Jumat, 03 Februari 2012

Kampanye Berbasis Literasi Politik


Kampanye Berbasis Literasi Politik
Gun Gun Heryanto, DIREKTUR EKSEKUTIF THE POLITICAL  LITERACY INSTITUTE
DAN DOSEN  KOMUNIKASI POLITIK UIN JAKARTA
Sumber : SINDO, 4Februari 2012



Kabar baru berembus  dari Senayan mengenai  rentang masa kampanye  yang panjang untuk Pemilu  2014.DPR dan pemerintah  telah sepakat menetapkan masa  kampanye dimulai sejak partai  politik (parpol) dinyatakan sah  sebagai peserta pemilu (SINDO,  31/1/2012).

Dengan demikian,  masa kampanye parpol direncanakan  akan berlangsung 15–16  bulan sejak pengumuman verifikasi  parpol oleh Komisi Pemilihan  Umum (KPU).  Jika asumsi waktu berjalan  mulus,rentang masa kampanye  Pemilu 2014 akan lebih panjang  dari Pemilu 2009. Seperti  kita ketahui,merujuk ke UU No  10/2008, peserta pemilu 2009  berkampanye 9 bulan, yakni  sejak 5 Juli 2008 hingga 5 April  2009. Lantas akankah rentang  kampanye yang panjang itu  turut meningkatkan kualitas  pemilu?

Model Ostergaard

Kampanye sejatinya merupakan  bentuk komunikasi  politik sebagai upaya memersuasi  pemilih (voter) agar mendapatkan  dukungan dari banyak  kalangan saat pencontrengan.  Menurut Michael dan  Roxanne Parrot dalam bukunya  Persuasive Communication  Campaign (1993), kampanye  didefinisikan sebagai proses  yang dirancang secara sadar,  bertahap dan berkelanjutan,  serta dilaksanakan pada rentang  waktu tertentu dengan  tujuan memengaruhi khalayak  sasaran yang telah ditetapkan.

Inti kegiatan kampanye  tentu saja adalah persuasi.Berbagai  hal biasanya dilakukan  oleh para kandidat mulai dari  iklan di media lini atas (above  the line media), media lini  bawah (below the line media),  hingga lobi dan negosiasi yang  langsung penetratif ke simpulsimpul  pemilih. Kampanye  yang baik tentu saja adalah  kampanye berkonsep dan  tepat pada target yang dibidik.  Kampanye modern yang prospektif  memersuasi khalayak  biasanya adalah kampanye  transformasional.

Dalam pandangan Leon  Ostergaard, sebagaimana dikutip  Klingemann (2002), paling  tidak ada tiga tahapan dalam  kampanye.Pertama,mengidentifikasi  masalah faktual  yang dirasakan.Syarat kampanye  sukses harus berorientasi  pada isu (issues-oriented), bukan  semata berorientasi pada  citra (image-oriented). Kampanye  merupakan momentum tepat  untuk menunjukkan bahwa  kandidat memahami benar  berbagai soal nyata, faktual,  elementer, dan membutuhkan  penanganan di masyarakat.

Sudah bukan saatnya lagi  kampanye hanya menawarkan  solusi imajiner yang abstrak,  tidak memiliki basis pemecahan  masalah (problem solving).  Kedua, pengelolaan kampanye  yang dimulai dari perancangan,  pelaksanaan hingga  evaluasi. Dalam tahap ini, lagilagi  riset perlu dilakukan untuk  mengidentifikasi karakteristik  khalayak sasaran agar dapat  merumuskan pesan,aktor kampanye,  saluran hingga teknik  pelaksanaan kampanye yang  sesuai.Pada tahap pengelolaan  ini, seluruh isi program  kampanye  (campaign content) diarahkan  untuk  membekali  dan memengaruhi  aspek pengetahuan,  sikap,  serta keterampilan  khalayak  sasaran.

Ketiga aspek ini  dalam literatur ilmiah  dipercaya menjadi prasyarat  terjadinya perubahan perilaku  (voting behavior).  Kampanye tak cukup hanya  bertumpu pada retorika sloganistis.  Kampanye harus diterjemahkan  dari tema besar yang  serbaelitis ke real world indicators.  Dengan demikian berbagai  perincian program itu  dapat menarik dan menjadi  bagian utuh kesadaran pemilih  atau apa yang Walter Lipman  tulis sebagai the world outside  and pictures in our head.  Ketiga adalah tahap evaluasi  pada penanggulangan masalah  (reduced problem). Dalam  hal ini, evaluasi diarahkan padaefektivitas  kampanye dalam  menghilangkan atau mengurangi  masalah sebagaimana  yang telah diidentifikasi pada  tahap prakampanye.

Kampanye  dengan demikian bukanlah  sebuah mekanisme janji  palsu atau pembohongan publik,  melainkan sebuah deklarasi  komitmen untuk melakukan  hal-hal terbaik yang bisa  dilakukan sekaligus meyakinkan  berbagai pihak bahwa para  kandidat memiliki berbagai solusi  jangka pendek,menengah,  dan panjang sebagai formula  mengurangi masalah yang ada  di masyarakat. Saat pasangan  capres dan cawapres mampu  menunjukkan platform dan  solusi berbagai persoalan negeri  ini, bukan tidak mungkin  akan muncul dukungan pemilih  yang meluas.

Kampanye  Transformasional

Kampanye transformasional  bisa mewujud dalam penanda  kata, konstruksi gagasan,  konseptualisasi penanganan  masalah, serta teknik dan  strategi yang inspiratif. Kampanye  jenis ini biasanya tak  hanya menghipnosis pemilih  dengan kata-kata, melainkan  juga dapat menggerakkan minat  berpartisipasi dalam politik  dan menumbuhkan harapan  bersama untuk maju bersama-sama.  Biasanya,sebuah kampanye  menjadi transformasional selain  memiliki titik simpul gagasan  besar, juga berbasis pendekatan  komunitas. Pemberdayaan  politik komunitas,  misalnya dilakukan mulai dari  level nasional hingga ke daerah,  melalui tiga kata kunci utama.

Pertama, pendekatan community  relations, yakni membangun  komunikasi yang inspiratif dengan  kalangan grassroot langsung  kesasaran mereka.Kedua,  pendekatan community services  di mana para kandidat dan tim  sukses harus mau dan mampu  melayani komunitas yang menjadi  target kampanye secara  tepat dan mengena.  Ketiga,community empowerment,  sebuah metode kampanye  yang berorientasi pada  pemberdayaan jangka panjang.  Misalnya, melalui pendidikan  politik atau  pelatihan tertentu  sehingga komunitas-  komunitas tersebut  tumbuh menjadi komunitas  yang kuat.

Kampanye dengan  pendekatan komunitas ini  seyogianya dilakukan  parpol sehingga prosesi  kampanye dapat  mewujud dalam bentuk  yang lebih transformatif.  Saatnya parpol-parpol  di Indonesia menggunakan  kampanye dengan  pendekatan modern, yakni  berbasis literasi politik. Hal itu  dimulai dengan gagasan yang  tidak seragam sehingga adu gagasan  menjadi mungkin terjadi  yang pada akhirnya akan memberi  opsi-opsi dan referensi bagi  pemilih.

Politik citra bukan  semata-mata sukses membentuk  hiperealitas, melainkan  memberi kesempatan kepada  publik untuk mengetahui platform,  komitmen, kredibilitas,  dan orientasi masa depan  parpol-parpol yang ada sehingga  memungkinkan munculnya  trustyang menjadi penggerak  keterpilihan parpol di  bilik-bilik suara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar