Selasa, 25 Maret 2014

Strategi Rusia di Ukraina

Strategi Rusia di Ukraina

Mohamad Rosyidin  ;   Staf Pengajar Hubungan Internasional
Universitas Diponegoro, Semarang
REPUBLIKA,  24 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Sungguh menarik sekaligus mengkhawatirkan mencermati perkembangan politik internasional di kawasan Eurasia akhir-akhir ini. Kebijakan intervensi militer Rusia di Ukraina dan pengakuan kemerdekaan Crimea dari Ukraina seolah-olah membawa dunia kembali ke masa Perang Dingin yang penuh suasana ketegangan.

Apa yang telah dilakukan Rusia di Ukraina sepertinya menyalahi zaman. Ketika semangat globalisasi menggerakkan negara-negara di dunia untuk aktif melakukan kerja sama di pelbagai bidang, Rusia justru melakukan agresi ke wilayah yurisdiksi Ukraina. Terlebih lagi, Rusia melakukannya saat Ukraina dilanda kekacauan politik pasca kejatuhan Viktor Yanukovych.

Terlepas dari dalih bahwa intervensi itu dilakukan untuk melindungi etnis Rusia yang ada di Crimea, tindakan Rusia itu bagaimanapun juga tetap tidak bisa dibenarkan menurut hukum internasional. Rusia jelas melanggar prinsip penghormatan terhadap kedaulatan yang dijunjung tinggi sebagai prinsip dan norma hubungan internasional.

Apa yang tampak di permukaan sebenarnya tidak cukup mudah untuk dipahami. Tindakan agresif Rusia di Ukraina besar kemungkinan dipengaruhi oleh ambisi negara itu untuk memulihkan kekuasaannya seperti pada era Uni Soviet. Dalam diskursus politik luar negeri Rusia, ada doktrin yang menginginkan Rusia kembali menjadi negara adidaya (velikaya derzhava).

Setelah Uni Soviet runtuh pada tahun 1989 yang menandai berakhirnya masa Perang Dingin, Rusia kehilangan status dan peranannya di dunia internasional. Naiknya Boris Yeltsin menjadi presiden membuat prioritas kebijakan Rusia bergeser dari politik-militer ke ekonomi. Kondisi perekonomian nasional yang terpuruk memaksa Yelstin bersikap pragmatis dan mengesampingkan isu-isu politik dan militer.

Pragmatisme Yeltsin berhasil membuat perekonomian Rusia membaik, tetapi secara politik Rusia tetap tidak memiliki pengaruh. Ketika Vladimir Putin menggantikannya pada 1998 ia membawa misi untuk mengembalikan kejayaan Uni Soviet. Putin merupakan tokoh kharismatik yang memiliki keyakinan tinggi bahwa Rusia bisa bangkit kembali menjadi negara adidaya.

Intervensi militer di Ukraina dalam rangka membebaskan Crimea menunjukkan garis kebijakan luar negeri Putin yang ofensif. Kebijakan itu merepresentasikan strategi revisionis, yaitu kecenderungan suatu negara untuk memperluas pengaruh dan ke kuasaan di negara lain ketimbang mem pertahankan distribusi kekuasaan yang sudah ada. Sanksi ekonomi dari Barat justru memperumit keadaan. Pola konfliknya bergeser dari konflik dua ne- gara (Rusia-Ukraina) menjadi konflik global (Rusia-Barat).

Meminjam istilah Brzezinski, Ukraina dapat diibaratkan sebagai papan catur besar di mana negara-negara besar saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan di negara itu. Hal ini disebabkan karena Ukraina adalah negara yang unik. Ukraina, meminjam istilah Samuel Huntington, adalah `negara terbelah' (torn state) seperti halnya Turki dan Meksiko yang mengalami kebingungan identitas ke mana ia akan berpaling.

Memberi pengakuan kemerdekaan kepada Crimea berarti Rusia memberi sinyal kepada Ukraina untuk mengikuti kehendaknya. Dengan cara itu, Rusia mampu menunjukkan kepada Barat bahwa posisinya masih merupakan kekuatan dunia yang patut diperhitungkan.

Pendekatan koersif yang dipilih Rusia dalam menyikapi krisis politik di Ukraina mencerminkan kegagalan kekuatan lunak (soft power). Kendati berhaluan konservatif, Putin sebenarnya menyadari pentingnya kekuatan lunak. Namun demikian, jalan Rusia masih panjang untuk memanfaatkan strategi kekuatan lunak karena minimnya pengaruh Rusia dalam hal budaya, ideologi, dan nilai-nilai sosial.

Kebudayaan Rusia belum terlalu dikenal oleh negara-negara lain. Budaya ortodoks Rusia hanya berpengaruh di sebagian kecil masyarakat negara lain. Dari sisi ideologi, demokrasi semu yang dipraktikkan Rusia tidak terlalu menarik bagi negara lain.

Terakhir, dari sisi nilai-nilai yang dianut masyarakat Rusia, belum banyak negara yang mengenal nilai-nilai Rusia yang khas dan unik. Pengenalan nilai-nilai dan juga budaya Rusia yang gencar dilakukan oleh perwakilan Rusia di banyak negara belum mampu dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan nasional Rusia.

Kelemahan sumber-sumber kekuatan lunak membuat pemerintahan Putin tak punya pilihan lain selain menggunakan kekuatan keras (hard power). Dengan postur pertahanannya yang sangat besar, kebijakan luar negeri Rusia dalam beberapa waktu ke depan akan tetap bertumpu pada militer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar