Selasa, 07 Februari 2012

Komitmen Bangun Pasar


Komitmen Bangun Pasar
Ihwan Sudrajat, KEPALA DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI JAWA TENGAH
Sumber : SUARA MERDEKA, 7Februari 2012


KALAU pasar tradisional seperti ini, kita tidak memerlukan lagi supermarket atau pun minimarket,” kata Menperdag Gita Wiryawan (SM, 20/01/12) saat meresmikan pengoperasian kembali Pasar Cokrokembang, pasar desa yang terletak di Desa Daleman Kecamatan Tulung Kabupaten Klaten, yang dibangun atas prakarsa Bibit Waluyo, Gubernur Jateng, yang kebetulan lahir di desa tersebut. Pasar desa yang dibangun tahun 1947, kini menjelma menjadi pasar tradisional modern, dengan zonasi produk layaknya supermarket dan lorong antarlos yang lebar dan nyaman sehingga membuat betah pembeli.

Pasar yang semula hanya buka tiap Pon dan Legi, kini buka tiap hari dengan penataan produk yang tertib dan kebersihan terjaga. Sebuah perpindahan budaya yang sangat lancar, hampir tidak ada konflik dan para pedagang menyesuaikan diri dengan budaya baru yang selama ini tidak pernah mereka jamah. Budaya yang membuat pedagang dan pembeli lebih nyaman, lebih aman, dan lebih tertib, layaknya pergi ke pasar seperti berwisata.

Proses pembangunan Pasar Cokrokembang berjalan sesuai dengan rencana, hampir tidak ada konflik sejak rencana itu dicanangkan sendiri oleh Pak Bibit , dari perpindahan pedagang ke pasar darurat, sampai pedagang menempati lagi pasarnya dengan kondisi fisik yang lebih representatif. Kehadiran Gubernur di tiap proses pembangunan sangat membantu terwujudnya rencana dengan tepat. Figur kepala daerah sepertinya menjadi kata kunci dari keberhasilan pembangunan dan peningkatan transaksi pasar tradisional.

Saat ini banyak pihak yang memprihatinkan kondisi pasar tradisional, yang mulai ditinggalkan pembeli. Beberapa pasar tradisional yang saya pantau langsung tiap hari, menunjukkan volume transaksi yang makin menurun. Indikasinya bisa dilihat dari jumlah barang yang distok pedagang, periode transaksi yang lebih cepat dari biasanya dan hari pasaran yang tidak seramai biasanya.

Kondisi fisik pasar yang umumnya sudah berusia lebih dari 50 tahun, tanpa ada biaya pemeliharaan memadai dari pemkab/ pemkot, menjadi penyebab utama makin kurangnya pembeli datang ke pasar. Dari lebih dari 1.000 pasar tradisional di Jateng, hampir 80% dalam kondisi ”mengenaskan”. Bahkan banyak pasar yang terbakar, tidak sempat lagi dibangun oleh pemerintah. Saya seringkali sedih melihat pasar-pasar yang atapnya sudah tidak simetris dengan konstruksinya. Sedih karena saya yakin, kondisi itu akan dibiarkan seperti itu oleh pemkab/ pemkot dalam waktu lama. Kadang ada guyonan dari pedagang kalau mau cepat dibangun, pasarnya harus kebakaran dulu. Kenyataannya sudah terbakar pun belum jaminan dibangun kembali secepatnya oleh pemerintah.

Fasilitas Publik

Tidak ada pemerintah yang akan menelantarkan rakyatnya, termasuk menelantarkan pasar tradisionalnya untuk digerus oleh supermarket dan minimarket. Sayang, banyak wakil rakyat dan pejabat lebih sering masuk ke supermarket dibandingkan ke pasar rakyat sehingga mereka tidak merasakan kesusahan pasar tradisional bersaing dengan super/minimarket. Akibatnya, potret yang selalu diimaginasikan saat membangun pasar rakyat adalah sebuah pasar yang megah yang memerlukan anggaran besar untuk mewujudkannya.

Karenanya, cara yang paling tepat pastilah mengundang investor untuk membiayai pembangunan pasar tersebut karena jika anggaran disediakan APBN atau APBD, atau dua-duanya, waktu penyelesaiannya pun jadi lebih dari satu tahun anggaran. Namun tanpa disadari, keputusan mengundang investor justru menjadi penyebab terhambatnya pembangunan kembali pasar.

Konflik investor dan pedagang tidak terhindarkan, tawaran investor jauh di atas kemampuan pedagang. Bahkan tidak sedikit investor yang mengatur strategi menempatkan pedagang lama di tempat yang kurang strategis karena hanya membayar lebih murah, dan sebaliknya pedagang baru ditempatkan di lokasi strategis karena berani membeli lokasi dengan harga seperti ditawarkan investor.

Tarik-menarik tersebut yang akhirnya membuat pasar yang sudah terbakar atau rusak tidak bisa dibangun sesuai mimpi-mimpi pedagang dan pemda setempat. Pemkab/ pemkot yang sudah terikat kontrak dengan investor sangat berhati-hati bila memutus kontrak dengan pihak ketiga karena konsekuensinya juga berat. Di sisi lain, mereka pun tidak tegas mengambil sikap untuk menyelesaikan konflik tersebut yang mengakibatkan status pembangunan kembali pasar tradisional yang sudah disusun dengan tahapan-tahapan pasti, menjadi mengambang, tidak jelas solusinya. Pedagang tetap menunggu, sementara pemerintah menjadi peragu.

Pasar tradisional adalah aset pemkab/ pemkot, merupakan ruang publik tempat masyarakat berkumpul, bertransaksi memenuhi kebutuhannya sekaligus lapangan kerja yang sangat besar. Karenanya, tanggung jawab membangun kembali pasar terletak di tangan pemilik pasar, yaitu pemkab/ pemkot. Namun, tanggung jawab tersebut seringkali tidak mampu diatasi sendirian, perlu bantuan dari pemerintah pusat dan provinsi. Tiap tahun anggaran, Kementerian Perdagangan selalu mengalokasikan anggaran tugas berbantuan (TP) untuk revitalisasi pasar tradisional. Tahun 2011, dialokasikan Rp 650 miliar, namun tahun ini menyusut tinggal Rp 400 miliar.

Angka tersebut jauh dari kebutuhan, mungkin hanya mampu memenuhi tidak lebih dari 25% usulan pemda kepada Kementrian Perdagangan. Oleh karenanya, banyak daerah mengharapkan agar Menperdag yang baru, yang masih muda dan energik, bisa melakukan terobosan dengan meningkatkan alokasi untuk pembiayaan pasar tradisional menjadi lebih dari Rp 2 triliun per tahun anggaran. Saat saya usulkan hal tersebut, dengan mantap Menteri Gita Wirjawan menyatakan persetujuannya akan pentingnya alokasi anggaran yang lebih besar dan lebih signifikan.

Komitmen Besar

Seperti saya kemukakan, figur kepala daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan dan pengoperasian pasar yang akan berujung pada peningkatan transaksi. Langkah dan sikap tegas kepala daerah, yang peduli dengan rakyatnya, dan memahami benar arti mendayagunakan aset daerah untuk pembiayaan daerah, tentu akan berpikir lebih panjang untuk menyerahkan pembangunan atau revitalisasi pasar tradisional ke investor, kecuali memang siap berada di pusaran konflik.

Apa yang disampaikan Bibit Waluyo saat membangun Pasar Cokrokembang sangat menarik, yakni  pasar itu milik rakyat jadi harus dibangun dengan uang pemerintah, diserahkan kembali kepada rakyat (pedagang) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, bukannya pedagang disuruh membeli dengan harga mahal. Pernyataannya itu yang menjadi kunci menghindari konflik dan mewujudkan pembangunan pasar yang damai.

Saya percaya bahwa kepala-kepala daerah sekarang, mempunyai komitmen sangat besar untuk merevitalisasi pasar dengan dorongan anggaran pembangunannya. Mereka memahami bahwa pasar tradisional adalah ruang publik yang menjadi tanggung jawabnya. Komitmen ini sudah ditunjukkan oleh Wali Kota Semarang Soemarmo yang akan membangun Pasar Bulu dan pasar-pasar lainnya, serta Wali Kota Magelang, yang mendapat warisan dari wali kota sebelumnya, untuk membangun kembali Pasar Rejowinangun. Semoga hal itu diikuti oleh kepala daerah lainnya sehingga belanja ke pasar tradisional, rasanya seperti ke supermarket, tidak hanya belanja tetapi juga bisa cuci mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar