Rabu, 01 Februari 2012

KPK dan Nasib “Ketua Besar”

KPK dan Nasib “Ketua Besar”
Ikrar Nusa Bhakti, PROFESOR LIPI
Sumber : KOMPAS, 1Februari 2012


Pertemuan khusus Dewan Pembina Partai Demokrat di rumah Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, 24 Januari lalu, belum menentukan masa depan politik Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Anas disebut-sebut oleh mantan Bendahara Partai Demokrat yang sedang diadili, M Nazaruddin, serta bekas dua anak buah Nazaruddin—Mindo Rosalina Manulang dan Yulianis—terlibat dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games XXVI di Palembang (2011) senilai Rp 161 miliar dan Kompleks Olahraga Hambalang, Bogor, senilai Rp 1,6 triliun.

Pengumuman tersangka baru korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 25 Januari 2012 hanya menyebutkan Miranda Swaray Goeltom sebagai tersangka baru soal pemberian cek perjalanan kepada beberapa anggota DPR (1999-2004).

Masyarakat mempertanyakan mengapa sampai sekarang KPK belum juga menyebut beberapa nama beken lain di Partai Demokrat, seperti Ketua Umum Anas Urbaningrum, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Demokrat Mirwan Amir, anggota Badan Anggaran DPR Angelina Sondakh, dan anggota Komisi Energi DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana, sebagai tersangka.

Kini, bukan saja masyarakat yang menunggu pengumuman KPK soal nama baru yang masuk kategori tersangka korupsi. Tokoh Partai Demokrat, seperti Wakil Sekjen Saan Mustofa dan Wakil Ketua Dewan Pembina Evert Erenst Mangindaan, juga berharap KPK cepat mengumumkan apakah nama Anas Urbaningrum menjadi salah seorang tersangka korupsi.

Semua ini untuk menentukan nasib politik Anas ke depan yang, oleh Mindo Rosalina Manulang dan M Nazaruddin, disebut sebagai ”Ketua Besar” yang juga menikmati hasil korupsi M Nazaruddin.

Sekutu jadi Seteru

Mari menyimak hubungan antara M Nazaruddin dan Anas Urbaningrum. Semula, kedua tokoh muda Partai Demokrat itu amat dekat dan bagian dari satu kubu politik yang sama. Keduanya bersekutu tidak hanya di bidang politik pada Kongres Nasional II Partai Demokrat di Bandung, April 2010, yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum.
Keduanya juga merupakan dua rekan bisnis dalam proyek-proyek pemerintah yang kemudian disubkontrakkan kepada kontraktor badan usaha milik negara, seperti PT Adhi Karya dan Pembangunan Perumahan (PP), atau kontraktor swasta seperti PT Duta Graha Indah (DGI).

Hubungan keduanya berubah 180 derajat ketika M Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Nazar tak ingin sendirian masuk penjara karena bukan dirinya seorang yang menikmati hasil korupsi yang dilakukan Grup Permai.

Bagaikan rentetan senjata otomatis, M Nazaruddin membombardir Anas Urbaningrum sebagai orang yang tidak saja bertanggung jawab atas proyek di Palembang dan Bogor itu, tetapi juga sebagai pelaku ”politik uang” pada pemilihan ketua umum Partai Demokrat pada kongres di Bandung tersebut.

Jika Nazar menyebut Anas sebagai ”Ketua Besar” penikmat bisnis Grup Permai, sebaliknya Anas menyebut Nazar sebagai ”Pembohong Besar” yang pernyataannya soal Anas merupakan fiksi belaka. Hubungan kedua sahabat itu kini berubah total dari sekutu menjadi seteru. Politik memang tak mengenal kawan atau lawan abadi. Yang ada ialah kepentingan yang abadi.

Partai Demokrat kini bagaikan partai yang tak putus dirundung isu korupsi, dari soal megaskandal Bank Century sampai ke soal korupsi terkait proyek wisma atlet Palembang dan pembangunan kompleks olahraga di Hambalang, Bogor. Pertemuan khusus para anggota Dewan Pembina Partai Demokrat di Cikeas, 24 Januari, tak mungkin terjadi jika Partai Demokrat tak merasa tersudut.

Apalagi, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) seminggu lalu menempatkan Partai Demokrat pada posisi ketiga pilihan rakyat jika pemilu diadakan saat ini, jauh di bawah perolehan suara Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Tak mustahil elektabilitas Partai Demo- krat akan semakin menurun jika isu ko- rupsi itu tak cepat dituntaskan, apalagi na- ma besar SBY tak bisa diusung lagi karena tak mungkin diajukan sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden 2014.
Anas Urbaningrum selama ini menekankan bahwa elektabilitas Partai Demokrat amat ditentukan oleh kinerja pemerintahan SBY sampai 2014. Ini seolah-olah menampik bahwa Anas adalah biang keladi penurunan elektabilitas partai tersebut.

SBY tak Berani

Ketua Dewan Pembina SBY tampaknya tak berani mengambil tindakan politik yang menentukan karena para anggota Dewan Pembina belum memutuskan secara aklamasi terkait nasib Anas.

Satu sisi yang menarik: beberapa tokoh muda dan senior di dalam Partai Demokrat bukannya berusaha bersama-sama menyelamatkan kapal yang sedang karam, melainkan membuat pernyataan yang saling menyerang yang justru bisa menenggelamkan kapal yang sedang karam itu.

Partai Demokrat tampaknya memang belum menjadi sebenar-benarnya partai. Tak ada soliditas politik di antara tokoh- tokoh utamanya pada saat partainya sedang tersudut dan ketua umumnya sedang limbung. Meski Saan Mustofa, Hayono Isman, dan Anas Urbaningrum berbusa-busa mengatakan bahwa Partai Demokrat tetap solid, pernyataan politik mereka bertolak belakang dengan dinamika politik yang berkembang di dalam partai itu.

Para tokoh partai ini masih menunggu ”sabda” atau ”wangsit” dari Ketua Dewan Pembina SBY mengenai langkah strategis apa yang harus diambil Partai Demokrat untuk keluar dari kemelut yang, menurut Ketua DPR dan juga tokoh Partai Demokrat Marzuki Alie, bagaikan tsunami menerjang Partai Demokrat. Ini menunjukkan bahwa para tokoh Partai Demokrat masih mengandalkan ”sabda pandita ratu” ketimbang menemukan exit strategy terbaik untuk Partai Demokrat.

SBY sendiri tampaknya juga khawatir jika pergantian ketua umum harus dilakukan melalui kongres luar biasa, suatu perhelatan politik yang penuh dengan intrik dan tak akan memperbaiki citra Partai Demokrat ke depan. Kini, semua tokoh Partai Demokrat menanti keputusan KPK mengenai nasib Anas.

Jika KPK juga ternyata menanti ”wangsit dari istana atau Cikeas”, kita bagaikan masih menerapkan court politics seperti di Eropa Barat abad pertengahan yang ”sabda raja” lebih tinggi kedudukannya daripada hukum atau undang-undang.

Namun, jika kata-kata Ketua KPK Abraham Samad benar bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum, termasuk ketua umum partai penguasa sekalipun, mudah-mudahan masih ada asa kita mengenai penerapan hukum di negeri ini. Keputusan KPK akan menentukan sang ”Ketua Besar” akan terempas atau justru melejit ke atas dalam perpolitikan Indonesia kini dan masa datang.

Jika Anas ternyata menjadi tersangka, diadili, dan dinyatakan bersalah, habislah karier politiknya. Sebaliknya, jika ia ternyata bukan tersangka atau menjadi tersangka, tetapi dinyatakan bebas murni oleh pengadilan tindak pidana korupsi, karier politiknya bisa saja melejit di masa depan.

Kini tergantung apakah ”pengadilan opini” ataukah ”pengadilan tipikor yang jujur dan adil” yang akan menentukan nasib Anas Urbaningrum. Namun, bukan mustahil ”pengadilan opini” dan ”pengadilan tipikor yang jujur dan adil” sama dan sebangun hasilnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar