Kamis, 02 Februari 2012

Kualitas Guru dan Potret Pendidikan


Kualitas Guru dan Potret Pendidikan
Darwis SN, ALUMNUS UNIVERSITY OF ADELAIDE AUSTRALIA
Sumber : SUARA KARYA, 3Februari 2012



Tersedianya guru berkualitas menjadi salah satu tantangan terbesar dunia pendidikan saat ini. Oleh karena itu, pemerintah diminta membuat kebijakan nasional yang menjamin tersedianya guru berkualitas dan meningkatkan kesejahteraan dan kondisi kerja guru. Desakan dunia untuk meningkatkan kualitas guru, sosok yang berperan penting dalam pencapaian pendidikan bermutu bagi semua orang atau education for all (EFA), pernah disuarakan dalam pesan bersama Dirjen UNESCO, ILO, UNDP, Unicef dan Presiden Pendidikan Internasional.

Berbagai analisa menyimpulkan bahwa akar utama persoalan ini adalah rendahnya kualitas guru. Barisan para guru Indonesia tidak diisi oleh orang-orang berkualitas yang dimiliki bangsa ini. Dahulu banyak orang menghindar dari profesi guru karena tidak membanggakan dan menjamin masa depan. Kalangan cerdas dan jenius lebih memilih bidang yang menjanjikan masa depan cerah seperti kedokteran, teknik, hubungan internasional, bahkan entertainer. Lulusan non-kependidikan yang tertarik menjadi guru dengan mengambil program akta mengajar juga bukan lulusan terbaik. Umumnya, mereka putar haluan menjadi guru karena sulitnya mencari pekerjaan.

Kini, nasib guru sudah jauh lebih diperhatikan pemerintah. Antara lain, diwujudkan dalam gaji dan tingkat kesejahteraan guru yang terbilang memadai. Namun, karena putaran generasinya masih sama, yakni guru-guru yang lahir karena putar haluan tadi, maka peningkatan kesejahteraan ternyata tak serta-merta mengubah profesionalisme guru.

Upaya pemerintah untuk menjawab tantangan kualitas guru di Indonesia salah satunya berbentuk kebijakan perlunya sertifikasi guru. Kebijakan ini mengharuskan para guru TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan sekolah luar biasa dari SD hingga SMA untuk mengikuti uji kompetensi. Dengan diperolehnya sertifikat pendidik, para guru yang sudah memiliki kualifikasi akademik, yaitu berijazah S-1 atau memiliki Akta IV itu, dinyatakan sebagai guru profesional.

Guru yang profesional harus menguasai empat kompetensi. Pertama, kepribadian guru. Seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik yang bisa diteladani para muridnya, sehingga guru menjadi teladan, bukan sebaliknya. Kedua, Sosial. Seorang guru harus memiliki sifat sosial yang tinggi, mereka akan peka terhadap lingkungannya, mulai di lingkungan sekolah, masyarakat dan dimana mereka bertugas, termasuk peka terhadap kondisi sosial anak maupun masyarakat.

Ketiga, pedagogik. Keempat, profesional. Seorang guru harus profesional di bidangnya, mereka harus mengajar sesuai bidang keilmuan yang dimilikinya, sehingga ketika mengajar atau memberikan pesan-pesan kepada para siswa tercapai sesuai yang diharapkan. Kurikulum, sarana dan prasarana yang terpenuhi, namun kalau guru tidak berkualitas, apa artinya?

Terkait uji kompetensi untuk menunjukkan profesionalisme seorang guru, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, ternyata para guru yang terjaring banyak di antaranya "wajah baru" di daerah masing-masing. Adapun guru-guru yang selama ini berstatus guru inti, guru berprestasi, guru kreatif, guru yang rajin menulis karya ilmiah, pengelola MGMP di daerah tidak terjaring.

Di satu sisi hasil ini cukup membanggakan secara pribadi karena ada anggapan guru yang terjaring berarti memiliki kemampuan merata baik dalam penguasaan bahan ajar, metodologi, didaktika, pedagogik, psikologi pendidikan, maupun filsafat pendidikan sesuai cakupan materi uji kompetensi. Namun, di sisi lain, benarkah mereka yang selama ini berprestasi tidak mampu menghadapi uji kompetensi itu?

Kedua. Ada beberapa guru yang terjaring lewat uji kompetensi ini tidak sesuai latar belakang pendidikan atau kualifikasi akademiknya. Misalnya, kualifikasi akademiknya jurusan Geografi terjaring dalam kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia. Latar belakang Pendidikan Seni Rupa terjaring dalam kelompok mata pelajaran Sejarah. Timbul pertanyaan seberapa tinggikah kualitas instrumen uji kompetensi itu sehingga dapat diterobos oleh guru mata pelajaran lain?

Ketiga. Mungkin hal ini yang lebih parah. Ada pengakuan beberapa rekan yang terjaring. Sebenarnya mereka merasa tidak memiliki kemampuan dan menguasai materi uji kompetensi itu.

Bagaimana bisa terjaring? Ternyata, selain faktor keberuntungan, ditengarai pelaksanaan dan proses uji kompetensi itu banyak terjadi kecurangan. Kecurangan itu dalam bentuk kerja sama, saling menyontek, atau membuka buku sumber. Hal ini sangat mudah terjadi karena soal uji kompetensi yang diujikan berbentuk multiple choice dengan empat opsi. Itulah kejanggalan-kejanggalan uji kompetensi penjaringan calon instruktur PTBK. Sekarang timbul pertanyaan, apakah uji kompetensi untuk proses sertifikasi juga akan seperti itu?

Tentu kita berharap pemerintah serius melaksanakannya. Tanpa keseriusan, mereka yang tak berkompeten, tak berkualitas, dan tak berhak tidak bakal memperolehnya sertifikat itu. Hal itu dengan mempertimbangkan dua alasan. Pertama, sekalipun wajib diikuti setiap guru, sertifikasi ini juga merupakan bagian dari upaya mencapai tujuan pendidikan nasional. Kedua, implikasi uji kompetensi dalam proses sertifikasi ini adalah meningkatnya pendapatan guru dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru.

Cermat atau valid maksudnya instrumen uji kompetensi mampu menentukan guru yang memang benar-benar layak untuk memperoleh sertifikat pendidik sebagai guru profesional. Dikatakan demikian karena memang yang bersangkutan cakap atau kompeten sebagai pendidik. Dengan demikian, model uji kompetensi yang dikembangkan bukan hanya untuk menguji, melainkan sebagai bagian dari upaya pembinaan dan pengembangan sehingga para guru layak menyandang sertifikat guru profesional versi sertifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar