Jumat, 03 Februari 2012

Prinsip Berkeyakinan yang Setara (118)


Prinsip Berkeyakinan yang Setara
Sukidi, KANDIDAT PHD DALAM STUDI AGAMA, UNIVERSITAS HARVARD,
CAMBRIDGE, MASSACHUSETTS, AS
Sumber : KOMPAS, 4Februari 2012


Akhir-akhir ini, kehidupan beragama kita sedikit memprihatinkan. Spirit harmoni dan toleransi kehidupan beragama yang selama ini kita banggakan mulai pudar. Justru terjadi tren negatif ke arah intoleransi, terutama terhadap kelompok minoritas, baik di dalam Islam maupun di luar Islam.

Yang tampak di permukaan: kelompok minoritas tak memperoleh hak kebebasan berkeyakinan yang setara. Padahal, keyakinan adalah hak asasi yang diberikan Tuhan secara setara kepada setiap manusia. Sebagai pemberian Tuhan, hak itu sangat personal, individual, dan melekat pada diri setiap warga negara Indonesia yang beragama, terlepas dari apa pun bentuk agamanya.

Agama sekadar instrumen formal untuk mewadahi ekspresi keyakinan yang sangat personal, individual, dan spiritual antara setiap warga negara dan Tuhan- nya. Jika keyakinan merupakan hak pemberian Tuhan yang seta- ra kepada setiap manusia, konsekuensinya: setiap warga negara punya kebebasan yang setara pula untuk menentukan jalan keselamatannya masing-masing.

Dalam proses ke arah itu, seti- ap warga negara sepantasnya toleran, egaliter, dan terbuka terha- dap setiap pilihan jalan keselamatan yang ada, yang memungkinkan terjadinya perbedaan, karena karakter dasar jalan keselamatan itu sendiri tak pernah tunggal dan monolitik, tetapi banyak dan plural. Itu sebabnya, ada banyak jalan keselamatan yang setara menuju Tuhan.

Otoritas Terlibat Aktif

Pilihan atas jalan keselamatan bersifat sukarela dan ditentukan oleh otoritas internal yang inheren dan melekat pada otoritas tertinggi dan absolut dalam diri manusia: akal dan keyakinan nurani, bukan atas dasar paksaan dari otoritas eksternal yang temporal dan relatif, yakni otoritas sipil ataupun otoritas agama.

Yang terjadi akhir-akhir ini adalah kedua otoritas itu justru terlibat aktif dalam menentukan jalan keselamatan yang tunggal dan monolitik, tanpa peduli sama sekali dengan karakter dasar keyakinan dan masyarakat Indonesia yang plural.

Tampaknya presiden terlampau santun untuk tidak menegur menterinya yang sering bekerja di luar yurisdiksi otoritas sipil dengan begitu gemar menuduh sesat keyakinan tertentu yang dianut warganya.

Jelas, tuduhan sesat itu bukan sekadar pernyataan yang inkonstitusional menurut standar konstitusi kita dan peraturan internasional yang sudah diratifikasi, tetapi juga bentuk penodaan, pelanggaran, serta kejahatan moral dan spiritual terhadap hak asasi yang paling fundamental dan berharga dalam diri setiap manusia: keyakinan.

Sebagai konsekuensi dari hak pemberian Tuhan yang setara kepada setiap manusia, keyakinan yang dianut oleh setiap warga Indonesia pun layak dan harus mendapatkan perlakuan yang setara pula tanpa ada diskriminasi atas nama apa pun.

Di Amerika Serikat, misalnya, perlakuan setara itu pernah ditunjukkan secara terbuka dan publik oleh Presiden Barack Obama dengan memberikan kebebasan penuh kepada Muslim AS menjalankan agama dan keyakinannya—juga mendirikan pusat keislaman. ”Sebagai warga negara dan sebagai presiden,” demikianlah pidato Obama waktu itu, ”Saya percaya bahwa umat Islam memiliki hak yang setara untuk mempraktikkan agama mereka seperti halnya orang lain di negara ini.”

Dengan populasi mayoritas masyarakat AS yang Protestan, Obama bukan tanpa sadar bahwa pidatonya justru akan menurunkan basis dukungan politik yang sudah mulai menurun di tingkat masyarakat luas. Namun, komitmen dan kesetiaan Obama pada konstitusi AS, yang menjamin hak dan kebebasan berkeyakinan secara setara, jauh melebihi dari kalkulasi politik pragmatis yang bersifat jangka pendek.

Sebagai agama minoritas, Islam saat ini justru menjadi agama yang pertumbuhannya paling pesat di AS. Masjid dan pusat-pusat keislaman tumbuh, berkembang, dan tersebar luas di kota-kota besar AS. Hal ini terwujud berkat prinsip kebebasan berkeyakinan secara setara yang dijunjung tinggi.

Anjuran untuk SBY

Sungguh bijak dan mulia sekiranya presiden kita secara terbuka dan publik memberikan jaminan dan kebijakan perlakuan yang setara kepada setiap warga negara untuk pertama, dapat beribadah secara bebas sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya tanpa ada ancaman dan perasaan takut.

Kedua, untuk dapat mendirikan rumah ibadah tanpa ada hambatan perizinan sedikit pun. Di saat-saat lapar dan haus, kita ingin segera makan dan minum agar kesehatan hidup terjaga secara fisik.

Maka, begitu pula fungsi rumah ibadah bagi pemeluknya, persis sebagai tempat untuk melepas rasa dahaga dan lapar secara spiritual sehingga kesehatan secara spiritual juga terjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar