Rabu, 01 Februari 2012

Program Nuklir Iran dan Kebijakan AS di Timteng (Bagian-2)


Program Nuklir Iran dan Kebijakan AS di Timteng (Bagian-2)
Dwi Sasongko, ALUMNUS PARAMADINA GRADUATE SCHOOL OF DIPLOMACY
Sumber : SINDO, 2Februari 2012




Sederet sanksi DK PBB yang diterapkan sejak 2006 hingga 2010 gagal menghentikan ambisi program nuklir Iran. Amerika Serikat (AS) dan sekutunya (Barat) kini sudah tak sabar dan mulai “main hakim sendiri” dengan mengeroyok Iran.

Uni Eropa sepakat melakukan embargo minyak Iran mulai 1 Juli mendatang.Adapun Presiden AS Barack Obama belum lama ini telah menandatangani National Defense Authorization Act,undang-undang yang mengatur sanksi baru bagi Iran.UU ini memiliki lingkup dan power yang lebih besar bagi AS untuk memblokade bank sentral dan sektor finansial Iran.Pertanyaannya, apakah sanksi unilateral ini akan berjalan efektif dan bisa menyelesaikan masalah nuklir Iran atau malah sebaliknya bisa menimbulkan masalah yang lebih besar?

Kecurigaan terhadap nuklir Iran membuat Barat frustrasi dan gelap mata. Padahal aksi “koboi” Barat ini sebenarnya tidak diperlukan jika semua pihak bisa saling menghormati kedaulatan masing-masing. Apalagi, Iran sebenarnya bersedia kembali ke meja perundingan dan mengizinkan para pengawas Badan Energi Atom Internasional (IAEA) datang ke fasilitas nuklir Iran sebagai bentuk transparansi atas program nuklir damainya. Karena itu,sanksi isolasi ini bisa disebut bentuk kesewenangan dari negara-negara besar terhadap negara berkembang seperti Iran.

Iran dan Embargo Minyak

Menurut data dari Global Trade Atlas, jumlah ekspor minyak Iran tahun 2010 menunjukkan bahwa China paling banyak mengimpor minyak Iran, yakni 426 ribu barel/hari atau 20% dari keseluruhan ekspor minyak Iran. Berikutnya berturut- turut, Jepang (362 ribu atau 17%),India (345 ribu atau 16%), Italia (208 ribu atau 10%), dan Korea Selatan (203 ribu atau 9%). Sisanya sekitar 610 ribu atau 28% minyak Iran diekspor ke Yunani, Turki, Belanda,Prancis, Italia,Afrika Selatan,dan lainnya.

Sebanyak 80% pendapatan Iran berasal dari minyak (2010). Kebijakan embargo minyak memang sedikit banyak bakal memengaruhi perekonomian Iran.Namun,kebijakan embargo minyak Uni Eropa dan sanksi baru ekonomi AS itu diprediksi tidak akan mampu membuat Iran menyerah. Mengapa? Pertama, AS telah sering melakukan embargo dan mengisolasi Iran baik secara ekonomi maupun politik sejak Revolusi Islam 1979. Namun puluhan tahun hidup dalam isolasi AS dan sekutunya, Iran tetap bisa bertahan. Bahkan, ekonomi Iran terus membaik dari waktu ke waktu.

Iran yang sudah terbiasa hidup dalam tekanan dan keterbatasan diprediksi akan mampu mengatasi masalah tersebut. Kedua,ajakan Barat untuk mengembargo minyak Iran tampaknya sulit diwujudkan. Embargo nanti kemungkinan hanya dilakukan oleh Uni Eropa dan sekutunya di Asia Timur,yakni Jepang dan Korea Selatan. Itu pun jika mereka berhasil mendapatkan pasokan minyak untuk menggantikan pasokan dari Iran.Arab Saudi yang juga sekutu Barat tampaknya bersedia menyuplai minyak ke Barat.

Jika benar embargo dilaksanakan pun Iran hanya akan kehilangan sekitar 44% ekspornya.Iran masih bisa menjual minyaknya ke China,India, dan sejumlah negara lain yang setia membeli minyak dari Iran. Selain itu, Iran juga masih bisa memanfaatkan pasar gelap untuk menambah pendapatan negaranya. Ketiga,China dan Rusia yang selama ini memiliki hubungan dekat dengan Iran dipastikan juga tidak akan tinggal diam. Rusia merupakan pemasok senjata dan partner Iran dalam mengembangkan nuklir.

Adapun China membutuhkan minyak Iran untuk pembangunan ekonominya yang saat ini sedang menggeliat. Rusia dan China dipastikan akan tetap menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan Iran. Seperti biasa, Rusia dan China akan memainkan politik “dua kaki” terkait masalah nuklir Iran. Di satu sisi,mereka tidak mau kehilangan mitra strategis seperti Iran, di sisi lain mereka harus juga memperhitungkan ASyangjelasanti-Iran.ASharus diakui meski didera krisis masih memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang tak bisa diremehkan oleh China atau Rusia, terutama soal kekuatan pertahanannya.

Keempat, kebijakan AS yang memblokade Bank Sentral Iran tampaknya juga akan mengundang kontroversi atau tentangan dari Rusia dan China yang memiliki hubungan perdagangan yang intens dengan Iran.Kebijakan AS tersebut dikhawatirkan mengganggu hubungan AS dengan Rusia dan China. Bagaimanapun faktor Rusia dan China ini patut diperhitungkan AS ketika menyangkut masalah Iran ini. Hal ini yang nantinya membuat sanksi blokade AS terhadap Iran menjadi kurang bertaji karena Rusia dan China diprediksi akan menentangnya.

Ancaman Perang Terbuka

Terlepas dari berhasil tidaknya sanksi embargo tersebut, kebijakan unilateral Barat terhadap Iran akan memberikan dampak yang luas.Kebijakan embargo ini setidaknya bakal berdampak pada melonjaknya harga minyak dunia. Apalagi dalam waktu dekat ini Iran akan mulai lebih dulu menghentikan kiriman minyaknya ke sejumlah negara.

Saat ini saja harga minyak dunia sudah hampir mencapai USD 100 per barel. Bukan tidak mungkin gejolak kasus Iran ini membuat harga minyak dunia semakin melangit. Hal ini tentu akan memicu kepanikan ekonomi dunia karena sebagian besar dari negara-negara di dunia masih menyandarkan energinya pada pasokan minyak. Belum lagi jika Iran benarbenar melaksanakan ancamannya menutup Selat Hormuz. Penutupan Selat Hormuz akan membawa implikasi yang sangat besar. Bahkan, hal itu bisa memicu perang terbuka yang tidak saja melibatkan Iran dan Barat.

Rusia dan China yang tidak mau kepentingannya di Iran hilang tentu akan ikut campur. Sejumlah pengamat bahkan memprediksi kemelut Selat Hormuz bisa berujung perang dunia karena banyak negara yang terlibat dalam konflik terbuka tersebut. Selat Hormuz begitu strategis karena merupakan urat nadi perdagangan minyak dunia.Lebih dari sepertiga pasokan minyak dunia diangkut kapal melalui selat tersebut. Karena itu, banyak kalangan meragukan ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz karena Iran tak hanya akan berhadapan dengan kekuatan militer AS dan sekutunya jika berani menutup selat tersebut.

Banyak negara lain yang terganggu pasokan minyaknya juga akan memusuhi Iran. Hal ini pasti menjadi pertimbangan Iran untuk berpikir dua kali dalam menutup Selat Hormuz. Kekuatan militer Barat bakal terus bercokol di sekitar Selat Hormuz untuk memastikan jalur tersebut aman dari serangan Iran. Meski secara angka di atas kertas menang, AS juga tidak akan gegabah menyerang Iran.Perang di Irak dan Afghanistan telah juga menguras keuangan AS.Apalagi,menurut data Departemen Keuangan AS per 30 Desember 2011,utang AS mencapai USD15,22 triliun dan ini telah melampaui produk domestik bruto (GDP) AS yang totalnya USD15,18 triliun.

Selain itu, AS juga akan memperhitungkan serangan rudal Iran ke Israel. Iran yang sudah terjepit bukan mustahil akan melepaskan rudal-rudalnya ke wilayah Israel.Selain itu, AS akan memperhitungkan Rusia dan China sebagai “teman” Iran. Rusia dan China diperkirakan akan terus berupaya mencegah serangan AS ke Iran. China dan Rusia sebenarnya merupakan faktor kunci dalam menyelesaikan masalah ini. Campur tangan kedua negara ini diperlukan untuk meredam eskalasi konflik yang bisa mengarah ke perang terbuka. Rusia dan China bisa memaksa Iran dan Barat untuk kembali ke meja perundingan dan membicarakan masalah nuklir Iran secara lebih transparan.

Pemecahan masalah melalui diplomasi sangat penting dilakukan agar tidak menjurus pada perang terbuka yang bisa merugikan seluruh masyarakat dunia. Sementara itu, Iran yang terus menjadi bulan-bulanan Barat bukan tidak mungkin akan mengubah paradigmanya soal program nuklirnya. Iran bisa saja memutuskan keluar dari NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty) untuk kemudian mengembangkan senjata nuklir.

Iran bisa mengikuti jejak Korea Utara, India, Israel,atau Pakistan jika haknya dalam memiliki teknologi nuklir damai terus diganggu. Bagaimanapun kepemilikan senjata nuklir akan membuat Iran lebih diperhitungkan dunia internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar