Rabu, 01 Februari 2012

Jika Iran Diserang


Jika Iran Diserang
Muhammad Ja’far, PENGAMAT TIMUR TENGAH; PENELITI INDOPOL RESEARCH CENTER
Sumber : KORAN TEMPO, 2Februari 2012


Ibarat balon, potensi krisis yang kini melanda Amerika Serikat dan Eropa semakin menggelembung. Menyerang Iran secara militer, dengan tuduhan pengembangan senjata nuklir, bisa menjadi peniti peletusnya. Dan dentuman pecahan balon (efek krisis) akan terdengar di seantero global, termasuk Asia.

Kini, isu nuklir Iran semakin panas. Negara-negara Eropa menjatuhkan sanksi embargo minyak ke Iran. Langkah ini ditujukan untuk menekan Iran secara ekonomi, agar bisa melunak di tingkat negosiasi politik. Bahkan muncul opsi tentang serangan militer ke Iran, meski opsi ini belum menguat. Namun Iran menjawab tekanan itu dengan menunjukkan betapa pentingnya peran Iran sebagai salah satu penyuplai kebutuhan minyak dunia, termasuk suplai ke negara-negara Eropa.

Sebagai gambaran, 30 persen kebutuhan minyak domestik Yunani diimpor dari Iran. Saat ini, ekonomi Yunani sedang sekarat. Terhentinya suplai minyak Iran ibarat dicabutnya “slang oksigen”. Yunani akan kolaps. Lebih dari itu, jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz sebagai bentuk perlawanan, rembetan krisis semakin menjalar luas, karena 20 persen konsumsi minyak mentah dunia melewati selat itu.

Meski Arab Saudi menjamin akan mensubstitusi kebutuhan minyak yang hilang akibat penutupan Selat Hormuz dan tindakan militer akan segera dikerahkan untuk membuka kembali Hormuz, pasar minyak akan telanjur panik. Harga akan terkerek di atas US$ 100 per barel. Efeknya, instabilitas ekonomi global. Sekadar ilustrasi, jika harga minyak menyentuh titik US$ 150 per barel, subsidi bahan bakar minyak yang harus dikeluarkan pemerintah Indonesia sebesar Rp 200 triliun.

Kancah Politik

Kita tahu, ilmu pengetahuan tidak netral. Ada kuasa di dalamnya. Baik dalam mengkonstruksikan konsepsinya maupun mendayagunakan hasilnya. Diskursus nuklir adalah bukti otentik. Di kancah politik, ambivalensi nuklir terang sekali. Apalagi ditambah dengan karut-marut pola komunikasi politik dan strategi diplomasi. Kancah politik menyibak tirai klaim obyektivitas sains. Bahwa itu tak lebih dari ekspresi subyektivitas hegemoni sebuah nalar (Barat) di atas inferiorisasi nalar yang lain (Timur).

Amerika Serikat, Eropa, dan Israel semakin kuat menekan Iran untuk menghentikan program nuklirnya, atas tuduhan bertujuan militer. Sedangkan Iran sendiri menegaskan tujuan damai dari program nuklirnya itu. Dalam politik, obyektivitas memang sulit ditemukan. Kepentingan disepakati sebagai “subyektivitas yang paling obyektif”. Tapi setidaknya ada ukuran-ukuran yang bisa dijadikan sebagai standar moral dan etik.

Pertama, secara faktual, ada beberapa negara yang secara pasti memiliki senjata nuklir, termasuk Israel. Tentu menimbulkan “irasionalitas” tersendiri jika serangan militer terhadap Iran dinisbatkan pada argumentasi: menciptakan tata keamanan dan perdamaian global. Ini lebih kepada persoalan superioritas dan inferioritas kekuasaan dalam tata hubungan politik global.

Kedua, tuduhan penggunaan senjata pemusnah massal yang menjadi landasan keputusan invasi ke Irak pada 2003 tidak pernah terbukti secara ilmiah dan konkret hingga saat ini. Tuduhan itu menjadi “mitos ilmiah” dalam laboratorium kekuasaan. Fenomena itu membuktikan adanya jarak antara sains dan politik. Terjadi praktek politisasi ilmu(wan) atau “saintifikasi” politik. Ilmu(wan) digunakan untuk melegitimasi keputusan politik. Sebaliknya, sebuah keputusan politik diklaim memiliki basis argumentasi ilmiahnya (sains). Ada kuasa dalam ilmu. Ada ilmu yang merasuk dalam kekuasaan. Di sini, politik menyingkap secara jelas klaim obyektivitas dan netralitas ilmu pengetahuan sebagai sebuah mitos.

Ketiga, soal nuklir Iran menunjukkan adanya jarak antara prinsip politik dan pragmatisme ekonomi yang terjadi dalam tatanan relasi global saat ini. Larangan kepada berbagai negara untuk mengimpor minyak dari Iran menjadi strategi politis untuk menekan negeri itu. Mengucilkan Iran secara ekonomi diharapkan bisa meluluhkan diplomasi politiknya. Tapi, problematisnya, tingkat ketergantungan “bangunan ekonomi global” pada hasil minyak negara Timur Tengah, salah satunya Iran, sangat tinggi. Ibarat permainan tali-temali ala koboi, sanksi embargo minyak Iran akan menjerat laju ekonomi banyak negara, termasuk AS dan Eropa sendiri.

Selain itu, historisitas politik Iran sangat tidak asing dengan tindakan represi politik dan isolasi ekonomi. Satu tahun setelah berdirinya, negara Islam Iran sudah digempur oleh Saddam Husein. Setelah masa itu, Iran juga tumbuh dalam jeratan sanksi embargo ekonomi. Namun Iran dapat bertahan. Jadi, historisitas politik membuat negeri itu memiliki imunitas tersendiri terhadap tekanan politik dan embargo ekonomi. Kesimpulannya, jika serangan militer terhadap Iran dimaksudkan untuk tujuan ini, tidak akan terjamin efektivitasnya. Malah berefek pada lingkup global.

Risiko Serangan

Sebaliknya, serangan ke Iran memiliki risiko besar pada politik luar negeri dan ekonomi Negeri Abang Sam, Eropa, dan Israel sendiri. Cina dan Rusia, meskipun tidak akan sepenuhnya menunjukkan dukungan kepada Iran, tentu berharap serangan itu akan menyita cukup banyak energi politik dan militer Amerika Serikat. Semakin meneguhkan era transisional menuju semakin superiornya Cina.

Serangan ke Iran akan membuat Eropa, yang sedang membenahi ekonomi dalam negerinya, terbelah konsentrasinya. Akan ada alokasi dana baru untuk kepentingan militer di tengah resesi keuangan yang melanda. Sementara itu, untuk Israel, serangan ini memang dapat memperluas radius rasa amannya yang selama ini terganggu oleh pertumbuhan kekuatan Iran.

Namun, pada sisi yang lain, keuntungan ini harus dibayar mahal dengan kemungkinan masifnya serangan balik militer Iran ke beberapa jantung pertahanan dan kota Israel. Bagi negara Israel yang selama ini sangat menekankan “psikologi stabilitas”, kondisi seperti itu akan menjadi yang paling parah dalam rentang sejarah politiknya. Apalagi, posisi dan daya tawar politik Israel masih “goyang” seiring dengan pergantian kekuasaan di Mesir, Tunisia, Libya, dan Yaman. Ini bukan saat yang tepat bagi Israel untuk terlibat dalam sebuah perang.

Sementara itu, Iran sendiri memiliki daya tawar politik tinggi dan pengaruh kuat di beberapa negara ini: Lebanon, Suriah, Irak, dan Bahrain. Pemerintah Bahrain masih sibuk meredam gejolak revolusi yang potensial menaikkan kelompok Syiah ke kekuasaan. Sedangkan di Irak, faksi politik pro-Iran adalah mayoritas. Walaupun tidak memberikan dukungan langsung, Lebanon dan Suriah akan berada di belakang Iran. Semua ini memberikan kekuatan moral politis bagi Iran.

Walhasil, serangan ke Iran penuh risiko. Bukan menyelesaikan masalah, keputusan ini justru semakin meremukkan tata politik global dan menghantam ekonomi AS dan Eropa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar