Jumat, 03 Februari 2012

Pembenaran


Pembenaran
Mudji Sutrisno, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 4Februari 2012



Pembenaran berasal dari  kata kunci kebenaran  yang mengacu pada tindakan  membenarkan diri atau  kelompok dengan argumentasi  yang ditampilkan serasional  mungkin,selegal mungkin hingga  mengesankan posisi si subjek  atau kelompoknya benarbenar  “benar”.

Pertanyaannya  apakahbetul “benar”ataudemi  membela kepentingan diri dan  kelompok,maka tampil seolaholah  benar?  Persoalan tindakan membenarkan  diri muncul terutama  bila menyangkut korban  pelanggaran HAM yang tewas  karena peluru atau tindakan  kekerasan dalam posisi tidak  seimbang antara pengunjuk  rasa yang sudah melucuti senjatanya,  tetapi tetap ditembak  jarak dekat. Argumentasinya  “sudah sesuai protap”. Tapi  anak bangsa bernama manusia  itu tewas oleh tindakan aparat  yang seharusnya punya tugas  melindungi dan menjadi mediator  untuk perkelahian atau  sengketa antara rakyat dan  pengusaha atau antara rakyat  petani dengan mereka yang  bisa membayar ongkos untuk  dimenangkan dalam sengketa.

Pembenaran dipasang seakan  rasional, tetapi isinya  membela kepentingan korps  atau yang jadi kelompoknya.  Mereka tidak pernah menempatkan  diri pada posisi korban.  Menjadi menarik ketika  sudah jatuh korban nyawa,lalu  “wacana janji mereka-mereka  yang ada dalam tanggung  jawab otoritas aparat”muncul  dengan ungkapan “akan diusut  sampai tuntas”. Lalu cepat  pula diinformasikan bahwa  sudah diperiksa secara internal  sekian puluh yang terlibat  untuk dicek apakah menyalahi  peraturan dan prosedur?

Kita  dilupakan,terutama akal sehat  masyarakat Indonesia yang  semakin kritis di alam demokrasi  media dan politik ini,bahwa  semuanya itu karena penyelidikannya  internal, maka  pastilah kepentingan internalnyalah  yang dibela.  Oleh karena itu secara fenomenal  sekali, setiap tindakan  pembenaran internal langsung  secara dialektis demi kebenaran  objektif memunculkan reaksi  pembentukan tim-tim independen  dari Komnas HAM,lalu  dari DPR dan tim-tim pencari  fakta (baca: kebenaran di lapangan  dan bukan argumentasi  pembenaran) untuk meneliti  seobjektif mungkin.

Mengapa muncul tim-tim  independen? Karena tewasnya  anak bangsa dalam kondisi  tidak seimbang yang satu berunjuk  rasa dan satu semestinya  melindungi protes itu ternyata  satu kepentingan yang dibela,  yaitu pemenangan pemodal  dan bukan rakyat yang diayomi.  Ke depan terus-menerus  akan terjadi konflik  segitiga power antara  kutub negara, pemilik  modal, dan paling terakhir  kutub masyarakat  warga Indonesia.  Relasi  ketiga kutub  bisa dijadikan  tolok  ukur objektivitas  kebenaran  dengan pertanyaan  nurani  rasional objektif:  kutub mana yang  dibela dan mana yang  dikorbankan?

Dalam bahasa politik  ekonomi menang  dan kalah,siapa  yang dimenangkan  dan siapa yang dikalahkan  dan dijadikan  korban? Di sinilah judul  tebal tulisan ini mau menegaskan  bahwa “pembenaran”  adalah tindakan mengamankan  kepentingan diri sendiri  dan kelompoknya dengan alasan-  alasan yang tampaknya rasional  tetapi “palsu”, yang kelihatannya  logis tetapi menutupi  kebohongan. Nilai sejati  (value) dikalahkan oleh  “kepentingan pembuat pembenaran”.

Kita sering lupa bahwa bangsa  Indonesia ini ketika berdiri  sebagai negara RI dan memilih  hukum dan konstitusi sebagai  dasar objektif untuk setiap  sengketanya oleh para pendiri  bangsa sudah didahului dalam  pembukaan konstitusinya  alinea keempat untuk memakai  “musyawarah” sebagai upaya  beradab. Unjuk kekuasaan kekuatan  senjata untuk menghadapi  setiap unjuk rasa melenceng  dari nilai itu.  Karena itu negara hukum  didampingi dengan demokrasi  memang menuntut kesabaran  dialog dan proses panjang  musyawarah.

Terlebih dalam  kondisi masyarakat Indonesia  saat ini yang memang sulit rumit  karena beda tingkat edukasi,  ragam suku, agama, dan  ragam pola pikir.Namun tetap  satu yang esensial, yaitu mereka  ini adalah manusia-manusia  berharkat yang dalam agama  merupakan ciptaan Tuhan,  citra-Nya, khalifatullah  yang dalam piagam  HAM berbahasa “memiliki  hak-hak asasinya  sebagai  manusia”.  O l e h  karena itu  langkah bernalar  tulus dengan  dasar yang  bukan prosedural  tetapi asasi  mendasar atau esensial  mestilah menapaki  tahap pertama  p e r u n d i n g a n .

Dalam musyawarah  inilah keterbukaan  mau membuka  kepentingan-kepentingan  yang dibawa oleh  yang bersengketa untuk didialogkan.  Di sana tes uji kejujuran  dukungan kuasa uang,  modal atau melindungi rakyat  yang tergusur dan selalu kalah  menjadi taruhannya.  Saya jadi teringat ketika  beberapa tahun lalu menjadi  anggota Komisi Kebenaran dan  Rekonsiliasi dengan saudarasaudari  Timor Leste soal kemanusiaan  dan pelanggaranpelanggarannya.  Ketika buntu  di minggu-minggu pertama,  lalu dibuatlah ice breaking  process dengan membuka jujur  kepentingan-kepentingan  yang dibawa lalu bersekutu dalam  satu kepentingan didasarkan  nilai bersama, yaitu nilai  rekonsiliasi.

Sebelum ini dibuat tidak  pernah bisa dialog.Yang ada  adalah saling membenarkan  kepentingan masing-masing  dan hujan pembenaran-pembenaran  semu. Itu terjadi  tanpa ketulusan untuk rendah  hati mau mengakui kesalahan  dan pelanggaran HAM serta  pencarian ke depan to reconcile  by forgiving although not  fogetting.  Langkah berikutnya,mempersilakan  seluruh tim independen  untuk berbagi penemuan  sehingga kebenaran  objektif semakin multidimensi  dan tak hanya dari sudut pembenaran  satu instansi, tetapi  semua sudut.

Biarkan publik  menilai melalui pers serta para  wakilnya di DPR lalu simpulkan  serta hadirlah “negara”  yang bertanggung jawab untuk  kompensasi kerugian materiil  dan nonmateriil.  Bila perlu ajari dengan keteladanan  rela mengundurkan  diri karena tanggung jawab sebagai  pimpinan. Jangan biarkan  bangsa besar ini tak pernah  punya contoh kebesaran  jiwa pemimpinnya yang rela  mengundurkan diri karena  berani menanggungi jawab  tugasnya dan bukan hanya senang  dan merasa amanah ketika  hari pertama menjabat.

Kita butuh contoh seperti  Rahmad Dharmawan, pelatih  utama tim PSSI U-23 saat SEA  Games.Dia contoh langka yang  mau mundur karena merasa  bertanggung jawab atas tugasnya.  Dan yang terakhir, agar ke  depanpembenaran-pembenaran  yang memuakkan itu tidak  selalu terjadi, harus ada UU  agraria yang adil dalam konflik  segitiga kekuatan modal, negara,  serta kekuatan terbesar,  yaitu masyarakat Republik  Indonesia.

Acuan kebenaran  objektifnya sudah disepakati  dalam kitab suci Konstitusi  bahwa kekayaan alam di negara  RI digunakan sebesarbesarnya  untuk kemakmuran  dan kesejahteraan rakyat  banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar