Rabu, 01 Februari 2012

Uji Nyali (tanpa) Subsidi BBM


Uji Nyali (tanpa) Subsidi BBM
Erkata Yandri, PERISET PADA SOLAR ENERGY RESEARCH GROUP,
KANAGAWA INSTITUTE OF TECHNOLOGY, JEPANG
Sumber : KORAN TEMPO, 2Februari 2012


Memasuki awal tahun 2012, isu subsidi BBM semakin menghangat. Dalam situasi produksinya yang semakin menurun, konsumsinya justru semakin meningkat. Itu pun tidak didukung oleh kemampuan kilang yang mencukupi. Akibatnya, setiap hari ada sekitar 400 ribu barel BBM harus diimpor, umumnya dari hasil kilang negara tetangga, Singapura.

Perlu dicatat, beban subsidi BBM 2011, yang awalnya dianggarkan Rp 95,9 triliun, dan kemudian dikoreksi menjadi Rp 129,7 triliun pada APBN Perubahan (APBN-P), kemungkinan besar akan jebol menjadi Rp 160 triliun. Disparitas harga yang sangat mencolok antara BBM bersubsidi dan non-subsidi dituding sebagai penyebab utamanya, di samping juga lemahnya kontrol alokasi dan distribusi di lapangan.

Dengan besarnya ketergantungan Indonesia terhadap minyak, berarti kita juga harus sadar akan segala konsekuensi hukum ekonominya. Akibat pertumbuhan ekonomi dan meledaknya populasi dunia dari tahun ke tahun, konsumsi pun meningkat, sementara ketersediaannya semakin menipis karena tidak terbarukan. Perlu dicamkan, Indonesia tidak ada apa-apanya lagi dalam hal minyak. Bahkan minyak akan segera menghilang beberapa tahun lagi jika tidak ditemukan cadangan baru.

Jika dilihat dari sikap hati-hati pemerintah dalam mempertahankan kebijakan subsidi BBM, sangat memungkinkan angka 2012 akan semakin membengkak lagi. Pertanyaannya, siapkah Indonesia menghadapi kemungkinan gejolak harga minyak dunia dengan kebijakan subsidi BBM sekarang ini?

Tak Percaya Diri

Sewaktu konsumsi BBM subsidi semakin melewati budget tahun lalu, paling tidak pemerintah langsung mengambil tindakan pengurangan subsidi dan/atau penghematan energi. Sayangnya, setelah ditunggu-tunggu, menggarap salah satu dari dua hal itu pun tidak serius, apalagi dua-duanya. Ternyata pemerintah tidak punya nyali dalam mengurangi subsidi, begitu juga tidak punya gereget dalam tindakan menghemat energi. Subsidi BBM itu sebenarnya bisa ditekan asalkan pemerintah memang punya niat dan usaha yang serius. Mengapa begitu susah?

Paling tidak, ada dua kemungkinan sebagai penyebabnya. Pertama, tidak percaya diri, yang dilatarbelakangi oleh faktor ketidakyakinan akan apa yang sudah dilakukan dan dicapai selama ini. Padahal momentum tahun 2011 kemarin lagi sangat bagus, yang katanya tingkat pertumbuhan perekonomian sekitar 6,6 persen, dengan inflasi sekitar 4 persen. Sayang sekali tidak dimanfaatkan dengan baik. DPR pun kelihatannya mendukung rencana kenaikan waktu itu. Hitungan ekonomi kelihatannya memang logis dan sederhana, tetapi dibuat rumit oleh pemerintah karena ada tambahan faktor politik dalam perhitungannya.

Kedua, mempertahankan citra, dengan alasan klasik demi menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi dan investasi. Logis saja! Jika bisa terlihat lebih baik hati dengan memakai uang rakyatnya sendiri, mengapa itu tidak dilakukan? Semangatnya dalam mengejar target setoran pajak ternyata juga diimbangi dengan bersemangatnya untuk segera menghabiskannya ke bentuk subsidi BBM. Apa pun itu, tetap ada citra yang dipertahankan, dengan kocek negara sebagai sponsornya.

Baiklah, mari berpikir positif saja. Bisa dipahami alasannya agar tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi yang katanya semakin membaik, bahkan mendapat peringkat investment grade. Mungkin, pemerintah tidak mau mengambil risiko itu tahun ini. Tetapi, jika mengacu ke tahun pemilu 2014, maka kecil juga kemungkinannya risiko itu diambil tahun itu.

Bukannya terlalu curiga, diusungnya Hatta Rajasa, Menko Perekonomian, oleh partainya sebagai calon presiden pada 2014 nanti, tentu sedikit-banyak akan berpengaruh pada usaha memuluskan pencalonannya. Artinya, angka dan skenario subsidi sedang diutak-atik dengan ketat untuk dua tahun ke depan, 2012 dan 2013. Output-nya, untuk melihat kemungkinan peluang citra dan masalah subsidi agar tidak saling meniadakan. Solusinya, tidak menutup juga kemungkinan jurus ”BLT” kembali yang dikeluarkan menjelang ”last minutes”. Kalau sudah begitu, betapa panasnya ”suhu” di koalisi pemerintah dan parlemen saat itu.

Kreativitas dalam Berenergi

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan subsidi, asalkan dihabiskan untuk tujuan yang benar dan diberikan ke pihak yang tepat. Dengan kemampuan keuangan negara yang terbatas, jangan sampai pula dimanfaatkan untuk membangkrutkan negara ini. Jangan sampai nanti ada akal-akalan berutang sana-sini dengan alasan pertumbuhan ekonomi mungkin sulit dihindarkan. Perlu tindakan jangka panjang untuk "menekan" subsidi, agar lebih terkendali. Pemerintah harus menciptakan fleksibilitas dan kreativitas dalam berenergi.

Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah harus meningkatkan program kepedulian penghematan energi, khususnya BBM, dan segala tindakan yang mendukung penghematan BBM. Tindakan yang mendasar adalah perbaikan kualitas dan keamanan transportasi publik, sekalian mempercepat pembangunan transportasi publik yang cepat dan massal. Begitulah caranya merayu pemakai kendaraan pribadi agar pindah ke lain hati. Selanjutnya, harus dikaji lebih serius dan mendalam bagaimana mengurangi mobilitas orang tanpa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan kemajuan IT, perlu digalakkan toko onlinedan konsep bekerja dari rumah. Kemudian, perlu juga dianalisis pembatasan jam buka pusat belanja, atau lebih revolusioner lagi dengan konsep 5.5 atau 6 hari bisnis per minggu, sehingga kendaraan pribadi dan kendaraan umum lebih dioptimalkan pada jam dan hari yang disediakan itu.

Kedua, pemerintah harus segera melakukan penguasaan teknologi dan mengindustrialisasi potensi aplikasi dari energi terbarukan (ET) untuk transportasi. Momentum semangat mobil nasional yang dipicu Kiat-Esemka sedapat mungkin juga bisa diarahkan sebagian ke pengembangan mobil listrik. Dengan potensi sumber ET dan SDM yang dimilikinya, seharusnya Indonesia percaya diri mengembangkan teknologi ET dan mobil listrik, misalnya dengan teknologi sel surya, angin, ataupun dengan hidrogen. Bukan masalah energi saja yang terbantu, tetapi juga lapangan kerja.

Sebagai gambaran, di Jerman, salah satu negara termaju dalam pengembangan aplikasi dan industrialisasi ET, pada 2004 sektor industri ET sudah mampu menyediakan 157.075 tenaga kerja. Diperkirakan angka itu akan tetap tumbuh dengan rata-rata sekitar 6,5 persen setahun sampai 2030. Jika Indonesia tidak siap dan selalu mengandalkan bantuan pihak asing, kondisi Indonesia sudah bisa dipastikan sebagai pasar teknologi energi yang sudah mereka kembangkan.

Ketiga, pemerintah harus meningkatkan daya beli energi, dengan meningkatkan ekonomi masyarakat, atau mengurangi tekanan biaya hidup dari kebutuhan non-energi. Dengan demikian, akan mengurangi alasan orang yang menganggap dirinya ”miskin”. Pemerintah tidak perlu takut. Masih terbuka peluang meraih citra dengan membebaskan republik ini dari penjajahan subsidi BBM. Caranya, harus menggratiskan sekolah sampai SMU/SMK, membebaskan biaya kesehatan, menggenjot infrastruktur, dan sebagainya. Memang berat kalau dikonversi sekali jadi, tetapi masih bisa dimainkan secara bertahap dalam beberapa tahun. Level ilmu ekonomi ”warungan” sudah bisa menangkap maksud ”keluar kantong kanan masuk kantong kiri” ini. Tentu, harapannya akan merangsang pertumbuhan, produktivitas, dan efisiensi di sektor lainnya selama ”dialihkan” itu.

Jangan pernah bersembunyi dari ”hantu inflasi”. Hadapilah dengan nyali. Ia akan muncul jika fleksibilitas dan kreativitas berenergi sudah tertancap kuat di negeri ini. Itu akan tercapai jika pemerintah mampu memikirkan tindakan apa yang pantas untuk saat ini dan langkah jauh ke depannya.

Terakhir, bernyalikah pemerintah berdiri tegak berkuasa tanpa harus ditopang oleh subsidi BBM? Hanya pemimpin yang bernyalilah yang mampu menjawabnya dengan strategi dan rencana tindakan yang jelas lagi terukur. Belenggu subsidi hanya bisa dilepas dengan kemauan, keberanian, dan kreativitas, bukan dengan ”pura-pura baik”. Maka, buktikanlah citramu, dengan nyalimu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar