Senin, 06 Februari 2012

Omerta atau Nazar Kedua?


Omerta atau Nazar Kedua?
Burhanuddin Muhtadi, PENGAJAR FISIP UIN JAKARTA;
PENELITI LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI)
Sumber : SINDO, 7Februari 2012


Angelina Sondakh akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia juga dicekal untuk bepergian ke luar negeri bersama koleganya, I Wayan Koster dari Fraksi PDI Perjuangan.

John F Kennedy pernah berkata,“Victory has a thousand fathers,but defeat is an orphan” (Kemenangan itu mempunyai seribu ayah, tetapi kekalahan adalah yatim piatu). Perasaan ditinggalkan, dikutuk, dan dijauhi itulah yang kini dirasakan Angie, seorang mantan Putri Indonesia 2001, merangkap model yang kemudian hijrah ke dunia politik. Karier politik seorang Angie melesat bak anak panah yang keluar dari busurnya.

Sejak 2004 dia melenggang ke Senayan setelah terpilih sebagai anggota DPR dari Fraksi Demokrat. Kiprah politiknya makin cemerlang setelah Angie masuk ke jajaran elite kepengurusan Partai Demokrat sebagai wakil sekretaris jenderal. Angie tak sekadar bermodal tampang dan popularitasnya sebagai artis.

Dia sosok yang cerdas, pekerja keras, dan cepat beradaptasi dengan dunia politik yang ganas. Ia datang dari latar belakang keluarga terdidik yang memiliki jaringan politik dan intelektual yang luas. Ayahnya, Prof Ir Lucky Sondakh, PhD, MEc, adalah mantan rektor Universitas Sam Ratulangi (Unsrat).

Namun, kecemerlangan bintang muda ini terlalu cepat berlalu.Tepuk tangan dan harapan publik yang melambung tinggi terhadap Anas Urbaningrum yang disokong penuh oleh Angie dalam kongres terakhir di Bandung berubah sekejap dan berbalik menjadi paduan caci maki dan prasangka setelah koleganya,M Nazaruddin, mengumbar borok-borok Anas dalam kasus politik uang selama kongres dan dugaan korupsi yang melibatkan Anas.

Angie pun terkena getah. Bersama elite-elite Partai Demokrat yang lain, Angie dituduh Nazar sebagai operator politik di Komisi X DPR yang berjasa menggolkan proyek Wisma Atlet yang sarat rasuah. Prahara Demokrat dimulai sejak Nazar dipecat sebagai bendahara umum Demokrat dan kemudian melarikan diri keluar negeri. Nazar yang merasa dikorbankan sendirian kemudian membuka aib partainya.

Inilah sebabnya mengapa banyak partai di Indonesia yang melindungi kader-kadernya yang bermasalah karena khawatir akan membuka kotak pandora. Jangankan berstatus tersangka,ketika kader masuk penjara pun Aburizal Bakrie masih menjenguk “anak buahnya” yang terbelit kasus korupsi.

Opini Publik

Sejak delapan bulan terakhir Angie dan Anas menjadi bulan-bulanan media. Medan peperangan yang dihadapi Angie bukan hanya di bidang hukum di mana dia harus mempertanggungjawabkan keterlibatannya dalam kasus Wisma Atlet sebagaimana fakta-fakta yang muncul di persidangan, melainkan juga melalui medan perang opini.

Opini publik memiliki logika dan premisnya sendiri.Kadang opini jauh lebih kejam ketimbang fakta hukum itu sendiri. Opini di media banyak bergantung pada “kebenaran logis,” sementara fakta hukum lebih bertumpu pada “kebenaran empiris.” Secara realitas suigeneris, Angie sudah divonis bersalah oleh opini publik,bahkan jauh sebelum Angie ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka.

Setali tiga uang,Anas juga sudah dinilai bersalah oleh publik bahkan ketika KPK hingga detik ini belum juga menetapkan Anas sebagai saksi,apalagi tersangka. Namun, politik bukanlah melulu persoalan hukum formalistik.Politik adalah persepsi. Politik adalah masalah kepercayaan dan legitimasi sosial di mata publik.

Seorang tersangka koruptor mungkin bisa selamat dari meja pengadilan, tapi secara sosial dia telah kehilangan kredibilitas di mata masyarakat. Inilah yang sekarang dihadapi kubu Anas dan Angie di internal Partai Demokrat.Opini publik telanjur tidak ramah sejak menit pertama drama Nazaruddin meletup ke permukaan. Prahara Anas dan Angie bukan hanya mempertaruhkan karier keduanya, melainkan juga prospek elektoral Demokrat.

Bagi Angie, peruntungan nasibnya sebagai politisi sudah menguap sejak KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka. Klausul baru dalam kode etik yang ditetapkan di Rakornas Demokrat terakhir menjadi “malaikat pencabut nyawa” kariernya sebagai politikus. Jabatan wasekjen yang disandangnya tinggal menghitung hari. Lain halnya dengan Anas.

Sejauh ini Anas masih bisa bernafas lega. Namun, karier politiknya sebagai ketua umum masih menjadi tanda tanya. Meski nasibnya masih menunggu KPK, desakan elite-elite Demokrat agar Anas menonaktifkan diri tak kunjung berhenti. Rangkaian pertemuan tertutup Dewan Pembina telah memicu tuntutan penonaktifan Anas sebagai ketua umum agar lebih fokus menghadapi tudingan Nazar yang dialamatkan kepadanya.

Dasarnya argumen politis dan opini publik bahwa popularitas Demokrat akan makin merosot jika Anas bersikeras mempertahankan posisinya. Adapun kubu Anas bersandar pada argumen hukum dan konstitusi partai. Sejauh ini Anas belum menjadi tersangka. Tidak ada pintu masuk pemakzulan Anas yang belum berstatus tersangka jika merujuk pada AD/ART dan Kode Etik

Partai Demokrat.Nasib hukum dan politik Anas sebagai ketua umum sangat bergantung pada KPK.Posisi sulit ini yang dirasakan Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyampaikan konferensi pers kemarin.Pemecatan Anas tanpa dasar konstitusional partai bisa menjadi bumerang bagi SBY karena dinilai melanggar statuta.

Ancaman friksi internal makin di depan mata karena masih kuatnya dukungan pengurus partai di daerah terhadap Anas. Anas mungkin masih bisa berharap-harap cemas atas nasib politik dan hukumnya.Namun, bagi Angie, kariernya sebagai politisi sudah tutup buku.

Pilihan yang tersisa buat Angie tinggal dua: setia atas “Sumpah Omerta” dengan melakukan tutup mulut atas praktik korupsi yang terjadi di Komisi X dan partainya atau melanggar sumpah diam seperti yang dilakukan Joseph Valachi, mafia Amerika keturunan Italia yang membuka borok-borok organisasinya di depan Kongres Amerika. Jika Angie mengikuti pilihan terakhir, dia akan menjadi “Nazar kedua”yang akan membuka lebih dalam lagi tabir misteri korupsi.

Apa pun pilihannya, Angie kini bagaikan yatim piatu. Kekalahan itu gelap dan tak ada laron yang mengerubungi kegelapan. Dia sudah merasakannya ketika tak ada satu pun kolega partainya yang sudi datang ke acara setahun meninggalnya suami tercinta. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar