Selasa, 07 Februari 2012

A p e s



A p e s
Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 7Februari 2012


KALAU ditanya topik paling hangat yang menjadi agenda pemberitaan berbagai media massa di Indonesia belakangan ini, jawabannya cuma satu, penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wakil Sekjen Partai Demokrat Angelina Sondakh dalam kasus dugaan korupsi suap pembangunan wisma atlet SEA Games tahun 2011 di Jakabaring, Sumatera Selatan (Sumsel).

Angelina bakal menyusul sejawatnya: Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang kini tengah diadili dalam kasus itu.
Pertanyaan berikutnya adalah: apakah para pengelola media di Indonesia sudah “bersekongkol” menjadikan isu tersebut sebagai agenda mereka? Jawabannya: tidak! Hal ini saya kemukakan sebab cukup tergelitik oleh ucapan salah seorang ketua Partai Demokrat dalam sebuah wawancara radio bahwa partainya sedang “apes” karena telah diadili oleh media dalam kasus tersebut.

Dia berharap media mengedepankan asas praduga tak bersalah pada kasus yang menimpa Angelina Sondakh.

Sejauh ini, para editor yang waras akan menggunakan standar yang sama untuk menetapkan apakah suatu kejadian layak diberitakan atau tidak menggunakan ukuran nilai berita (news value).

Nilai berita yang standar itu adalah prominence (keternamaan), proximity (kedekatan), magnitude (dampaknya), timely (masih panas, belum basi), uniqueness (keunikan), dan masih ada beberapa lain lagi.

Dengan sangat yakin saya katakan kasus yang menimpa Angelina Sondakh itu memenuhi semua kriteria nilai berita sehingga pantas menjadi agenda utama selama beberapa minggu ke depan. Pertanyaan besarnya adalah: siapa lagi yang akan menyusulnya?

Penggunaan kata “apes” seperti yang dikemukakan salah satu ketua Partai Demokrat itu paralel dengan ungkapan seorang mantan dirut bank terbesar yang kini mendekam di penjara karena kasus korupsi: orang yang tertangkap korupsi di Indonesia itu tidak lebih karena “apes” alias bernasib sial. 

Dia berkata demikian, tidak lain karena korupsi sudah begitu meluas di Indonesia: mulai dari Sabang sampai Merauke, mulai dari kelurahan sampai ke pusat-pusat pembuatan kebijakan nasional di Jakarta. Sampai-sampai para pelaku korupsi sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang batil dan mana yang benar. 

Tidak heran tokoh partai itu menilai apa yang terjadi hari ini adalah “kesialan atau apes” belaka, dan tidak terlintas semangat “pertobatan” karena kader-kader muda dan para pemimpin di partainya ternyata sama saja dengan yang lainnya: bermental korupsi!

Minimal Mundur

Kita bayangkan bila hal yang seperti dialami Angelina Sondakh itu terjadi di Jepang atau Korea Selatan, pastilah para pemimpin partai di sana minimal minta mundur karena malu dan terhina bahwa partainya penuh dengan orang-orang yang korupsi dan mengkhianati kepercayaan rakyat. Kalau malu itu sudah tidak tertahankan dipilihlah bunuh diri. 

Bila Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengemukakan bahwa hasil survei oleh LSI mendapati popularitas dirinya dan partainya merosot, maka hasil survei tersebut harus dipercayai.

Sepatutnya pula diikuti dengan langkah-langkah tegas seperti memberhentikan (minimal menonaktifkan) ketua umum partai, yakni Anas Urbaningrum, atau pun para pejabat partai lainnya yang nama-namanya muncul di pengadilan, tanpa menunggu proses hukum.

Langkah politik seperti itu diperkirakan dapat mendongkrak kembali popularitas partai karena rakyat pemilih telah tertipu. Langkah tegas seperti itu adalah bentuk pertanggungjawaban publik demi memulihkan kepercayaan konstituen dan bukti sikap konsisten pada jargon “katakan tidak pada korupsi”.

Dalam perspektif komunikasi politik dan komunikasi krisis, saya menilai ada sejumlah langkah yang perlu dilakukan oleh SBY, sebagai pemilik dan pendiri Partai Demokrat.

Pertama, dia harus minta maaf kepada publik bahwa kader-kader partainya telah berkhianat kepada rakyat pemberi suara. Sebaiknya pernyataan itu tanpa harus menunggu proses hukum. Kedua, segera mengambil langkah pembersihan dalam tubuh partainya, dengan memotong benalu-benalu yang merugikan tersebut.

Bahkan membantu dan memfasilitasi KPK membongkar tuntas skandal busuk tersebut. Ketiga, memastikan ke depan bahwa dia dan partainya akan tetap berusaha bersih dan mengusung topik pemberantasan korupsi.

Bila hal itu tidak dilakukannya maka kita haruslah dengan sangat berat hati mengakui bahwa pemerintah yang bekerja hari ini adalah rezim kleptokrasi, atau suatu negeri yang diperintah oleh para maling, di mana korupsi terjadi dengan sangat leluasa di puncak-puncak kekuasaan. Tidak heran ungkapan yang keluar adalah “apes” dan bukan pertobatan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar