC memprediksi andai Jokowi presiden maka kurs rupiah/dolar AS adalah Rp 12.000, dan andai bukan Jokowi Rp 12.600.

Sementara itu, Rabbo Bank Internasional memprediksi kurs rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp. 11.750 dan jika bukan Rp 11.800. Tak ketinggalan, lembaga pemeringkat utang dan ekonomi internasional Morgan Stanley memprediksi andai Jokowi menjadi RI 1 maka kurs rupiah/ dolar AS Rp 11.800.

Hal ini mencerminkan pelaku pasar dan ekonomi merespons positif pencapresan Jokowi, termasuk keterpilihannya. Tapi sebenarnya, Indonesia tanpa pencapresan Jokowi pun merupakan pasar menarik baik bagi investasi asing langsung (pendirian pabrik) maupun investasi portofolio (pembelian surat berharga dan spekulasi dalam valuta asing).

Alasan bagi investasi asing langsung adalah jumlah penduduk yang besar dengan mereka yang berpendapatan menengah yang cukup besar, dan terus bertambah. Juga Indonesia mendapatkan bonus demografi berupa penduduk usia produktif yang bisa dimanfaatkan sebagai tenaga kerja yang baik.

Hanya selama ini potensi ini tersembunyi akibat infrastruktur yang buruk, ekonomi biaya tinggi akibat merajalelanya korupsi, dan berbelitnya birokrasi. Maka ketika Jokowi dicapreskan oleh PDIP timbul efuforia yang mungkin bersifat sesaat. Kondisi itu dalam analisis pasar modal dan pasar valuta asing disebut faktor teknikal.

Faktor teknikal ini biasanya faktor nonekonomi (seringkali adalah faktor politik) dan bersifat sementara. Faktor teknikal lain adalah spekulasi. Spekulan tentu akan memanfaatkan tiap kejadian apa pun untuk memainkan kurs di pasar valuta asing, termasuk dalam pencapresan Jokowi ini.  

Namun tampaknya pencapresan Jokowi, dan banyak yang meramalkan ia hampir pasti menjadi presiden, juga dilandasi pertimbangan mendasar (fundamental) yang bersifat ekonomi dan jangka panjang. Faktor fundamental itu pertama; Jokowi dikenal sebagai figur jujur dan bersih dan terus membenahi birokrasi di tempat memimpin (Surakarta dan DKI Jakarta).

Kedua; PDIP diperkirakan menguasai mayoritas kursi DPR sehingga pemerintahan lebih stabil. Keputusan atau kebijakan di bidang ekonomi lebih mudah diambil tanpa faktor transaksional. Dengan demikian dunia usaha lebih tenang menjalankan bisnis. Tidak seperti sekarang kabinet diwarnai koalisi pelangi yang sering menghambat peluncuran kebijakan ekonomi yang positif.

Ketiga; pilpres diperkirakan satu putaran sehingga masa tunggu bagi dunia usaha lebih singkat. Setelah pilpres maka dunia usaha bisa segera melanjutkan usaha. Keempat; Jokowi mendapat dukungan dari masyarakat sipil secara luas. Ini memungkinkan pemerintahannya lebih stabil karena tak diganggu protes masyarakat.

Kelima; banyak kalangan bahkan membuat proyeksi lebih jauh, yaitu andai Jokowi menjadi presiden dan pemerintahannya efektif dan bersih maka ada beberapa sektor usaha yang prospektif atau melaju cepat, yaitu infrastruktur, properti, perbankan, dan otomotif.

Syarat Berusaha

Namun, ada beberapa syarat yang dituntut oleh dunia usaha bila kelak Jokowi terpilih menjadi presiden. Pertama; kabinet, khususnya posisi kunci di bidang ekonomi, seperti menko ekuin, menkeu, menteri BUMN, dan menteri ESDM ditempati orang yang benar-benar kompeten.

Selama ini sudah beredar kabinet bayangan yang disusun oleh PDIP jika nanti Jokowi dan PDIP memimpin di eksekutif dan legislatif. Namun banyak diisi oleh kader banteng bermoncong putih yang saat ini di parlemen. Ada baiknya PDIP mempertimbangkan pola kabinet ahli (zaken kabinet) zaman Soeharto.

Terlepas dari kekurangan rezim Orba, salah satu kebaikannya adalah dalam menyusun kabinet. Soeharto jeli memilih orang-orang yang ahli di bidangnya, yaitu orang nonbirokrasi dan nonpolitis, seperti pakar dari perguruan tinggi. PDIP bisa mencontohnya. Kedua; Jokowi dan jajarannya harus punya visi khusus di bidang ekonomi. Masa depan paling dekat adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Artinya, Jokowi dan jajarannya harus memberi landasan kuat lewat berbagai kebijakan supaya dunia usaha Indonesia bisa bersaing dengan sesama negara ASEAN.

Tahun 2015 barangkali isu pengetatan likuiditas oleh Bank Sentral AS direalisasikan. Ini juga membawa berbagai persoalan ekonomi serius bagi Indonesia, antara lain kemerosotan kurs rupiah terhadap dolar AS dan kemeningkatan suku bunga akibat antisipasi BI menahan kurs rupiah/dolar AS supaya tidak terjun bebas.

Ketiga; Jokowi dan jajarannya harus memiliki diplomasi luar negeri yang baik. Banyak pihak menyebut diplomasi luar negeri kita selama ini lemah. Dengan kelemahan itu, Indonesia mudah dipermainkan oleh lembaga ekonomi internasional, seperti IMF dan WTO serta negara seperti AS (dalam kontrak pertambangan). Hal ini bisa diatasi asalkan Jokowi tepat memilih menlu dan dubes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar