Kamis, 02 Februari 2012

Otonomi Pengelolaan SDM


Otonomi Pengelolaan SDM
Irfan Ridwan Maksum, GURU BESAR TETAP ILMU ADMINISTRASI NEGARA FISIP UI
Sumber : KOMPAS, 3Februari 2012


Makin gencarnya Parade Nusantara yang memperjuangkan status aparatur desa agar menjadi pegawai negeri sipil menjadi catatan tersendiri agenda otonomi daerah tahun 2012.

Beberapa saat sebelumnya para guru juga mempertanyakan nasib mereka yang selama ini dikelola oleh pemda. Mereka ingin dikelola oleh pusat agar kualitas hidup mereka meningkat. Hal lain yang semakin merumitkan persoalan sumber daya manusia (SDM) daerah adalah tuntutan nasib para honorer daerah agar dipastikan menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Desain pengelolaan SDM daerah memang patut dikaji ulang agar persoalan tersebut segera diatasi dengan perspektif dan instrumen yang tepat.

Pilihan Model

Di dunia ini terdapat tiga sistem pengaturan sumber daya manusia terkait dengan kedaerahan. Jurnal Perserikatan Bangsa-Bangsa (1966: 7-8) menyebutkan ada sistem pengaturan personel yang terpisah untuk setiap pemerintahan daerah, sistem personel pemerintahan daerah yang terpadu, serta sistem personel pemerintahan daerah dan pusat yang terintegrasi.

Pada sistem yang pertama, setiap pegawai pemerintah daerah dari satu unit tidak dapat berpindah ke unit lain, apalagi ke dalam unit pemerintah pusat.

Sistem tersebut menganut kewenangan mengangkat dan memberhentikan pegawai sepenuhnya di tangan daerah-otonom. Pusat hanya membuat code of conduct dan mengawasi pelaksanaannya.

Dalam sistem yang kedua, setiap pegawai pemerintah daerah dapat pindah menjadi pegawai unit yang ada dalam pemerintah daerah lain, tetapi tidak diperkenankan pindah menjadi pegawai pemerintah pusat. Dibentuk sebuah badan-otoritatif di tingkat nasional yang dibentuk atas prakarsa daerah-daerah untuk mengelola kepentingan manajemen SDM ini.

Sistem ketiga memungkinkan adanya perpindahan pegawai pemerintah daerah tertentu menjadi pegawai pemerintah daerah lain dan bahkan menjadi pegawai pemerintah pusat.
Indonesia tampaknya tergolong dalam sistem ketiga. Namun, sebenarnya ada catatan menarik dalam perkembangan pengelolaan SDM daerah ini.

Pada masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Kepegawaian Negara diperbarui dengan keluarnya UU No 43/1999.
UU No 22/1999 mengarah ke ”separate system” bersandar pada pengaturan Pasal 7 dan Pasal 75 UU tersebut. Namun, karena kemampuan daerah dalam mengembangkan sistem kepegawaiannya masih rendah, situasi politik nasional dan lokal yang belum kondusif serta pola integrasi (sentralistik) yang sudah tertanam lama, ”separate system” tidak terwujud.

UU No 43/1999 sama sekali tidak mengarah pada paradigma yang sama. Padahal, hampir semua pasal undang-undang tersebut wajib menjadi acuan daerah otonom dalam mengelola SDM-nya.

Dalam UU pemerintahan daerah yang berlaku sekarang, UU No 32/2004 Pasal 129 mengatur bahwa (1) Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional. (2) Manajemen pegawai negeri sipil daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah.

Tampak aturan UU No 32/2004 di atas memperkuat kedudukan pengaturan kepegawaian daerah berdasarkan UU No 43/1999. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu mempersempit ruang gerak daerah otonom dalam mengelola pegawai.

Kebimbangan terjadi dalam praktik terkait makna otonomi khusus, munculnya animo otonomi desa, dan mengenai siapa yang berhak mengatur usulan penetapan honorer daerah agar menjadi PNS. Desain dalam UU No 32/2004 dan UU No 43/1999 tidak cukup jelas, bahkan bertabrakan mengenai otonomi SDM desa ini.

Perlu Ketegasan

Jika pilihan integrasi diambil, sangat wajar jika para kepala desa menuntut diperlakukan secara adil. Honorer juga menuntut agar diperlakukan dengan lebih proporsional secara nasional. Pemerintah pusat menjadi lebih banyak pekerjaan dan sebaliknya daerah otonom seakan lepas tangan jika bermasalah.

Oleh karena itu, pilihan terhadap salah satu model harus diikuti oleh ketegasan sistem yang dikembangkan, dalam hal ini Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bertanggung jawab mengembangkan.

Dalam desain ini harus terdapat instansi vertikal BKN yang terjangkau daerah. Dana yang digunakan adalah dana APBN, bukan dana dekonsentrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar